Malam Bulan Purnama

823 41 29
                                    

Bulan purnama bulat sempurna menggantung di langit, cahaya kekuningan terang yang terpancar darinya cukup untuk menerangi jalan setapak berbatu yang kulalui. Walaupun pepohonan rapat yang memagari sisi-sisi jalan membentuk bayang-bayang gelap, membuatku tidak bisa mengenali daerah sekeliling. Tidak menyurutkan niatku untuk terus berjalan, mengikuti nenek Elis yang berjalan perlahan di depan.

“Waktunya sempurna,” ujarnya, menghentikan langkah tiba-tiba, hampir saja aku menabraknya.

“Kita sudah sampai?” tanyaku lega. Kaki ini mulai mati rasa setelah berjalan hampir tiga jam.

“Belum, sedikit lagi. Suara aliran sungai, kau juga mendengarnya kan, Andien? Kita sudah dekat.” Tanpa menunggu jawaban, nenek Elis mulai berjalan lagi. Setelah menarik napas panjang, aku pun mulai mengikutinya.

Bulan purnama semakin tinggi. Langit yang tadinya berwarna biru gelap sekarang semakin hitam. Suara aliran sungai semakin deras, nenek Elis berbelok keluar dari jalan setapak, menembus semak-semak dan kami pun sampai di pinggiran sungai. Beberapa meter dari tempat kami berdiri terlihat bayangan sebuah gubuk kayu.

“Ayo!” ucapnya, sambil memberikan isyarat dengan kepala.

Perutku terasa mulas, seperti diaduk-aduk. Gubuk kayu itu pasti tempat eyang Rama yang diceritakan nenek Elis seminggu yang lalu. Aku memang mengajukan beberapa syarat, sebelum setuju mengikutinya ke tempat ini. Menuntutnya memberikan penjelasan tentang bayangan hitam yang kulihat tempo hari di tempat pembuangan sampah. Juga menceritakan kisah hidupnya. Tapi bahkan nenek Elis tidak mengetahui apa sebenarnya bayangan hitam itu, selain terkadang bayangan itu memiliki keinginan sendiri dan memperlambat penuaan. Walaupun begitu aku tidak bisa memikirkan pilihan lain yang bisa diambil sekarang.

“Kau sudah tidak bisa mundur lagi, Andien!” ujarnya tegas, saat aku mematung di tempat. Aku tahu itu. Sekali lagi kutarik napas panjang dan mulai berjalan mendekati gubuk.

Dari dekat dapat dipastikan bahwa gubuk kayu itu sudah tua sekali. Menurut cerita nenek Elis, setidaknya umur gubuk itu hampir dua ratus tahun. Atapnya sudah berlubang di sana-sini, begitu juga dengan dinding kayu yang terlihat lapuk karena dimakan cuaca. Membuatku bertanya-tanya, apa yang membuatnya bertahan sampai sekarang.

Di sebelah kanan gubuk terdapat sebuah gundukan tanah. Papan penanda tanpa nama yang tertancap di sana membuatku yakin kalau itu sebuah pusara. Nenek Elis menghentikan langkahnya tepat di depan gundukan itu, lalu terduduk lesu di tanah. Wajah sendunya mengisyaratkan kerinduan yang teramat sangat.

“Aku pulang, Eyang,” ujarnya, membuatku yakin kalau tebakanku seratus persen tepat.

Lama nenek Elis terduduk di situ, sampai kupikir dia tidak akan bangun lagi. Jadi kuputuskan untuk memecah keheningan yang mencekik ini.

“Andien, berjanjilah satu hal pada nenek!” ujarnya, mendahului. Membuatku menelan kembali pertanyaan yang hendak kulontarkan tadi.

“Setelah kuserahkan kekuatan dan tugasku padamu, berjanjilah akan menguburku di sini,” lanjutnya, seraya menunjuk ke tanah kosong di sebelah gundukan pusara eyang Rama.

“Nek, kau tidak bermaksud untuk …”

“Aku sudah lelah, Andien!” Dengan nada tegas dia memotong perkataanku. Kelelahan di wajahnya membuatku percaya bahwa dia memang benar-benar berumur seratus enam puluh enam tahun.

“Eyang Rama hanya memberikan sembilan puluh lima persen dari kekuatannya padaku saat itu. Dia menginginkan hidup normal, menua dan mati secara normal. Tapi aku lelah, Andien … Aku ingin menyusul keluargaku, mereka sudah menunggu terlalu lama.”

“Aku … “

“Berjanjilah!” Lagi-lagi dia memotong ucapanku. Aku tidak punya pilihan lain selain mengangguk mengiyakan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 26, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KELINCITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang