Cerpen : Tangisan Garuda

210 16 19
                                    

Karya : NamikazeHana

Ini hanya cerita yang aku tulis dengan penuh keluhan tentang Indonesia, mungkin tentang kamu, mungkin juga tidak. Tapi aku tidak ada maksud untuk menyindir siapapun. Jadi tolong maafkan aku sebelum kamu membacanya.

Namaku, Kayra Darmali dengan status mahasiswa semester 6 jurusan bahasa dan sastra Indonesia. Aku masih melakukan Praktek Kerja Lapangan, disingkat PKL. Dan di sanalah awal mula keluhanku. Di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan.

Tidak, jangan berpikir jika aku mengeluhakan murid-murid yang tidak mengerjakan tugas mereka. Itu sudah terlalu sering. Bukan tentang tugas. Hari itu aku bertanya pada siswa di kelas yang aku ajarkan.

"Apa makna sila ke-2 di lingkungan sekolah?" aku bukan guru PKN atau sejarah, tapi wajarkan jika aku menanyakan hal ini -mengingat seminggu lagi adalah hari kemerdekaan RI.

Semua siswa terdiam, dan aku masih menunggu. Aku membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk melihat seorang siswa mengacungkan tangan. Dia berdiri, badannya tegap tapi rambutnya berantakkan. Ciri khas anak teknik, lupa memperhatikan diri.

"Maaf, Bu. Saya lupa sila ke-2 itu apa," ucapnya. Aku kaget, ayolah tidak mungkin kan? Aku berharap siswa itu hanya bercada, dia masih berdiri menunggu jawabanku.

"Baiklah, silahkan duduk," balasku dan dengan cepat tanggap dia langsung duduk memperhatikan ke arahku. Aku menghela nafas, lalu kembali bicara, "kalian boleh saja berfokus pada skill teknik kalian. Tapi bukan berarti kalian melupakan sejarah! Dengan mudah bicara 'saya lupa isi pancasila' itu tidak baik,"

Aku menunggu pembelaan mereka, tapi semua diam. Beberapa menunduk, dan siswa yang berdiri tadi masih menatapku.

Tiba-tiba suara cukup keras dapat aku dengar, "Itu pelajaran SMA!"

itu cukup keras membuat hatiku panas. Rasanya seperti diremas hingga bubuk. Aku mencoba mengatur emosi di depan mereka. Tugas seorang guru adalah memberikan arahan yang benar, menjadi contoh baik dan membimbing mereka sebagai calon generasi sukses.

"Benar tapi kalian juga salah. Kalian harus tetap tau tentang sejarah negara yang kita cintai. Bagaimana Indonesia merdeka? Bagaimana Indonesia saat dijajah? Dan apakah kita sudah benar-benar merdeka?" aku bertanya seperti orang yang sedang berpidato, tatapan mereka berbinar-binar seakan meminta penjelasan lebih. Tapi beberapa juga menatap tajam, menengok ke samping, mungkin tidak suka denganku.

Ada seorang siswi yang mengacungkan tangannya, dia berkata, "Kenapa Ibu berpikir kita belum merdeka? Jelas-jelas bendera merah putih berkibar di mana-mana. Dan kita selalu menyanyikan lagu Indonesia Raya tiap minggu," pertanyaannya membuat aku diam beberapa saat -lebih tepatnya ini sanggahan. Tapi aku menanggapi dengan senyum.

Teng! Teng!

Bel sekolah berbunyi dengan suara yang kurindukan di jamanku. Lonceng yang dibunyikan ketika masuk dan pulang sekolah. Dan di sini masih diterapkan. Aku kembali melihat mereka, ada wajah kecewa yang pura-pura mereka tampilkan.

"Kalian akan tahu nanti," aku sudah membawa buku paket di tanganku. Menunggu instruksi ketua murid memberi salam, dan aku pun keluar.

Hari lainnya sekitar 3 hari sejak itu. Aku masuk ke kelas yang sama, menjalankan amanah wali kelas tentang mata lomba yang akan ada pada lusa nanti. Kali ini mereka menanggapi dengan semangat, setidaknya ... setelah aku membacakan macam mata lombanya.

"Sekolah mengadakan lomba tarik tambang, bakiak, panjat pinang, cerdas cermat, lomba padus, akrobat baris-berbaris dan juga lomba bahasa. Ada yang ingin bertanya?" tanganku. Kali ini laki-laki kemarin bertanya -Galang namanya, aku baru tahu kemarin ketika dia mengambil buku paket. "Ya?"

"Lomba bahasa? Itu seperti apa?" tanya Galang kebingungan.

"Membaca puisi, menulis cerita dan musikalisasi puisi. Semua dengan tema kemerdekaan," jawabaku singkat. Dia mengangguk paham lalu duduk kembali ke posisinya.

"Bu, saya mau bertanya!" tanya siswi di ujung, namanya Rayla, peringkat 1 di kelas katanya. Aku tentu saja mempersilahkan dia untuk bertanya, jadi langsung saja aku dengar pertanyaannya. "kenapa harus ada pelajaran Indonesia di negaranya sendiri? maksudku, ayolah, Bu! Kami bahkan sudah lancar berbahasa Indonesia yang baik dan benar rasanya tidak penting mempelajari pelajaran ini yang terus diulang-ulang."

"Ibu mengerti perasaanmu, iya dulu ibu juga sama seperti kamu. Tidak suka pelajaran ini, tapi jika kamu mengenalnya kamu akan tahu seberapa peliknya Bahasa Indonesia yang menurut kamu gampang," ucapku membalasnya santai. Dia kembali duduk mendengar jawaban yang aku beri. Mengangguk paham setelahnya.

----
Ini keluhanku sebagai calon guru di negeriku sendiri. Mengenal murid yang bahkan lupa, atau mungkin melupakan sejarah. Dan tidak menghargai Bahasa Indonesia. Betapa malu yang harus ditanggung jika pejuang-pejuang tanah air masih di sini? Apakah mereka malu, atau kecewa?

Bahkan Garuda pun akan menangis. Ideologi bangsa hampir terlupakan. Dia tidak mau! Aku berharap bangsa ini maju lebih baik, dan mencintai negaranya. Harapanku, kalian ... murid-murid yang aku ajarkan.

Ah iya, saat lomba aku menjadi juri di mata lomba puisi. Kulihat salah satu karya yang membuat hatiku tergerak, ini milik Galang. Ya anak itu.

Aku akan memperlihatkan puisinya padamu,
-------

Belenggumu yang tak terlihat
Menikam perasaan tulus yang telah tertanam, dulu
Tak bersisa ...

Meraih asa, tak dihargai
Kutinggalkan dan dirimu mengemis hati
Kuberikan satu kesempatan,

Aku terlanjur jatuh hati
pada merah putih bendera ini,
menggerakkan hatiku,
seperti roda berputar.

Kulihat sang Garuda menangis pilu,
merindu bertahun-tahun Indonesia lalu.

Izin aku bernyanyi,
Dengan lantang dan penuh rasa kutuangkan.
"Indonesia Raya."
Mengapa?

Karena aku telah terlanjur,
jatuh hati pada merah dan Putih.

Bandung, 16 Agustus 2018

-Kayra Darmali

🇮🇩 Commemoration of GloryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang