Nenek Elis

946 47 10
                                    

Suara-suara itu, tidak bisa berhenti! Suara-suara itu, memenuhi telinga dan kepalaku! Huh, tidak bisakah kalian semua diam! Gerutuku dalam hati. Hampir seratus lima puluh tahun aku meladeni kalian semua. Tidak bisakah semalam saja aku tidur dengan tenang?!

“Diam...!” Bentakku, suasana langsung senyap. Yang terdengar hanya cicitan dan helaan napas-napas kecil. Baguslah, rupanya kelinci-kelinci sialan itu bisa juga diam! Saat menjadi manusia, yang bisa mereka lakukan hanya menindas orang lain supaya bisa merasa hebat. Sekarang sudah jadi kelinci, yang bisa mereka lakukan hanya merengek dan meratap.

Kurebahkan lagi tubuh renta yang sudah sering merasakan ngilu ini di ranjang. Kututup mata dan mencoba lagi untuk tidur. Tapi kantuk memang sudah jarang datang tepat waktu. Kalau sudah begini lebih baik keluar melaksanakan tugas. Ya, dulu aku menyebutnya tugas! Tapi sekarang aku menyebutnya kutukan!

Kupaksakan tubuh tua ini untuk berdiri dan turun dari ranjang. Kemudian kuraih jaket yang tersampir di kursi, di samping tempat tidur. Merapatkannya ke badan, supaya angin malam tidak terlalu menusuk. Kalau kau sudah berumur hampir seratus tujuh puluh tahun, hembusan angin bisa terasa sampai ke tulang, sekuat apapun kekuatan yang kau miliki.

Ya, kekuatan itu pula yang membuat tubuhku menua perlahan. Disaat tubuh ini sudah harus menjadi belulang dibalut tanah, aku masih bisa berjalan dan mengintimidasi orang-orang yang katanya terlahir untuk ditakuti. Tapi kalau tidak rutin digunakan, dia menekan, mendesak dan mencekik tubuhku dari dalam, seolah berteriak meminta korban berikutnya. Hampir gila, aku dibuatnya!

Kututup pintu reyot yang setiap digerakkan selalu mengeluarkan suara berdecit, dengan satu tangan. “Ibu …,” pekik suara anak perempuan dari lantai atas, pasti Andien! Ingin rasanya melangkahkan kaki menuju lantai tiga, tapi ini belum saatnya. Bukan aku yang akan memberi pelajaran pada laki-laki tidak tahu diuntung itu.

Jadi kupaksakan juga kaki ini melangkah menuruni tangga, ke lantai satu. Lalu keluar dari pintu utama, yang walaupun terlihat kusam karena debu dan kotoran menahun, ukiran berbentuk burung meraknya masih tetap terlihat indah dan pantas untuk dikagumi. Pastilah karya cipta seorang seniman hebat pada masanya.

Rusun ini sudah tua dan bobrok, begitu juga lingkungan dan manusia-manusia di sekitarnya. Hampir disetiap sudut gang berdiri wanita-wanita yang tanpa malu menjajakan diri, memancing laki-laki hidung belang yang tak kalah bejatnya. Pemuda-pemuda tanggung berkelompok sambil asik bermain kartu dan mempertaruhkan semua yang mereka miliki, dari mulut dan badan mereka tercium aroma busuk minuman keras.

Kurasakan badan ini memanas dan jantung berdegup kencang. Rupanya kekuatanku sudah tak sabar untuk dilepaskan. Ya, kekutan ini seolah punya pikiran dan keinginan sendiri, dan terkadang aku yang tenggelam, hilang ditelan sosok hitamnya.

Sabar! Kataku dalam hati, berusaha meredam luapan adrenalin yang selalu mengikuti setiap berdekatan dengan manusia-manusia, yang tidak layak disebut manusia. Kuteruskan langkah, ke arah belakang rusun, dimana terdapat tanah terbengkalai yang sepi dan remang-remang, karena lampu-lampu jalan di daerah itu sudah lama mati.

“Jangan! Kumohon jangan!” isakkan putus asa seorang perempuan menghentikan langkahku. Adrenalin seolah ikut memompa aliran darah, membuat jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Perlahan dan tanpa suara kulangkahkan kaki ke sudut tergelap, tempat dua siluet manusia itu berada.

Sang wanita tak henti-hentinya menangis sambil memohon-mohon, suaranya sudah serak, mungkin karena terlalu banyak berteriak. Bagian kerah sampai lengan baju kanannya sudah sobek, tas tangan berwarna kuning tergeletak tak jauh dari kaki si wanita. Jelas tujuan laki-laki ini bukan barang atau uang.

Manusia menjijikan! Tubuhnya yang kekar dan tegap, potongan rambutnya yang plontos, dan punggung yang lebar. Mengingatkanku pada seorang prajurit kompeni yang melakukan hal yang sama, seratus lima puluh tahun silam. Tak sanggup lagi kucegah luapan adrenalin dalam darah. Akupun menyerah! Dan membiarkan kekuatanku mengambil alih.

KELINCITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang