4. Holy Shit

62 13 10
                                    

"I just can't crack your code, one day you screaming you love me loud. The next day you're so cold one day you here, one day you there. One day you care, you're so unfair"-Jaz Z


.

.

.

Ah, aku lupa.

Sedikit informasi, di dua bulan awal aku dan Rifan sekelas—letak tempat duduk kami lumayan jauh dan setelahnya dia duduk persis di depanku (kemudian negara api menyerang, sampai kami harus berpisah—yang dikemudian hari nanti akan kuceritakan).

Laki-laki itu—Rifan jarang tersenyum, entah kenapa. Dia lebih sering mengeluarkan seringai sinis atau senyum terpaksa, yang bila kuvisualisasikan kira-kira begini; alisnya akan terangkat sedikit, sorot matanya sedikit menyipit, lalu bibir sebelahnya naik sedikit.

Semua serba sedikit, tanpa dia tahu bahwa aku ini kaum duafa yang kekurangan senyumnya. Andai kau tahu Rifan, satu senyuman darimu dapat menghasilkan surga di akhirat kelak.

Kadang-kadang aku kesal sendiri dan bertanya-tanya mengapa dia keluarkan ekspresi macam itu? Kalau di sinetron yang sering Ninuk lihat ekspresi Rifan mirip pemeran antagonis. Dan siang itu dia mengeluarkan ekspresi itu. Dia tak tahu bahwa diam-diam aku sering meniru ekspresinya.

Sialnya aku pernah tertangkap basah. Aku yakin sekali saat itu wajahku super jelek karena terlalu serius mengernyit.

"Ngapain kau?" Rifan menaikkan sebelah alis.

Otakku tiba-tiba mandek. "Hah?"

Rifan mengelurkan earphone dari saku celana abu-abunya. Ia menatapku sebentar, lalu bergumam. "Kau sudah dengar lagu dari Jay-Z?"

Lagunya yang mana? Jangankan tahu lagunya, orangnya pun aku masih sering salah. Yang kutahu ia adalah suami Beyoncé. Sekian.

"Lagunya kan banyak," aku pura-pura berpikir.

"Holy Grail. Jaz-Z duet bareng Justin Timberlake."

Rifan tertawa ketika menyebutkan kata duet, memang apa yang lucu? Aku memilih bodoh amat dan ikut tertawa bersamanya. Ha ha ha

"Mau denger?"

Kepalaku cepat menoleh, memastikan apakah yang berbicara itu Rifan. Laki-laki itu tampak santai, ia mengulurkan sebelah earphone-nya kepadaku, sebelahnya lagi telah terpasang di telinganya.

Homina... Homina... Homina... Homina... Hoooo miii naaaaaaaa.

Aku bisa terkena epilepsi mendadak kalau begini caranya. Harus tenang. Tarik napas buang tarik buang. Cuiih.

Aku menerimanya dengan tangan yang sedikit gemetar, untung saat itu Rifan tidak melihat. Laki-laki itu sibuk membetulkan posisi duduknya agar earphone yang terpasang tidak jatuh.

"Siap?"

Yaelah bang, kapanpun adek siap abang lamar.

Aku mengangguk.

Aku lumayan tegang saat laki-laki itu duduk begitu dekat. Ia menggeser kursi lipatnya ke arahku. Kami berhadapan, seperti sedang kerja kelompok. Kulihat semilir angin menghembus pelan rambut laki-laki itu, keringat di keningnya mengalir dengan khidmat, kerutan di antara alisnya membuatku tak mampu berkata-kata. Semua terlihat seperti slow motion.

Lagu pun mulai terdengar. Sejujurnya aku kurang menyukai lagu itu. Okelah suara dari Jaz-Z dan Justin Timberlake memang indah, tapi liriknya bukan untuk kita Rifan. Harusnya kau putar lagu A Thousand Years. Sayup-sayup kudengar kau bergumam. Dan ternyata kau memang begitu menyukai lagu itu. Ada beberapa kalimat dari lagu itu yang terus menggangguku:

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 27, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ALL ABOUT RIFANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang