Prolog

155 19 11
                                    

Siapapun itu dimohon untuk tidak meng-copas, meniru, atau menjiplak tulisan aku.

Harus diketahui konsekuensi melakukan hal tersebut bisa membuat kalian membayar denda, bahkan dipenjara.

Mungkin ada yang berpikir itu berlebihan dan menganggap ceritaku biasa aja--lalu mulai ngomong, "Siapa juga yang mau ngejiplak cerita kau!" But, you know guys? Nggak ada penulis yang asal-asalan ketika membuat ceritanya. Semua memakai waktu, tenaga, dan kesabaran.

Jadi, hargai dan percaya bahwa manusia diciptakan dengan keunikannya masing-masing. Buatlah sesuatu yang menurut kalian nyaman, bukan yang keliatannya terlihat keren.

Oke, demikianlah curcol-an aku.

Selamat membaca!

***


"Terus gimana?"

Jawaban ala kadar yang kudengar, setelah bermenit-menit mulutku bercerita.

"Nah, temen aku ini bingung, kenapa dia masih mimpi laki-laki itu, padahal udah lama mereka nggak ketemu."

"Kau masih suka sama dia?"

Aku tertegun. Tahu betul siapa yang di sebut 'dia' oleh perempuan yang sedang menatap cermin di hadapanku--Vanya.

"No. I'm not."

"Dasar! Orang yang baru kenal kau juga tahu kalau kau itu masih suka dia--ralat, masih cinta setengah mampus," Vanya melirikku sekilas. "Dari tadi yang kau ceritakan diiaaaaa mulu, kayak nggak ada laki-laki lain di dunia ini. Kau kira dengan bilang itu kisah kawanmu, terus aku percaya? Kalau ibaratnya pemakai, kau itu udah sakaw, tinggal tunggu OD aja."

Kali ini kulihat dia sibuk merogoh tote bagnya. Kunaikkan sebelah alis, apakah kedatanganku di sini hanya untuk melihat pertunjukan hebohnya.

"Just tell me, babe."

"Hah?"

"Bentar--Bentar,"

Apalagi sekarang?

"Van, kalau kau masih sibuk sendiri mending kita nggak usah janjian ketemuan tadi," aku menghela napas berlebihan.

"Nyari apa, sih--"

Ucapanku terhenti saat Vanya mengacungkan sebuah buku catatan berwarna merah, buku yang terlalu biasa, saking biasanya di bagian sampul terlihat lecek--mungkin kebayakan dipegang dan bagian ujung buku nampak kriting.

"Nah! Ini bukunya."

Aku melirik sekilas ke arah jam tanganku. Pukul 12.45 WIB.

"Kayaknya kita harus cari tempat makan, Van. Kulihat kau mulai aneh. "

Vanya mengabaikan gerutuanku. Dia malah sibuk membuka buku itu hati-hati betul, macam memegang kitab suci. Aku mengaduk green tea latte yang belum tersentuh sama sekali, mengalihkan tatapan ke arah jalan raya yang tampak lenggang.

"Gila ya, ternyata kau emang secinta itu sama Rifan," Vanya cekikikan membaca sesuatu yang ada di buku itu. "Kalau dihitung-hitung udah tujuh tahun, ya, perasaan itu bersarang, bisa masuk ke acara uji nyali hati kau, soalnya penghuninya kan gaib alias nggak jelas," kudengar celotehannya berhenti sebentar.

"Bentar lagi jadi pengikut si Cinta kau--eh, masih mending Cinta disuruh nunggu sama Rangga, lah kau? Di suruh engga, tapi pasrah aja gitu, seolah dia bakal dateng jemput kau. " Vanya dan mulut ketusnya kadang bikin aku ciut sekaligus tersadar. Dikit. He he he.

Aku menoleh, mendadak penasaran dengan apa yang sahabatku itu baca.

"Itu buku apa, sih?"

"Buku curhatan sekaligus cerpen-cerpen yang kita bikin dulu. The book secret of four litte chickies, inget?

Aku terdiam. Mengingat-ingat apa yang kutulis dulu di buku itu. Tapi gagal.

"Ceritanya tentang apa? Waktu kita kelas berapa?"

Vanya terdiam. Air mukanya berubah, ada jeda sejenak ketika dia menatapku. Tanpa suara ia menggenggam tanganku. Membuatku mau tak mau mengingat kembali masa itu.

***

See you guys.

ALL ABOUT RIFANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang