LEILA : ANAK LAKI-LAKI ITU

6.6K 576 14
                                    

Deira di pagi hari selalu ramai, aku suka berlarian di jalanan Souk di sana. Para penjual di tepi jalan yang menjual alat-alat rumah tangga serta kain-kain indah menarik perhatianku. Suara Habibah akan terdengar di belakang, mencoba mengejarku dengan gamisnya yang kebesaran. Jadwal menghapal Al Quran di gedung Sheikh Abu Al Fadil tak pernah kulewati karena hal itu akan membawaku pada kesibukan Deira yang memukau. Tawa para penjual kain dan perhiasan saling bersahutan, memanggil para pejalan kaki. Aku suka semua itu.

"Putri Leila!"

Langkahku terhenti, kepalaku terdongak melihat kain-kain lebar yang tergantung di tiap bagian depan toko. Panggilan Habibah selalu kuabaikan dan ketika dia berada di sisiku dengan napasnya yang terengah, telunjukku terarah pada sepotong kain melambai-lambai cerah.

"Lihatlah, Habibah! Kain itu cantik sekali!"

Habibah mengikuti arah telunjukku, jelas temanku itu tidak tertarik dengan bahan kain apapun yang ada di depan matanya. Tapi aku tahu, Habibah akan menyetujui pendapatku. Kain itu memang sangat cantik.

"Ya. Kain itu cantik sekali. Tapi tidak akan cocok untuk kanak-kanak seperti kita." Habibah menjawab lancar, menarik tanganku agar segera angkat kaki dari lorong jalan Souk.

"Aku akan memakai kain seperti itu saat dewasa," kujawab ia dengan penuh keyakinan.

Lalu Habibah tertawa sambil memeluk Al Quran di dadanya. "Kau akan mengenakan cadar, Leila." Dia menatap kain itu sekali lagi. "Kecuali kau mempunyai suami setampan ayahmu. Kau akan mengenakan kain seindah itu hanya untuknya."

Habibah memang lebih tua dariku. Usia Habibah sudah 10 tahun. Gadis itu sudah mendapatkan pelajaran singkat tentang urusan rumah tangga dan suami. Bagiku yang masih berusia 7 tahun, membahas pembicaraan orang dewasa sama sekali tabu. Lagipula, aku tidak tahu apa itu suami. Yang kutahu bahwa jika ada seorang ibu, pasti ada seorang ayah. Mereka adalah suami dan istri. Hanya sebatas itu pemahamanku. Tak seperti Habibah yang sudah cukup besar.

"Puteri Leila. Kita akan terlambat."

Hasan Al-Zoubi, salah satu orang yang menjagaku, menegur halus. Dia laki-laki muda, bertubuh tinggi dengan janggut lebat dan kerap kali menggenakan serban. Tutur katanya halus dan penuh kesabaran jika menghadapiku yang bandel untuk menuju gedung Sheikh Abu Al- Fadil. Seperti kali ini, Hasan membungkuk agar bisa menatap wajahku yang cemberut. Tangannya yang besar menyerahkan Al Quran untuk kupeluk sepanjang berjalan ke kediaman Sheikh.

"Aku masih ingin melihat pasar ini, Hasan." Kucoba untuk mengulur waktu tetapi Hasan menggeleng dan tersenyum.

"Anda akan terlambat jika berlama-lama di sini. Saat hapalan anda berakhir, kita akan berada di sini lagi. Anda akan puas melihat semua barang yang ada di pasar ini."

Aku tersenyum senang mendengar janji yang diucapkan Hasan. "Benarkah?" Hasan mengulurkan tangannya untuk kupegang. Kulihat Hasan mengangguk dan menggandeng Habibah di tangan sebelahnya.

"Hasan tak pernah mengingkari janji, Puteri." Hasan menatapku dan kemudian dia menunjuk kain yang kusuka barusan. "Dan kain indah itu akan anda miliki. Sayyidah Maryam, ibunda anda, sudah membekali uang jika anda menginginkan sesuatu di Deira."

"Ummu? Beliau membekali uang untukku?" anggukan kepala Hasan memberikan jawaban pasti untukku. "Aku bisa membeli kain itu?"

Hasan tertawa singkat. "Tapi kain itu pantasnya anda kenakan saat dewasa, Putri."

"Puteri Leila akan memotong kain itu saat dia dewasa. Gamisnya akan berkilauan dan hanya untuk suaminya kelak." Habibah menjawab pernyataan Hasan dengan cengiran.

Hasan berbalik menatapku. "Benarkah demikian, Puteri?" ada senyum kecil di bibirnya.

Aku menampik ucapan Habibah. "Aku tidak berkata demikian. Habibah yang mengatakannya."

LEILA : A TRUE PRINCESS (COMPLETED) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang