Bab 8: Haruskah Saya Siap-siap?

72 11 2
                                    

Rapat redaksi. Senin pagi. Jam sembilan teng, tanpa kompromi.

Mika sudah duduk duluan di ujung meja panjang berbahan kaca pekat dan berkaki perak, lima menit sebelum forum dimulai. Tidak ada alasan untuk terlambat kalau pemimpin redaksi saja sudah siap tempur begitu. Beberapa anak redaksi yang masuk tepat jam sembilan merasa tidak enak sendiri, sekalipun mereka sebenarnya nggak telat.

Meja panjang yang didesain modern ini dikelilingi oleh satu sekretaris redaksi, dua redaksi kecantikan, tiga redaksi feature, dan tiga redaksi fashion—saya, Rika, dan Tania (yang juga merangkap sebagai asistennya Mika). Kursi-kursi formal yang modern menyangga tubuh-tubuh yang duduk dengan gaya tenang priyayi. Semuanya menampilkan performa sempurna. Di setiap tangan tergenggam berkas kerja yang sudah pasti merekam hasil. Ruangan berdinding kaca transparan ini terasa sejuk.

"Selamat pagi." Mika membuka rapat dengan sangat elegan. Dia tenang dan berwibawa. Hari ini dia mengenakan blus silk mengilap warna putih dengan detail di bagian lengan dan celana lurus warna silver. Busana yang dalam bahasa Nanda, anak feature yang bertubuh buah apel, hanya bisa dikenakan oleh pemimpin redaksi. Mahal soalnya. Rambutnya dibuat sleek dan dari sisi saya duduk, hidungnya terlihat lancip dan indah. Proporsi gayanya seimbang. Androginy namun sensual. "Yuk, langsung saja karena jam sepuluh saya ada rapat iklan sehubungan dengan edisiwedding. Kita mulai dari fashion."

Saya membuka agenda Louis Vuitton dan meraih sebatang bolpoin. Sigap, saya memaparkan rencana fashion untuk edisi pernikahan. "Untuk mengisi 88 halaman yang tersedia, konsep pemotretan dibagi menjadi dua tema besar: Vintage Romantic dan Elegant Minimalist. Tujuannya untuk memberi alternatif gaya yang lebih kaya untuk netizen."

"Rencananya pemotretan akan dilakukan di mana aja?"

"Yang iklannya udah deal di Tanjung Lesung. Lalu di Shanghai dan beberapa lagi di Bali dan Jakarta. Yang di Shanghai tergantung deal iklan. Kalau nggak goal, lokasi alternatif di Jakarta dan Bali sudah disiapkan. Begitu juga dengan styling busananya."

"Fotografernya siapa aja?" Mika memang selalu concern dengan urusan visual.

"Tujuh spread sama Samudra. Sisanya Didi."

"Nggak bosen hampir semuanya Samudra begitu? Nggak pake fotografer freelance sebagai alternatif?" Mika mengernyitkan dahinya.

"Harusnya nggak. Dia punya beberapa gaya fotografi yang menarik."

"Oke. I trust your judgment." Mata Mika pindah ke Rika. "Persiapan pemotretan beres?"

"Hampir tuntas, Mbak," jawab Rika. "Konsep sudah disiapkan seperti pemaparan Mas Lee. Saya dan Tania sudah bagi-bagi tugas untuk memulai foto produk. Kami juga sudah bikin gambar-gambar back up kalau angle-nya kurang oke."

Mika tampak puas. Perhatiannya lalu pindah ke arah Dita, redaktur kecantikan. "Dita, saya udah lihat foto artikel skin care. Kenapa kuku- kuku model yang kamu arahkan mengelus pipi jorok begitu? Apa kamu pikir pembaca kita bodoh dan nggak memperhatikan detail seperti itu? Itu, kan, hal yang sangat basic."

Dita mulai gemetar. "Saya khilaf, Mbak."

Tidak ada yang berani tertawa atas jawaban Dita yang mirip dengan pendosa di hadapan pemuka agama. Bisa-bisa, mata elang Mika jatuh ke mereka yang suka menghakimi dan di satu sisi, dia akan menemukan juga dosa dari orang yang berbahagia di atas penderitaan orang lain.

"Saya akan foto ulang, Mbak." Dita menunduk. "Semuanya akan saya perhatikan lagi supaya hal ini nggak terulang. Mohon maaf, saya sudah merugikan perusahaan akibat harus bayar model dan ambil produk lagi.... Saya rela, Mbak, kalau gaji saya harus dipotong."

Lagi-lagi, tidak ada satu orang pun yang tiba-tiba tersedak akibat ironi ini. Ini hebatnya Mika. Dia bisa membuat para staf merasa malu menerima honor bulanan saat melakukan kesalahan. Langka banget ditemui di kantor mana pun. Biasanya, kan, karyawan lebih sering menuntut daripada tahu diri.

"Kalau semua bisa diselesaikan dengan maaf, nggak perlu ada polisi. Lain kali lebih teliti."

Beberapa anak redaksi berusaha keras tidak keselek.

Dita menggangguk pelan. "Baik, Mbak Mika...." "Kapan saya bisa terima revisinya?"

"Akhir minggu ini, Mbak Mika.... Saya ada jadwal foto hari Rabu. Teksnya akan saya kirimkan besok pagi-pagi sekali."

Tagihan demi tagihan meluncur. Ketegasan (atau orang yang nggak sadar diri lebih senang menyebutnya omelan) demi ketegasan silih berganti. Mika melakukannya dengan cepat dan sistematis, dan nggak pakai main salah-salahan. Entah kenapa, dia terlihat semakin bercahaya. Dia menyudahi rapat dengan, "Kita semua di sini beruntung, karena punya medium untuk membagi ilmu dengan orang lain, melayani orang lain. Kita juga punya media untuk mengaktualisasikan diri. Manfaatkan kesempatan untuk berkarya semaksimal mungkin. Saya minta, semua bekerja dengan baik dan tepat waktu. Kita ini satu tim. Kalau salah satu menunda pekerjaan atau melakukan kesalahan yang nggak penting, efeknya domino. Yang lain terkena imbasnya. Jadi berhenti memikirkan diri sendiri. Selalu saling bantu kalau melihat yang lain susah. Yang punya visi dan misi berbeda, silakan mengarang surat pengunduran diri."

Saya harus mengakui, Mika memang motivator sejati.

Tim redaksi meninggalkan ruangan dengan wajah ambivalen: apakah mampu jadi mulia tapi tetap hits?

Menurut Mika, hal ini sangat mungkin. "Kalau bisa dapet semua yang baik, ngapain harus milih? Ini bukan masalah rakus. Ini namanya cerdas."

How Long Is Forever? | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang