Chapter 05

57 7 5
                                    

  "Aku akan semakin jarang pulang ke rumah, jadi, jangan menungguku pulang. Kamu harus punya lebih banyak waktu untuk dirimu sendiri,"

  

   Setelah mengatakan kalimat seperti itu ia hanya pergi begitu saja dengan dalih pekerjaannya yang menumpuk. Entah mengapa untaian frasa yang ia sematkan terus saja berkelindan di atas kepala. Seperti ia mengulur waktu. Seperti ia tengah mempersiapkan hal besar yang akan membuatku mati berdiri.

"Pada akhirnya kamu akan pergi 'kan. Lalu tak kembali,"

  Sesuatu di dalam dadaku rasanya sudah terburai. Seperti ada mesin blender yang dijejalkan di sana. Terasa berhamburan dan menyesakan. Deraian airmataku tak lagi terasa hangat. Segala sesuatunya sudah berubah jadi sangat mengerikan. Isakanku tak lagi terdengar. Rasanya seperti hampa. Rasanya seperti putus asa.

Aroma yang ia tinggalkan membuatku semakin terpuruk dalam rasa sakit. Pada akhirnya aku hanya meringkuk sembari memeluk diriku yang kuyu.

  Dalam empat musim ia hanya memberikanku satu. Tetapi, kini ia bahkan tak akan memberikan setengahnya. Kebahagiaan semacam apa yang ia terima di luar sana hingga ia tak menyisakan secuil harapan untukku. Rumahnya di ujung sana mungkin terlalu sempurna jika dibandingkan dengan rumahku yang rapuh ini.

Aku beranjak masih dengan keadaanku yang mengenaskan. Perlahan tapi pasti aku mengambil botol parfum yang isinya memenuhi ruangan ini. Lantas aku berdiri di depan cermin, memperhatikan bagaimana keseluruhan diriku yang berubah menyusut. Jika dibandingkan dengan foto pernikahan di atas meja rias, tentu saja sangat berbanding terbalik. Satu tanganku tergerak untuk menyentuh perutku yang terasa tak lagi rata. Dibalik piyama satin yang kukenakan aku membawa perutku yang kian hari akan semakin membuncit.

  "Semuanya akan baik-baik saja,"

Aku menjatuhkan botol parfum itu ke dalam bak sampah kecil di bawah kaki. Terhitung dari hari ini aku tidak ingin mencium aroma itu lagi. Rasanya seperti aroma kematian yang mengantarkanku ke pemakaman. Dadaku berdenyut ngilu jika mengingat aroma itu bercampur aroma lain yang memuakan.

  Aku berusaha untuk tidak menangis ketika menutup foto pernikahanku. Mungkin memang lebih baik untuk tidak melihat hal-hal yang menipu. Karena realita tak seindah yang terlihat dan tak sewangi yang tercium.

  Tetapi, setelah semua usahaku yang berharga. Dia pulang.

  Tepat pukul sebelas malam ketika aku mengoleskan lotion beraroma menenangkan pada perutku yang sedikit bergaris pertanda akan semakin membesar.

  "Kamu pulang?"

   Aku hanya terpaku di pinggir tempat tidur. Tak berniat beranjak untuk menyambutnya. Tak ingin bertingkah seperti aku adalah istri yang sangat baik dan telaten. Rasanya seperti pupus. Ada yang menguap entah ke mana. Seperti itulah yang kurasakan saat ini.

  "Mm, besok harus keluar kota, ada perjalanan dinas,"

Hoseok memberikan tas dan jasnya padaku. Lalu berlalu ke kamar mandi.

  Aku terpaku pada dua benda yang kini berada di tanganku. Rasanya seperti ia tak ingin membiarkanku bernapas dengan tenang. Aku terbebani oleh tingkahnya yang demikian.

   "Berapa hari?" Aku membuka lemari ketika dia mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Empat sampai lima hari," jawabnya sembari berdiri di depan meja rias.

"Perlu pakaian khusus? Mungkin akan ada acara pesta atau semacamnya," tanyaku memilih beberapa kemeja dan dasi yang cocok.

  Sejujurnya aku lelah. Mengantuk dan ingin segera tidur. Tetapi, aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja setelah dia bilang akan ada perjalanan dinas. Yang artinya besok dia tidak akan pulang berhari-hari kemudian.

