"Miharuuu~"
Gadis si pemilik nama hanya melirik asal suara, Arina tanpa babibu langsung berlari kecil ke tempat Miharu yang sedang duduk sambil membaca bukunya.
Ia berhenti di samping Miharu, sementara gadis itu mendongak melihat Arina dengan tatapan serius.
"Kau tau, Miharu!! Hideyan bilang... Hideyan bilang...!!"
Kepulangan Arina langsung saja membuat apartemen mereka berisik. Tidak seperti setengah jam yang lalu, hanya suara dari gelas yang berbenturan dengan meja, suara kertas yang dibolak-balikkan, atau suara sendal. Begitulah suasananya kalau hanya ada Miharu di sana.
Arina mendudukkan dirinya di samping Miharu, wajahnya sumringah. Kerutan langsung menghiasi kening Miharu, kesal dengan Arina yang berbicara tidak jelas.
"Memangnya apa yang dia bilang?" tanya Miharu. Bukan penasaran, tapi hanya ingin Arina menyelesaikan ucapannya dan pergi. Ia mau membaca dengan tenang.
"Dia bilang mau!"
"Mau?"
Kepala Arina mengangguk, "Iya!!! Dia bilang mau jadi pacar pura-puraku di depan ayah!!"
Miharu sempat terdiam, ia mencerna ucapan Arina untuk beberapa saat. Kemudian matanya sedikit melebar kaget.
Melihat wajah Miharu memberikan respon, ia mengambil handphonenya yang disimpannya di dalam tas. Arina menghidupkan layar terpanya, menekan sesuatu lalu jarinya beberapa kali naik-turun di layar sentuh itu.
"Lihat ini!" Handphone itu berpindah tangan pada Miharu, "Aku tidak salah baca kan?"
Gadis Sato pun membaca pesan dari pemuda itu dan memang Arina tidak salah membacanya. Hideya mengiyakan ajakan Arina, itu cukup mengejutkan. Namun, Miharu masih bingung. Kenapa rasanya pemuda itu sedikit gegabah?
Dan Arina memang benar-benar berniat menipu ayahnya seperti usulan Miharu? Rasanya Miharu ingin mengulang hari itu dan menghapus usulan tersebut dalam otaknya sehingga tidak mengatakannya. Meskipun itu tidak bisa disebut sebagai usulan.
Bertemu kembali dengan pemuda itu ternyata tidak se-dramatis yang Arina bayangkan. Keesokan harinya setelah mereka bertemu, Arina dan Miharu melihat pemuda itu sedang menuju gedung yang ia sebut sebagai tempat latihannya. Langsung saja Arina meminta kontaknya dan tentu saja, Hideya memberikannya tanpa berpikir panjang.
Dan terulang lagi, kejadian Miharu menarik Arina untuk berpisah dengan pemuda itu.
"Mungkin dia pikir kau sedang... bercanda?" tanya Miharu dengan sengaja mengecilkan volume suaranya di kata terakhir.
Wajah bahagia Arina segera lenyap, digantikan wajah cemberut. Kedua tangannya meremas dan menarik ujung rambutnya yang panjangnya sebahu.
Jujur saja, Miharu masih tidak mengerti dengan orang seperti Arina yang bisa dengan cepat mengubah moodnya.
"Jangan bikin aku hilang harapan dong! Siapa lagi yang bisa kusuruh untuk jadi pacar pura-puraku di depan ayah selain dia?"
Miharu sampai tidak berkedip melihat ekspresi menyedihkan Arina. Gadis Koizumi itu mulai mengacak-acak rambut cokelat sebahunya itu dengan gerakan cepat.
Helaan napas terdengar dari Miharu, ia menggelengkan kepalanya pelan kemudian menutup buku yang di pegangnya dan menyimpannya di atas meja yang terletak di depan sofa yang ia duduki.
Tangannya segera diarahkan ke kepala Arina dan menarik kedua tangan gadis itu, "Lebih baik kau tanyakan langsung melalui telepon, gampang kan?"
Mata Arina memandang wajah gadis yang duduk di depannya, matanya sedikit membesar ketika ia menaikkan alisnya sedikit. Lalu, senyum perlahan-lahan mengembang di bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gravity
FanfictionBerdasarkan mimpi dari sang author. Warning: Ini sangat-sangat-sangat- OOC. :') *** Sato Miharu tidak pernah mengharapkan sesuatu yang melebihi perkiraannya. Ia hanya ingin semua yang direncanakannya berhasil. Bebas dari ayahnya, pindah ke Tokyo, da...