Sebuah cerpen karya mizu_hikari
***
Namaku Garuda Hanung Prasetya, biasa disapa Garda. Kata bunda, aku diberi nama Garuda agar bisa terbang tinggi mengelilingi dunia. Tapi sesungguhnya, nama itu diberikan oleh kakek yang begitu cinta pada negeri Pancasila-- Indonesia.
Keluargaku memang menjunjung tinggi nasionalisme. Beda denganku yang memaknai kemerdekaan saja selalu gagal. Aku ini wibu tidak tertolong yang sialnya lahir dalam keluarga perwira. Saat keluargaku asik menonton film Bung Karno, diam-diam aku malah mengakses vidio anime di youtub. Memang aku tergila-gila pada negeri sakura yang menurutku begitu hebat. Tentu keluargaku tidak tahu, kalau sampai ketahuan tamat sudah riwayatku. Dimata mereka, pasti aneh bila aku mengagumi negeri mantan penjajah.
Tidak seperti namaku, aku bukanlah pribadi yang mencolok. Hanya anak sekolahan biasa, yang hobbynya bersenang-senang dan menyukai tanggal merah. Namun dalam kalender, ada satu tanggal merah yang sengaja kuhitamkan dengan bolpoin. Tujuh belas Agustus, hari kemerdekaan bangsa. Hari dimana aku harus berdiri berjam-jam dibawah terik mentari meski tanggal merah. Belum lagi sepulang upacara bendera aku masih harus berdebat dengan kakek.
Aku sedikit terganggu melihat antusiasme kakek yang menghias rumah dengan lampu warna-warni yang menurutku menyakiti mata. Beliau memaksaku membantu, sembari bercerita tentang para pahlawan. Dibanding pengorbanan pahlawan saat berperang, rasa lelahku saat upacara tidak ada apa-apanya ujar kakek. Jujur saja, aku tidak bisa menikmati cerita itu. Karena aku, tidak benar-benar tahu apa yang terjadi kala itu. Yang ku pelajari di sekolah selama ini, hanyalah tentang para orang hebat di masalalu. Nama mereka, jasa mereka, riwayat mereka, itu saja.
📼📼📼📼📼📼📼📼📼📼
20 Juli 2018, hari ini aku meninggalkan tanah air diiringi tangisan bunda. Garuda mengepakan sayapnya untuk pertama kali, melintasi samudra menuju Palestina.
Berbeda dengan keluargaku yang mayoritas memilih menjadi perwira, mengabdi pada bangsa. Aku punya jalan yang berbeda dengan memilih menjadi dokter. Awalnya aku mengabdi di pelosok-pelosok negeri, namun aku tak bisa mendidikasikan diri sepenuh hati. Sering kali terpikir, mengapa aku harus susah-susah di perbatasan sedangkan yang punya kuwajiban malah tak peduli? Tentu kakek memarahiku karena pemikiran sempit itu. 'Pahlawan kita dulu, sekalipun tak pernah berpikiran demikian meski harus mengorbankan nyawa' begitu ucap kakek. Namun nasihat itu bagai angin lalu untukku, mana bisa aku berpikir demikian? Posisiku jelas berbeda dengan para pahlawan.
Karena itu aku berpikir, sekalian saja aku membantu orang-orang di medan perang. Mungkin dengan demikian, aku bisa memaknai betapa berharganya kemerdekaan. Dan akhirnya aku benar-benar berangkat ke Palestina bersama rekan-rekan dokter sebagai relawan. Disaat semua beralasan 'ingin membantu sesama', alasanku pergi justru 'ingin tahu rasanya jadi pahlawan'.
📼📼📼📼📼📼📼📼📼
Begitu tiba di Palestina, perasaan tertekanlah yang pertama kurasakan. Situasi disini jelas sangat lain dengan Indonesia. Lebih buruk dari bayanganku.
"Garda kenapa? Ayo cepet, kita mau langsung ke tenda relawan dulu baru nanti bantu-bantu habis berberes."
Salah satu senior menegurku yang tiba-tiba diam mematung menatap barak pengungsian. Aku sedikit tersentak, segera melepas kacamataku dan mengusap mata yang entah sejak kapan berair. "Duluan aja mas, saya nyusul nanti."
KAMU SEDANG MEMBACA
🇮🇩 Commemoration of Glory
RandomGabungan karya member Generation of Dreamers sebagai perayaan ulang tahun Indonesia yang ke-73!! 🔥