Langit biru dan awan-awan yang menghiasinya adalah hal pertama yang terpampang saat melihat jendela. Saat melihat ke bawah, pemandangan daratan yang begitu luas langsung menyambut, sungai yang terlihat seperti ular yang meliuk-liuk, dan tak lupa juga, lautan.
Arina kemudian menyenderkan tubuhnya setelah puas melihat pemandangan dari jendela pesawat. Ia kemudian melirik ke sebelahnya, seorang pemuda menggunakan masker untuk menutupi sebagian wajahnya tertidur dengan kepala sedikit menunduk. Arina hanya tersenyum kecil, ia kembali melihat lurus ke depannya.
Seketika ia menahan tawanya ketika teringat dengan kejadian tadi pagi.
Saat alarmnya sudah berbunyi, Arina sama sekali tidak bergerak untuk bangun maupun untuk mematikannya. Miharu-lah yang membangunkannya dengan tendangan, sehingga Arina berhasil bangun.
Setelah itu, Arina panik karena tiket pesawatnya hilang. Miharu hampir saja mencekiknya saat itu juga karena kecerobohan Arina yang tak kunjung hilang dan menyuruhnya untuk membelinya lagi daripada terlambat karena mencari tiket hilang itu. Sayangnya, tiketnya hilang bersama tiket milik pemuda Tawada itu.
Mereka pun mencarinya hampir satu jam dan menemukannya di dalam tas yang sedang di pegang Arina saat itu.
Pagi itu, Miharu sudah kehabisan kesabarannya. Ia benar-benar mencekik Arina setelah mereka sudah menemukan tiketnya.
Bukan hanya Miharu saja yang marah padanya, Hideya juga menyemburkan amarahnya pada Arina ketika gadis itu meneleponnya untuk segera berangkat.
Masalahnya, malam tadi Hideya baru saja menyelesaikan pentasnya dan berakhir pesta untuk merayakan kesuksesan mereka. Hideya baru bisa pulang dan tidur sekitar jam dua pagi. Tidurnya pun terganggu karena Arina.
Memang salah Arina yang mengambil semua keputusan secara sepihak, tidak melibatkan Hideya sama sekali. Wajar kalau gadis itu dimarahi.
Satu hal yang membuat Hideya marah: penerbangan mereka adalah penerbangan pagi.
Untung saja jarak apartemen Hideya ke bandara tidak sejauh dari apartemen Arina. Ia masih bermalas-malasan untuk beberapa saat, barulah ia bersiap-siap untuk pergi.
Sampai di bandara, sekali lagi Hideya memarahi Arina. Sepertinya lebih puas memarahinya langsung daripada lewat telepon.
Arina menggeleng pelan, "Hideyan kalau marah sama seramnya sama Miharu. Hii~"
Lama penerbangan dari Tokyo ke Osaka memakan waktu satu jam lebih beberapa menit saja, jadi Arina memilih untuk tidak tidur selama penerbangan.
Pemberitahuan bahwa mereka akan segera mendarat sudah terdengar. Arina kembali menoleh pada Hideya, tapi pemuda itu masih diam di posisinya.
Kepala Arina bergerak mendekati Hideya, pemuda itu memang masih di alam bawah sadarnya.
"Hideyan, kita sudah sampai." seru gadis itu.
Namun, tidak ada tanda-tanda pemuda itu akan bangun.
Arina memegang lengan Hideya yang paling dekat dengannya, digoyangkannya lengan itu pelan.
"Hideyan, bangun. Kita sudah sampai~"
Mata pemuda itu terbuka perlahan, matanya bergerak ke kiri dan ke kanan. Terlihat bingung.
"Hm?" gumamnya linglung. Matanya terlihat segaris, "Dimana ini?"
Mendengar itu, Arina hampir saja tertawa tapi ia menahannya. Memangnya tidur bisa membuat orang amnesia mendadak ya?
"Di pesawat, sebentar lagi kita mendarat."
Hideya menganggukkan kepalanya sebagai respon. Sebenarnya ia masih mengumpulkan nyawanya yang tertinggal di alam bawah sadar. Tiba-tiba saja ia tersentak, Arina yang di sampingnya sempat menatapnya heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gravity
FanfictionBerdasarkan mimpi dari sang author. Warning: Ini sangat-sangat-sangat- OOC. :') *** Sato Miharu tidak pernah mengharapkan sesuatu yang melebihi perkiraannya. Ia hanya ingin semua yang direncanakannya berhasil. Bebas dari ayahnya, pindah ke Tokyo, da...