"Tidak, setelan biasa saja sudah cukup. Kamu tahu aku tidak terlalu suka pesta," Hoseok mengambil koper yang ada di lemari lain lalu meletakannya di sisiku.

  "Bertemu orang istimewa harus pakai yang istimewa," selorohku secara spontan. Jujur saja aku tidak pandai menyindir atau apa pun itu. Aku menutup mataku rapat selama beberapa detik karena menyesali perkataanku sendiri.

  "Hari ini ada yang bertamu?"

Hoseok mengganti topik begitu tajam. Seolah tahu jika dilanjutkan maka akan ada perang yang berkecamuk malam itu.

"Min Yoongi memberikan setoples kukis buatan bibinya yang baru pindah dari Jeju."

Aku masih berkutat dengan isi lemari hingga menyadari bahwa Hoseok memperhatikanku. Tanpa berpaling untuk melihatnya aku merasa bahwa tatapannya akan melubangi gaun tidur yang kukenakan.

"Kamu berpakaian seperti itu ketika dia datang?"

   Tanganku tercekat. Aku tidak mengerti mengapa dia bertanya seperti itu. Seolah-olah dia tidak mengenal Yoongi dan tidak tahu bagaimana hubungan kami terjalin.

"Apa aku harus mengenakan gaun pesta?"

  "Maksudku itu terlalu minim untuk dilihat orang lain," tandasnya lantas berlalu keluar kamar.

 
  "Yoongi bahkan sudah melihat perutku yang mengembang. Kamu bahkan tidak tahu apa yang ada di sana,"

   Ketika kesadaranku nyaris menghilang aku merasa hangat mendekap tubuhku. Entah kapan terakhir kalinya aku tidak ingin mengingat kapan dia menyentuhku. Juga tak ingin ingat bagaimana malam kaku itu diciptakan.

Hoseok menggauliku sepihak. Aku mencoba untuk menghindar, mencoba untuk mendorongnya menjauh, tetapi, tentu saja dia lebih dominan.

  Aku hanya merasa takut jika aku akan menyakiti sesuatu di dalam perutku. Setelah aku mengatakan pada Yoongi jika aku akan menggugurkannya aku merasa bersalah dan ketakutan. Setiap kali Yoongi datang dan menagih janjiku aku berkilah hingga menutup diri. Mungkin Yoongi sudah muak dengan diriku yang tak bernyali hingga ia datang tanpa menuntut terakhir kali dia datang.

  Hoseok menggila hingga rasanya aku akan menangis sebentar lagi.

"Hoseok-ah,," lirihku mencoba membatasi tubuhku dan tubuhnya dengan kedua tangan.

  Tetapi, suara tempat tidur terus berdecit keras. Aku jadi semakin cemas ketika dia mengambil kedua tanganku untuk dikekang. Aku tidak tahan melihat kedua matanya yang terasa nyalang. Aku berpaling hingga setetes likuid meluncur bebas ke telingaku.

 
  Kedua tanganku rasanya akan remuk sebentar lagi. Hingga akhirnya dia melepaskannya lalu menenggelamkan wajahnya di ceruk leherku. Aku mencengkeram kedua lengannya dengan kuat hingga kuku-kuku tenggelam di permukaan kulitnya. Napasnya yang berat membuatku gelisah. Aku tidak terbiasa dengan dirinya yang seperti ini.

   Perutku terasa bergejolak dengan dadaku yang terasa sesak. Hoseok masih bertahan dengan kegilaannya hingga aku tak berdaya. Kedua tumitku bergerak gusar.

"Kumohon hentikan,"

   Aku mencoba mendorongnya dengan sisa-sisa tenaga yang kupunya. Hingga semuanya berakhir ketika dia mendapatkan apa yang ia inginkan. Hening melanda. Hanya tersisa deru napasnya yang tertinggal. Aku memintanya beranjak dan membelakanginya. Aku menangis ketika dia berbenah diri lalu mengambil ponselnya di atas nakas lalu keluar kamar.


  "Apa itu bentuk amarahmu yang selalu kamu sembunyikan,"









Tbc...

Kangen banget sama kalian...

Tetap sehat dan tetap semangat yaa 💪💪

 

Second | Jung HoseokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang