Bab 2: Jumat Berkah

175 16 3
                                    

Pikiran saya melayang pada hari ketika saya berkenalan dengan Samudra. Saya mengingat hari itu sebagai hari yang penuh keajaiban. Ajaib, karena saat itu, saya nggak merasakan tanda-tanda apa pun.

Jumat. Hari yang katanya penuh berkah... Benarkah begitu?

Hmmm.... Kenyataannya, buat kebanyakan insan di kantor ini, Jumat dipenuhi dengan segala kesibukan di akhir minggu.

Kenapa memangnya?

Simpel. Seluruh redaksi berusaha memenuhi tenggat waktu sebelum rapat mingguan di hari Senin.

Memangnya ada apa di rapat mingguan? Serius amat?

Masih belum paham? Di rapat mingguan, biasanya bos mengabsen semua yang hadir. Kalau sudah diabsen, anak buah dituntut untuk memberi masukan ide. Kalau tidak punya bahan, celakalah yang tidak bisa mempertanggung jawabkan pekerjaannya. Siap-siap saja kesalahannya diekspos di depan yang lain. Hasilnya, hari Jumat yang umumnya pendek akhirnya menjadi tidak pendek lagi. Sebab semua orang ramai-ramai memulai tugasnya sejak pagi hari untuk menyelesaikan beban dan kewajiban sebelum dipermalukan di hari Senin.

Mudah ditebak. Saya pun tidak akan mau membuang waktu sedetik pun untuk memanfaatkan Jumat dengan sebaik-baiknya.

Saya melirik jam tangan. Pukul tujuh lewat dua puluh lima menit. Jadwal saya hari ini adalah melakukan pemotretan untuk editorial fashion berpalet natural, tepat jam delapan pagi nanti.

Saya menggeser pintu kaca dan melangkah masuk ke dalam ruangan semacam hanggar yang sudah disulap menjadi studio foto di lantai 22. Lampu blitz tampak berkelap-kelip di studio produk. Aktivitas pemotretan yang benar-benar nyata sudah terjadi di sini. Sudut ruangan ini sedang digunakan untuk memotret vegan tacos, kudapan khas Meksiko, yang kali ini tak hanya diolah bebas dari unsur hewani, namun juga bebas produk susu, kedelai, bahkan gandum. Andika, wartawan lifestyle yang senang berpakaian ala metroseksual, sedang bertugas membuat artikel tentang gaya hidup vegan. Dia sibuk menata tortilla bertabur tomat, kacang hitam, dan ketumbar. Mmm, tampak nikmat, renyah, dan lezat.

Seorang fotografer berwajah baru—yang belakangan saya tahu bernama Samudra Pasai Pratama—berpasangan dengan Andika. Dia berkutat serius di belakang kamera. Andrei, asisten fotografer, membantu mengatur reflektor agar pencahayaan jatuh sempurna ke atas obyek yang sedang difoto. Mengintip dari hasil foto di laptopnya, fotografer baru yang mengenakan kaus dan jeans hitam ini piawai menciptakan gambar- gambar makanan yang menggiurkan sehingga menerbitkan air liur.

Saya berjalan melewati mereka, mengarahkan kaki menuju ruang ganti busana sekaligus ruang rias. Suasana di dalamnya terasa sangat hidup. Rika Thiery, asisten saya yang bertubuh bulat dan berdarah campuran Sunda-Italia, sedang menyusun busana berdasarkan urutan pemakaian di sudut ruangan. Dua orang model juga sudah duduk manis di depan cermin besar, membiarkan wajahnya dirias dan rambutnya ditata oleh dua penata rias wajah dan rambut, Ucha—banci bertubuh kurus—dan asistennya, Monique—banci superseru.

"Kakak Andriiiiii! Selamat pagiiii!" sapa Monique heboh ketika saya sudah berada dalam jarak jangkauan lengan. Cup, cup. Dia memberi tempelan pipi di udara ke arah saya. Tempelan pipi ala orang fashion ke fashion people lainnya, menurut dia. Lalu dia meneruskan usahanya menyelipkan jepit di sana-sini di rambut model.

Ucha dan para model menyambut saya di saat yang bersamaan. "Halo, morning, semuanya." Saya melemparkan senyum, lalu menghampiri Rika. "Udah oke, kan? Nggak ada masalah?"

Rika mengangguk. Dia menunjukkan kotak-kotak berisi aksesori, sepatu, dan tas yang dikelompokkan di bawah gantungan setiap kostum. Cardigan beraksen garis lembut dipadukan dengan stocking rajut dari Chanel. Sweater mewah kaya tekstur dipadankan dengan slouchy boots dari Dior. Chiffon dress dari Dior dikombinasikan fur bag dari brand yang sama. Semuanya sudah sesuai dengan brief yang saya berikan saat meeting.

How Long Is Forever? | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang