KELINCI
Hati-hati dengan kelinci! Mereka mungkin terlihat lucu dan menggemaskan, tapi mereka juga bisa menggigit!
Nenek Elis tersenyum ramah lagi, dia memang begitu, selalu ramah pada siapapun. Tapi, entah kenapa, selalu ada perasaan mengganjal padanya. Mungkin caranya berjalan yang sedikit timpang, atau seringai dibibirnya yang menurutku tak wajar. Aku tahu! Tidak baik menilai orang dari penampilan, terlebih penampilan nenek Elis tidak bisa dibilang salah atau menyimpang. Dia hanya nenek tua kesepian yang jarang bicara. Dan sangat mencintai kelinci.
Kau tahu kelinci? Mahluk imut, lucu dan menggemaskan. Tapi tidak begitu dengan kelinci-kelinci milik nenek Elis. Entah berapa jumlahnya, aku tak tau pasti. Yang kutahu tak ada satupun dari mereka yang membuatmu berteriak karena gemas, atau membuatmu loncat-loncat tak sabar ingin memeluk dan mengelusnya.
Pernah suatu pagi buta, kupergoki si nenek sedang mengais-ngais tempat sampah. Mengumpulkan sisa makanan dan sayuran basi. Tak berapa lama, dari celah pintu kamarnya yang sedikit terbuka, kulihat dia memberikan sampah-sampah itu pada kelinci-kelincinya. Mungkin makanan itulah yang membuat kelinci-kelinci itu begitu menjijikan. Tapi jangankan untuk kelinci, bahkan nenek Elis pun jarang terlihat makan.
Ibu kadang menyisihkan semangkuk sayur atau sepotong roti untuknya, saat mengantarkan semangkuk sayur itulah kulihat kelinci-kelinci itu dikandangnya. Menatapku balik dengan mata manik merah tajamnya, seperti menelisik, mencari tau apa kelemahanku. Membuatku bertanya-tanya, darimana nenek Elis mendapatkan kelinci-kelinci aneh sebanyak ini?
Seharusnya dia bisa menghitung biaya yang dikeluarkan untuk memelihara hewan, terlebih sebanyak yang dia punya. Uang memang masalah paling besar di Rusun tua,yang catnya sudah memudar dan terkelupas disana-sini. Belum lagi lingkungan sekitar yang kumuh dan penuh dengan tempat-tempat, yang menurut ibuku tidak baik didekati oleh anak perempuan empat belas tahun. Uang dan ketidak beruntungan. Dalam kasusku, ketidak beruntungan itu kunamai ‘Ayah’.
“Perempuan sial! Kerja yang bener! Duit dua puluh ribu perak mana cukup untuk beli minuman! Sial! Dasar istri tidak berguna!” umpatan itu membuatku mematung didepan pintu, PLAAAAKKKK!!! Rasa panas menjalar kepipi, seolah tangan itu beradu dengan pipiku. PRAAANGGG!!! Pandanganku berkabut, disusul cairan hangat yang menetes karena tak dapat kutahan. Bukan piring atau gelas atau barang pecah lainnya yang kutangisi, atau karena setiap harinya peralatan makan kami berkurang drastis. Bukan, sama sekali bukan! Tapi lebam biru yang kudapati, entah itu diwajah atau bagian badan Ibu yang lain.
Akhirnya pintu itupun dibuka, laki-laki yang harus kupanggil ayah itu, bergegas keluar, meninggalkan aroma minuman yang membuat perutku serasa diaduk. Dan disudut meja makan dekat dapur, kulihat ibu menangis tertunduk.
“Ayo, kita pergi Bu! Kita tinggalkan dia! Bangsat itu, bisanya cuman menyiksa!” ucapku sambil menggertakan gigi, menahan amarah yang menyesak didada, begitu melihat tanda lima jari dipipi ibu.
“Yang kau panggil bangsat itu, ayahmu!” sergah ibu, entah menahan amarah padaku, atau menahan air mata yang mengancam jatuh.
“Hanya karena dia ayah kandungku, apa kemudian aku harus memanggilnya ayah? Yang dia lakukakn hanya memukuli kita! Sampai kita mati! Mungkin dia baru puas!” bantahku.
Aku menolak keras-keras mengakui dia ayahku, walau dalam kenyataan dia memang ayah kandungku. Tapi lecutan demi lecutan ikat pinggang yang kuterima hampir tiap waktu, dan hanya karena kesalahan sepele, seperti salah membelikan rokok yang dia minta, atau salah mengambilkan barang yang diinginkannya. Membuatku memikirkan ulang, pantas tidaknya seorang laki-laki dipanggil dengan sebutan ayah.
Air mata itu mengalir tak tertahan! Melihat tangis ibu pecah, hatiku pun terasa tersayat, kudekati dia dan kupeluk erat. Maafkan aku ibu! Walaupun tak terucap, tapi dalam hati aku tahu, ibulah yang menanggung beban paling berat.
Setelah ibu tenang, aku menyuruhnya berbaring dikamar. Menggantikan tugasnya berbelanja sayuran untuk bahan membuat gorengan, setidaknya hanya itu yang dapat kulakukan. Dengan susah payah, kubuka pintu tua yang sudah reyot dan salah satu baud engselnya lepas itu.
Deg! Jantungku serasa lompat ke tenggorokan. Disitu, didepan pintu, berdiri nenek Elis, dengan senyum seringai yang menghiasi bibirnya, jemarinya mengelus lambat-lambat salah satu kelinci menjijikan miliknya. Membuatku bertanya-tanya, berapa lama dia sudah berdiri disitu?
Setengah gugup, kubalas senyumnya, lalu cepat-cepat berlari menuju pasar. Orang bilang senyum ramah nenek Elis selalu menyenangkan, tetapi untukku senyum itu bagaikan seribu misteri yang membuat bulu kuduk berdiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/14939623-288-k548445.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KELINCI
Mystery / ThrillerHati-hati dengan kelinci, mereka mungkin terlihat imut dan menggemaskan. Tapi mereka juga bisa menggigit! Andien harus menghadapi kerasnya hidup. Diusianya yang baru empat belas, dia harus menghadapi seorang ayah yang memukuli dia dan ibunya setiap...