3. Disebrangi Rifan

55 13 3
                                    

"Pada akhirnya kita akan sendirian, entah meninggalkan atau ditinggalkan."-aku

***

Kurasa siang itulah salah satu momen terbaik disepanjang eksistensi kehidupanku. Baiklah kuawali dengan mengucapkan hamdallah dan tak lupa pula rasa terima kasihku untuk Vanya, Zia, serta Safa--yang meninggalkanku di pinggir jalan. Sendirian.

Kami berempat, geng cupu yang nggak pintar-pintar amat, kecuali Safa, berjalan santai sehabis sholat zuhur di mesjid yang jaraknya kurang lebih dua ratus meter dari sekolah. Aku menghela napas saat ini, tapi biar kuberi tahu, mesjid di sekolahku sedang direnovasi dan entah kapan selesainya. Mungkin sekarang sudah selesai, karena aku telah beberapa tahun tamat dari sekolah itu. Biasanya memang begitu, saat kau tamat dari sekolah—beberapa waktu kemudian sekolahmu makin cantik dan fasilitas pun bertambah.

Tanpa kuduga secepat gledek yang tau-tau muncul tanpa peringatan—mereka sudah menyebrang dan sampai di seberang jalan. Mereka mendahuluiku. Tahu benar bahwa titik lemahku adalah jalanan beraspal yang dilalui kendaraan.

AKU NGGAK BISA NYEBRANG!

Aku memaki dalam hati tentang seberapa tidak setia kawannya mereka, tapi mereka malah tertawa senang.

"Nyebrang lah. " mereka berkata serempak.

Aku dan ketiga temanku dipisahkan oleh aspal yang lebih mengerikan dari makan pare mentah. Hoek. Aku mau muntah, tapi nggak bisa. Tubuhku sudah kaku diluan membayangkan yang tidak-tidak. Misalnya, aku terlempar sejauh tiga puluh meter karena tertabrak becak. Sumpah itu nggak lucu.

Entah apa nama phobia untuk orang yang takut untuk nyebrang jalan beraspal, namun phobia itulah yang kualami. Aku mulai meremas kedua tanganku dan itu tidak baik sama sekali, kecemasanku berdampak pada detak jantung yang mulai berdegup kencang dan rasa panik berlebihan.

Tenang. Tenang.

Kulirik kiri kanan, berharap ada orang yang mungkin bisa membantuku menyebrang.

"Ngapain kau di sini?" Rifan tau-tau di berdiri sebelahku.

Tangan sebelahnya di masukkan ke saku, matanya menatap mataku.

"Rifan" suaraku mencicit.

Sejenak tak mempercayai apa yang kulihat.

Aku berdiri takjub, mendadak irama jantungku sangat enak untuk didengar, macam alunan musik akustik. Baru kali ini tubuh kami berdiri begitu dekatnya, bisa kurasakan aroma parfumnya tercium indraku, aroma manis yang lembut, bukan aroma seperti laki-laki kebanyakan.

Rasanya ada ratusan kupu-kupu menari di perutku. Kami berdiri bersebelahan dan dalam bayanganku saat itu Rifan sedang berdiri bersamaku di singgasana pengantin sambil menyalami Vanya, Zia, dan Safa dengan senyum yang tak pernah hilang. Ah, manisnya.

"Ngapain kau di sini?" tanyanya sekali lagi.

"Aku ditinggal mereka," tunjukku pada tiga orang di sebrang sana yang menatap kami penasaran sekaligus senang.

"Yaudah, kan tinggal nyebrang,"

"Aku nggak bisa nyebrang."

Sialan. mengapa suaraku terdengar manja.

Aku menunduk, tak berani melihat respon apa yang ditunjukkan Rifan saat tahu aku tidak bisa menyebrangi aspal.

"Yok nyebrang" ujarnya tiba-tiba.

Aku menelan ludah. Ada apa ini? Kenapa dengan kamu Rifan? Mengapa laki-laki ini jadi tak terduga? Aku mendongak, melihat dirinya yang sibuk tengok kanan-kiri. Lalu, kulihat tangan kanannya terulur padaku. Kurasa itu berlebihan. Itu sesuatu yang tak mampu kuhadapi. Sejenak aku diam, dadaku rasanya menghangat sekaligus hampa. Seorang Rifan membantuku menyebrang. Kulihat Rifan menoleh ke arahku, lalu mengernyit karena uluran tangangannya tak kusambut.

Bukan apa-apa Rif, kau mau melihatku mati muda dengan alasan terlalu bahagia bisa berpegangan tangan denganmu? Rifan menyebrang santai dengan posisi tangan kanan yang masih terulur ke arahku , sedangkan aku di belakangnya berjalan kaku berikut euphoria yang meledak meletup terasa di dada.

Dalam waktu singkat itu kurasakan banyak hal.

"Makasih, Rif" ucapku bersungguh-sungguh.

Rifan tak menjawab. Ia kembali menyebrang dan pergi entah ke mana bersama teman-teman yang ternyata sedang menunggunya. Aku terdiam sejenak dan mulai berpikir macam-macam.

***

Pernah juga lutut kami bertemu. Mau tahu apa rasanya? Seperti ada listrik ber-arus kecil yang menyengatku—yang bikin penasaran sekaligus ketagihan. Kejadian itu biasanya saat pelajaran PKN--soalnya saat itu kami satu kelompok. Kami berempat, termasuk Rifan. Aku dan dia duduk berhadapan. Awalnya sangat canggung, bahkan aku tak berani menatap matanya. Bayangkan, orang yang biasa hanya kau lihat punggngya dalam 45 menit bisa kau pandang wajahnya secara diam-diam dan itu hanya terjadi setiap hari Selasa. Terima kasih untuk bu Siti guru PKN yang menjadikan kami satu kelompok, kalau bisa kelak jadi satu kartu keluarga yang sakinah mawadaah warahmah.

Kulirik Rifan diam-diam. Ia sibuk dengan dunianya sendiri; membuat segala macam miniatur benda dari kertas yang dikoyaknya dari bagian belakang buku tulis. Ada kapal, pesawat, kupu-kupu dan beberapa yang hanya berupa gumpalan sampah. Satu yang aku ketahui tentangnya—ia tak suka pelajaran yang berhubungan dengan bercerita, PKN dan Sejarah.

Mendadak Rifan bergumam.

"Kalau kau punya dua pilihan, diberi pilihan pertama kau mendapat dua miliar, tetapi ditinggal selama seminggu oleh orang yang ada di dunia, atau pilihan kedua memilih dunia dan tak mendapat apapun."

Apa? Rifan menanyai aku?

Aku pura-pura membaca buku.

"Apa jawabanmu?" Rifan menyenggol kakiku.

Rifan kadang-kadang bisa terlihat membingungkan--misalnya saat itu, jika pertanyaan itu bukan keluar dari bibirnya yang merah--semerah lipstick emak-emak yang pergi ke kondangan. Aku akan menjawab malas-malasan, "Pertanyaanmu nggak penting kali lah! mending kau kerjakan tugas ini daripada bicara omong kosong."

Tapi, tidak. Dengan sok diplomatis aku menjawab, "Aku akan memilih dua miliar."

"Aku nggak mau dua miliar." dia menjawab serius.

Oke, sepertinya pertanyaan itu memang terdengar penting. Aku menunggunya melanjutkan, tapi dia masih diam.

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

Andai dia menjawab, "Karena aku mencintaimu." aku pasti salto keliling lapangan dua puluh kali sambil menyanyikan lagu potong bebek angsa, eh.

"Aku nggak bisa ditinggal sama orang-orang yang kusayang."

Waduh.

Aku tersennyum hambar, "Pada akhirnya kita bakal sendirian, entah meninggalkan atau ditinggalkan."

Rifan melirikku sekilas, dia mungkin tak percaya mendengar ucapanku. bahkan aku sendiri tak yakin telah mengatakan hal seperti itu.

***

Siapa yang nunggu cerita ini?
Engga ada, ya.
Hmmm... Ya udah deh :(

HA HA HA

Aku update lagi dan semoga kalian dapat terhibur. Eak.

See you. 😉

ALL ABOUT RIFANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang