Sudah pukul empat sore, tapi matahari masih terus menyiksa. Bikin saya ingin menggerutu terus. Saya tiba di kantor dengan mood nggak karuan. Sepanjang siang, saya sempat mengomel, karena pihak Bridal Pink, sponsor sekaligus penyedia produk untuk pemotretan di Tanjung Lesung, belum juga mengirimkan properti busana yang sudah disepakati saat meeting. Pemotretannya, kan, besok! Mentang-mentang memasang iklan dan menyokong dana untuk pemotretan, mungkin mereka pikir bisa seenak-enaknya saja melakukan hal ini.
Begitu keluar dari badan lift, saya menghampiri meja resepsionis untuk menanyakan keberadaan Rika. Selepas membereskan properti pemotretan siang tadi, saya menugaskan Rika untuk segera mengecek barang ke Bridal Pink. Sudah dua jam, tapi dia belum memberi kabar juga.
"Kayaknya belum sampe kantor lagi, Mas," jawab Desi, resepsionis kantor. "Mau aku teleponin, Mas?"
"Nggak usah. Hp dia mati dari tadi," ujar saya, bergegas ke menuju ruang kerja. "Thanks!"
Saya mendorong pintu dan memasuki ruang kerja saya. Ruangan ini sengaja didekorasi dengan tema natural. Tanaman hijau sejenis monstera philodendron diletakkan di beberapa sudut untuk menenangkan hati yang mudah terbakar akibat ulah beberapa orang yang tidak mampu bekerja secara profesional. Semacam terapi, kalau kata Mika. Dia paling rajin membawakan tetumbuhan tersebut dari rumahnya. Mamanya pecinta tanaman dan nggak pernah pelit meminjamkan pot-pot berdaun hijau untuk menghiasi sudut kantor.
Menapaki karpet sisal berwarna krem yang stylish dan chic, saya menghampiri meja kerja dari kayu berwarna cokelat tua. Saya mendaratkan tubuh di kursi sambil menuangkan air putih dari botol transparan ke dalam gelas pasangannya. Aliran air putih yang membasahi tenggorokan mendinginkan perasan. Di dasar gelas, saya bisa menikmati lukisan The bedroom in Arles karya Van Gogh. Carafe with glass ini oleh- oleh dari Emma saat dia honeymoon di Belanda.
"Mas Lee!" Rika mengetuk sambil mendorong pintu.
Oh, ternyata dia sudah di kantor.
"Hey, Rik! Gimana?"
Rika menahan pintu dengan tangan kanannya, berdiri di bibir ruangan. "Cuma mau laporan singkat, Mas. Tadi aku udah sempet ngambil baju di Bridal Pink, ya. Tania juga bantuin. Udah beres. Aku siapin dulu untuk besok. Sekalian ngeberesin properti pemotretan yang tadi."
Dia menghilang ke ruang wardrobe untuk membereskan pakaian, aksesori, dan barang-barang yang dipinjam untuk pemotretan. Tugasnya memang menyortir kembali seluruh barang tersebut dan memastikan lagi tidak ada satu pun yang rusak. Bila ada noda make-up akibat keteledoran saat pemotretan, Rika akan membawanya ke laundry yang disepakati sehingga noda tersebut bisa segera diatasi.
Kabar barusan membuat saya merasa cukup lega.
Saya menyalakan komputer untuk memeriksa email. Sebuah email yang masuk dari Bridal Pink segera menarik perhatian saya: "URGENT— Progress Tanjung Lesung".
Duh, apa lagi sih ini? Sejak awal, klien yang satu ini memang sudah bikin saya naik darah terus. Mereka brand lokal yang banyak sekali maunya, tapi sebenarnya nggak jelas juga apa maunya.
Di dalam email, mereka mengatakan ingin mengganti konsep yang sudah disepakati sebelumnya dengan mengirimkan ide foto baru, disertai dengan titipan baju-baju wedding lain yang tidak ada hubungannya dengan baju-baju yang sudah saya pilih. Katanya, sekalian saja difoto.
What!?
Efek baru saja memotret outdoor di Jakarta yang udaranya summer terus dan membuat tubuh terasa lengket, saya langsung menghembuskan napas kuat-kuat. Rasanya sangat tidak sabar menghadapi manusia yang aneh-aneh seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
How Long Is Forever? | ✓
General FictionAndrian Lee, the best fashion director in town. Orientasi seksualnya sih gay tapi sialnya dia jatuh cinta pada seorang pria straight, yang kecanduan obat, dan tumbuh dalam kultur yang menegaskan bahwa menjadi gay adalah pilihan terakhir dalam hidupn...