Si Tompel

1.3K 38 8
                                    

Chapter 2

Telinga yang harusnya panjang, dan menggoda untuk dielus itu, kehilangan bulunya di sana sini, meninggalkan pitak dengan kulit kemerahan yang menjijikan. Belum lagi hanya separuh bawah yang tersisa, bagian atasnya buntung entah kemana. Binatang pengerat itu mematung di pinggir jalan, mata manik merahnya diarahkan tajam-tajam ke sekelompok anak di sudut gang. Sungguh perilaku yang sangat aneh untuk seekor kelinci, yang seharusnya tidak mau diam melompat kesana kemari.

“Mana lagi? Masa cuman segini uang jajanmu? Ayo keluarkan!” ancam anak laki-laki bertubuh gempal, dengan tompel besar berbulu di pipi kirinya. Tangan kirinya mencengkram kerah baju anak laki-laki kurus berkacamata, sementara kepalan kanannya di acungkan kearah wajah si anak itu.

“Periksa semua sakunya!” perintah anak bertubuh gempal lagi. Dua temannya yang bertubuh lebih kecil langsung merogoh-rogoh saku di baju dan celana anak berkacamata. Anak itu gemetar ketakutan, air mata meleleh dikedua pipinya.

Geram aku melihatnya! Akan kutunjukan apa itu intimidasi, biar mereka kapok! Tapi ketika akan berteriak stop, suara lain yang lembut dan mendayu mendahului.

“Sedang apa kalian? Tidakkah kalian tahu, kalau senja menjelang gelap, berbahaya bagi anak-anak?” suara nenek Elis yang halus dan mendayu itu, entah mengapa terdengar mengancam di telingku.

Rupanya anak bertubuh gempal itu juga sependapat, ia melepaskan cengkraman tangannya sehingga anak berkacamata jatuh tersungkur di tanah.

“Ti…tidak sedang apa-apa Nek…” jawabnya. Mendengar jawaban terbata-bata itu, seringai dibibir nenek Elis bertambah lebar.

“Ayo, kita pergi!” perintahnya pada dua temannya yang bertubuh lebih kecil. Merekapun mundur terburu-buru, menjauh dari seringaian nenek Elis.

Anak berkacamata itu bangun dari tanah, lalu belari menjauh secepat dia bisa. Dasar anak-anak! Paling tidak dia bisa berbasa-basi, mengucapkan terima kasih dulu sebelum kabur begitu saja.

Tapi kemudian kusadari, kelinci yang sedari tadi hanya mematung sambil mengamati di pinggir jalan itu, sudah ada didekat kaki nenek Elis, kali ini mata manik merahnya, lekat-lekat ditujukan padaku. Nenek Elis pun membungkuk untuk mengambil si kelinci, kemudian jemari keriputnya, mulai mengelus lambat-lambat bulu kasar si kelinci.

“Apa kau juga butuh bantuan, Andien? Nenek bersedia membantu masalah terbesarmu! ayahmu kan?”

Deg! Jantungku berdetak dua kali lebih cepat, hawa dingin menjalar keseluruh tubuhku. Entah mengapa? Mungkin nada bicara nenek Elis yang membuat tawarannya terdengar seperti ancaman.

“A … aku, harus pulang Nek” jawabku akhirnya. Kupaksakan kakiku melangkah lebih cepat, memperlebar jarak dengan nenek Elis dan kelinci anehnya.

Untungnya jarak ke Rusun tua tempatku tinggal tidak jauh lagi, setengah berlari ku naiki tangga, bergegas ke kamar petak kami di lantai tiga. Begitu sampai di lantai tiga, dengan sekuat tenaga kudorong pintu reyot yang salah satu baud engselnya sudah lepas itu. Didalam kulihat ibu sedang menyiapkan bahan-bahan untuk berjualan gorengan.

“Dia di tempat biasakan bu?” tanyaku, sambil mengedarkan mata, berkeliling kamar petak kami yang tak seberapa luas. Hanya terdiri dari dua kamar tidur sempit, dapur dan ruangan yang hanya cukup untuk sebuah meja makan dan dua buah kursi kayu usang.

“Iya, dia di warung pok Ati, seperti biasa…” jawabnya, seraya menghembuskan napas panjang, kemudian meletakan sayuran yang baru dicucinya di meja.

“Ibu kan sudah sering bilang, panggil dia ayah! Bagaimanapun dia tetap ayahmu, sampai kapan mau begini?”

Sampai dia berhenti minum-minum di warung pok Ati, dan bersikap selayaknya ayah. Tak perlu jadi ayah teladan, berhentilah memukuli aku dan ibu, hanya itu yang kuinginkan. Tapi, semua itu hanya kupendam dalam hati. Melihatku hanya diam, ibupun melanjutkan mengiris sayuran sambil membisu.

KELINCITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang