"Kamu lapar? Aku sudah membuat sarapan. Tetapi, karena stok makanan menipis jadi aku hanya memasak seadanya saja. Maaf, ya." ucapku dari pintu. Nyaris terlihat seperti orang mengintip yang tak memiliki hak atas kamarku sendiri. Seperti yang harusnya terjadi, dadaku berdenyut sakit ketika dia pulang pukul empat subuh dan lekas-lekas tidur tanpa mengatakan apa pun. Saat tahu bahwa dia pulang di hari ke enam, aku dan lukaku yang menyesakan ini memilih pergi dari kamar dan membiarkan air mata membasuh wajahku yang muram. Aku bersembunyi lagi. Seolah aku adalah yang berkhianat. Aku ketakutan. Takut jika dia menyadari bahwa aku sudah tahu tentang segalanya. Apa pun itu, bahkan jika dia memintaku untuk terus berpura-pura, aku akan melakukannya. Barangkali dengan melihatnya bahagia, dengan perlahan aku akan mampu berbahagia untuknya.
Tetapi, aku tak mampu menghirup aroma tubuhnya yang berbeda. Juga tak mampu bersamanya di dalam ruangan yang sama setelah apa yang ia perbuat kepadaku. Rasanya seperti ada batu yang mengganjal di dada dan terus menumbuk pada lukaku yang lunak. Yang bisa kulakukan hanyalah meninggalkannya dan memperbaiki hatiku yang berantakan.
"Jangan meminta maaf. Kamu tak punya salah. Tak apa." tuturnya menatap lurus secangkir teh yang sudah dingin.
Seperti biasa dia duduk di sofa dengan meja kaca yang berada di sisi kiri tempat tidur setelah mandi. Sudah pukul delapan dan dia baru saja selesai dengan dirinya sendiri.
Kurasa dia ingin mengatakan sesuatu. Dari rautnya yang sayu aku dapat melihat berapa banyak yang mengisi kepalanya dan berapa banyak yang membebani pundaknya. Kuberi dia waktu untuk mengurai semua inginnya lantas mengatakan apa yang harusnya ia katakan. Aku selalu siap. Selalu menanti kalimat pahit yang akan keluar dari mulutnya yang lemah lembut. Tetapi, saat itu tak juga kunjung datang, dan hari ini mungkin dia akan mengeluarkan semuanya. Ah, tentu saja aku tak pernah benar-benar ingin mendengarnya. Hanya saja, kau tahu, terkadang mati dengan cepat itu lebih baik daripada mati perlahan. Rasa sakitnya begitu luar biasa jika waktu tak mengizinkanmu untuk lenyap.
Maaf karena aku egois. Maaf karena aku bukanlah dia yang kamu inginkan.
"Mau mengatakan sesuatu?" tanyaku masih dengan posisi yang menempel di sisi pintu. Berharap bahwa hari ini bukanlah hari yang membuat jiwaku sekarat. Aku ingin pergi dengan lekas ke dapur tanpa harus mendengarkan kalimat yang menyayat hati. Kendati begitu, aku tak boleh selalu melakukan apa yang kumau. Aku ingin mendengarkannya. Aku ingin tahu bagaimana isi hatinya yang sesungguhnya. Begitulah cara memecah keegoisanku agar tak selalu membuatnya merasa tercekik. Aku ini, bernapas saja rasanya seperti sebuah beban untuk suamiku. Mana mungkin aku menambahnya lagi dengan ego yang sialan bodoh ini.
"Duduklah."
Aku merasa seperti sesuatu baru saja menimpa kepalaku. Aku takut. Pikiranku menghambur entah ke mana. Rasa sesak lantas menggerogoti hatiku yang sudah pengap. Saliva yang kukumpulkan terasa begitu berat dan nyaris tak mampu untuk kutenggak. Hatiku bergetar hebat tentang apa yang akan terjadi padaku jika dia mengatakan bahwa dia ingin pergi.
Apakah dia akan mengatakan tentang wanitanya?
Atau apakah dia akan menceritakan perihal anak kecil yang mereka rawat?
Apakah Hoseok-ku akan meninggalkanku sendirian?
Tidak. Yang mana yang akan ia katakan padaku? Kepalaku terasa berat. Tanganku terasa lemas untuk sekadar menempel di sisi pintu. Dalam detik yang begitu krusial, aku mampu mengingat dengan baik bagaimana rupa wanita itu dan bagaimana senyumnya yang mengembang dengan anggun. Rambutnya menari karena diterpa angin sore yang kering. Kening indahnya terekspose seperti permukaan puding yang mengkilap. Setelah itu, aku tak mampu lagi menatapnya karena bibir Hoseok mendarat di sana. Mereka tersenyum setelah itu lantas melihat lagi anak perempuan yang berlarian di sekitar taman. Kurasa seperti itu kejadiannya. Sebab aku tak lagi mampu berada di sana untuk menyaksikan.
"Tunggu sebentar. Aku lupa mematikan keran air."
Aku selalu menggenggam alasan bodoh di tanganku dan akan selalu mampu mengelabuinya. Seperti itulah bagaimana rumah ini berdiri tegak, separuh dari rasa bersalahnya dan separuh lagi dari rasa sakitku yang menjulang tinggi.
Dengan setengah berlari aku pergi menuju dapur. Air mata lantas merebak tak terbendung. Semakin kuat aku menahannya, maka semakin gencar pula ia membasahi permukaan wajahku. Dadaku sakit. Sangat sakit hingga harus ditekan dengan kuat agar suara yang kukunci di pangkal tenggorokan tak keluar sedikitpun.
Aku berjongkok sembari menekan dada kuat-kuat. Bersamaan itu, aku menutup mulut dengan tangan satunya. Lelehan sungai yang tak terbendung berakhir menyapu tanganku yang semula kering. Oh Tuhan, apa yang harus kulakukan? Apakah sudah saatnya aku harus melepaskan?
Dengan sisa-sisa tangis yang kupendam aku beranjak menuju wastafel. Mencuci wajahku yang sembab untuk menyamarkan jejak tangis yang baru saja menghampiri. Terasa bahwa salivaku seperti lem yang lengket dan berat. Hidungku pasti merah dan juga bibirku pasti sedikit bengkak karena baru saja dikekang oleh gigiku agar tak mengeluarkan suara.
Lama berkutat dengan isi pikiranku yang kacau, aku tak mampu menenangkan diriku sendiri dalam waktu yang singkat. Hingga puluhan menit telah kuhabiskan hanya untuk menghapus jejak tangis yang berhamburan.
Setelah merapikan rambut yang berantakan aku menghela napas dengan panjang. Mengusap-usap wajah lagi agar tak begitu basah ketika aku menghampiri suamiku. Detak jantungku masih bertalu dengan acak. Perasaanku pun tak kunjung membaik walau aku telah menghabiskan waktu untuk menenangkan diri.
"Jika hari ini kamu mengatakannya. Aku akan menggugurkan kandungan ini,"
Tbc...hehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Second | Jung Hoseok
FanfictionSiapa yang kedua? "Entahlah-" Jung Hoseok. ❤Gorgeous cover by @GENIUS__LAB