Maafkan saya yang sangat--amat--terlambat update. *peace
Happy reading!
Oh iya, jangan lupa bacanya sambil denger lagu, ya.
***
Awal mula.
Keanehan muncul saat seorang laki-laki menginterupsi kegiatanku yang sedang mengerjakan logaritma. Kurasa, saat itu ia terlihat canggung, satu tangannya di masukkan ke dalam saku dan satunya lagi menunjuk ke arah mejaku.
"Boleh minjem stipo?"
Aku mendongak menatap matanya, "Eng... stiponya bukan punya aku, tapi punya temenku. Dia lagi di kantin. "
Laki-laki itu menggaruk tengkuknya.
"Pakai aja." Tawarku.
Saat itu aku tak tega melihat wajahnya yang terlihat resah? Entahah. Jadi kutawarkan padanya, walaupun stipo itu bukan milikku.
"Ah, enggak. Ntar aku disangka maling lagi." Dia tertawa.
Aku jadi salah tingkah karena meminjamkan sesuatu yang bukan milikku. Harusnya saat itu aku punya stipo. Harusnya dia terima saja stipo yang kutawarkan. Dan seharusnya aku tak menatap matanya. Karena setelah kejadian itu semua jadi berbeda.
Dia menggaruk kepala dan kembali ke tempatnya.
Sekilas aku melirik, laki-laki itu berjalan santai ke arah tempat duduknya yang terletak di barisan ke lima paling pojok, di belakang terdapat beberapa anak laki-laki yang sedang bergurau dan beberapa anak perempuan yang menggosip. Kejadian itu membuatku berpikir, kenapa ia jauh-jauh mendatangi mejaku yang terletak di barisan ke dua terdepan untuk meminjam stipo, sedangkan di belakang banyak manusia yang bisa dipinjami barang umum untuk anak SMA itu. Atau mereka semua juga tak punya stipo, sama sepertiku?
***
Laki-laki itu Rifan.
Setelah kejadian meminjam setipo, dia makin sering tertangkap oleh mataku-di manapun. Suatu siang di istirahat kedua aku dan ke tiga temanku duduk di kursi lipat-membuat formasi lingkaran. Kami macam orang yang akan melakukan sekte pemujaan dengan Vanya sebagai ketua yang mencondongkan tubuh--merapat. Beberapa orang memerhatikan kami dengan pandangan aneh. Safa tertawa--temanku ini memiliki jenis tawa menyebalkan yang bikin orang kesal saat mendengarnya.
Aku lupa bagaimana pembicaraan kami dimulai, yang kuingat saat itu rahasia bukanlah rahasia bila belum dibagi-bagi. Jadi kuputuskan untuk mengatakan pada mereka, orang yang cukup bisa diandalkan menjaga rahasia. Belakangan, aku agak menyesal karena telah membagikan rahasia itu.
"Aku lagi suka sama seseorang," ucapku malu-malu.
Safa menarik kursinya mendekat ke arahku, terlihat antusias. Aku hargai itu. Tapi suara decitan kaki kursi dengan lantai membuat semua orang, tak terkecuali aku mulai mendesah sambil berkata, "Saf... Saf"
Safa hanya nyengir.
"Siapa?" Vanya tersenyum geli. Mungkin lucu melihat tingkah kekanakanku yang tiba-tiba muncul.
"Tebak lah." Aku nyengir.
Di sebelahku Zia sewot, "Langsung bilang aja kenapa, sih!"
Aku terkekeh, memaklumi sifat senewen yang dimilikinya.
"Clue-nya, cowok itu dari kelas ini."
"Ricky?"
"Sandy?"
"Fachri?"
"Faizal?"
"Dawin?"
Semua laki-laki di kelas ini disebutkan satu-persatu oleh mereka, namun tidak ada yang menyebutkan nama Rifan. Aku mengernyit.
"BUKAN"
"Lah, terus siapa? Pak Suwono?"
Mereka bertiga kompak tertawa tanda puas.
"Sui Sui" kali ini mereka tertawa lebih kencang.
Aku menunduk malu. sebutan Sui dimulai pada suatu ketika Pak Suwono, seorang guru Bahasa Indonesia yang setahun setelahnua pensiun, bertanya apa arti namaku. Yang kubalas dengan gelengan kepala. Lalu tercetuslah kata 'Sui' dari mulut Pak Suwono, yang dalam bahasa mandarin artinya cantik.
"Aku suka Rifan."
Ujarku tiba-tiba, membungkam mulut ketiga orang yang sedang tertawa lepas.
"Lho, kok Rifan?"
Kenapa jawaban Vanya, lho, kok?
"Nggak nyangka aku," Safa ikut menimpali.
Di sampingku kulihat Zia manggut-manggut tampak menyetujui ucapan Safa.
"Dia kan gemuk." Tambah Safa.
Aku nyengir
"Terus apa salahnya suka sama dia?"
"Nggak masalah. Cuma surprise aja, karena selama ini ketua kelas kita terus Si Ricky, kan, gencar gitu untuk ngedeketin kau. Terus si Faizal juga ganteng, di sini juga ada yang suka. Kalo Rifan anaknya nggak aktif."
Vanya memberikan pendapat yang segera disetujui oleh ketiga temanku.
Kuabaikan perkataan Vanya, "Dia punya darah campuran nggak, sih?"
"Campuran jin?"
"Tai."
Mereka bertiga tertawa mendengar umpatanku, jarang-jarang bisa mendengar kata kotor dari mulutku-dan itu membuat mereka senang. Aku anak yang patuh pada norma dan kesopanan, jadi jangan harapakan kata yang lebih kasar dari 'Tai' yang tidak mungkin keluar.
"Campuran batak kali. Dia kan ber-marga," Zia menjawab.
"Kalian ngerasa nggak kalau dia kayak ada bule-bulenya gitu. Coba lihat kulitnya yang putih kemerahan, terus mata dia yang warnanya cokelat muda, ada freckles juga, kan."
"Iya juga sih. Kalau lihat sekilas dia emang kayak bule. Kulitnya putih, tapi kalau untuk matanya nggak tau aku, apalagi freckles-nya, buang-buang waktu." Zia menggerutu.
Aku diam, tak lagi memperhatikan ucapan mereka yang melantur ke mana-mana. Kurasa jatuh cinta telah membuat tatapanku hanya ke satu arah, Rifan.
***
See you.
Besok aku update lagi. :D
![](https://img.wattpad.com/cover/158757398-288-k825557.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ALL ABOUT RIFAN
Roman pour AdolescentsRifan adalah semestaku. Setidaknya itulah yang kusadari saat semua hal yang kupikirkan hanya tentang dia. Sampai pada satu titik aku lupa. Untuk apa kulakukan semua itu. Karena pada akhirnya cinta pertama hanya menyisakan luka.