"Kalau mbake berubah jadi orang lain karena cinta--itu namanya bukan cinta mbake, tapi lagi akting."-Ninuk
***
Pada hari senin yang berbahagia, yang membuatku nyaris tidak tidur hampir dua malam. Kubuka freezer, mengeluakan sebotol minuman berkarbonat berwarna merah—entah merek apa, yang harganya lebih murah dan isinya lebih banyak dari merek sejenis—kumasukkan ke dalam tas sekolah, lalu memberi uang empat ribuan kepada A Jun—pemilik kedai kelontong di depan gang rumahku. Seluruh tubuhku sudah kusemprot dengan minyak wangi hasil mencuri dari meja rias ibuku, wajah sudah dibedaki dengan krim pemutih hasil rekomendasi Ninuk, asisten rumah tangga kami yang wajahnya kinclong—kontras dengan lehernya yang kecokelatan.
"Pokoke, dengan makek krim muka ini dalam tiga hari muka sing mbake jadi makin kinclong."
Ninuk tampak seperti pembawa acara home shopping yang mengatakan stok barang akan segera habis, padahal besoknya barang yang dipromosikan masih banyak dan dijual dengan strategi dagang yang sama, bahkan diberikan diskon. Aku yang entah kesurupan setan jenis apa mau-mau saja menerima solusi Ninuk. Wajah putih dalam tiga hari, begitu slogannya. Keren juga, pikirku. Dalam tiga hari ke depan saat bangun tidur tau-tau wajahku jadi seputih artis Korea. Ha ha ha.
Begitulah kira-kira saat Ninuk menjadi pahlawanku dalam sekejap.
"Betewe mbake, kan, uwis putih. Ngapain toh diputih-putihin lagi?"
"Saya lagi suka sama seseorang Ninuk." jawabku jujur.
"Owalah, ternyata gitu, toh," Ninuk memberi jeda ucapannya. "Kalau mbake berubah jadi orang lain karena cinta--itu namanya bukan cinta mbake, tapi lagi akting."
Aku diam sambil mengamati krim muka Ninuk.
Apa aku sedang ber-akting? Berusaha menipu sendiri dengan melakukan hal-hal semacam ini, tapi, kan...
***
Sepanjang perjalanan menuju ke sekolah perasaanku mulai tak enak. Angkot yang seluruhnya berisi anak sekolah menatapku dengan pandangan berbeda-beda, ada yang setelah melihatku lalu berbisik-bisik dan terkikik, ada yang mendengus, bahkan jijik? Aku yang pada dasarnya sering tak percaya diri menunduk dengan tubuh menciut, enggan bersentuhan dengan siapapun. Apa yang salah denganku?Sesampainya di sekolah aku langsung ke toilet—melakukan gencatan senjata yang telah kupersiapkan dan kupikirkan matang-matang selama dua hari dua malam. Membuka tas dan mengeluarkan sebotol minuman berkarbonasi. Tanpa pikir panjang meminumnya hingga tandas. Aku keluar dari toilet saat tak kudengar satupun suara, segera melihat penampilanku dari cermin dan agak mengernyit. Apakah Rifan akan menyukai penampilanku? Kulihat wajahku yang kini terlampau putih macam vampir. rongga mulut dan bibir yang merahnya ngejreng—membuatku lebih mirip manusia pemakan orok.
Aku mengernyit frustasi. Mulai bertanya-tanya apa yang kulakukan ini benar. Lalu kugelengkan kepala, mencoba percaya dengan semua rencana yang telah kususun rapi. Terlabih aku harus mulai percaya pada diri sendiri, bahwa aku telah melakukan hal yang mulia, yang belum tentu bisa dilakukan banyak orang, yaitu berubah menjadi manusia yang lebih baik.
Demi bahagia dunia akhirat!
"Oi! upacara udah hampir mulai."
Proses mensugesti diri sendiri harus diinterupsi oleh petugas piket—yang mengecek apakah ada murid yang tak mengikuti upacara. Aku menghela napas, kemudian berlari menuju kelas IPA-13 yang letaknya kira-kira tiga puluh meter dari toilet, meletakkan tas sembarangan dan mulai berlari macam cheetah mengejar mangsa.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALL ABOUT RIFAN
Novela JuvenilRifan adalah semestaku. Setidaknya itulah yang kusadari saat semua hal yang kupikirkan hanya tentang dia. Sampai pada satu titik aku lupa. Untuk apa kulakukan semua itu. Karena pada akhirnya cinta pertama hanya menyisakan luka.