Malam ini begitu banyak perasaan aneh yang terus berkecamuk dalam hatiku, perasaan yang terus kupaksa untuk tidak kurasakan namun semakin ku paksa hatiku justru semakin tidak karuan. Tepat di depanku Kak Bima sedang lahap memakan makan malamnya, yang menyebalkan adalah ia kembali bersikap dingin dan tidak bicara bahkan setelah kita terjebak dalam momen sedikit intim serta sama-sama menahan tawa karena kentut indah milik Qila.
Kak Bima menyuruhku untuk turun lebih dulu karena ia tadi harus mencuci muka dan memastikan Qila tidak terbangun, setelah itu ia baru turun dengan wajah yang sudah segar dan langsung duduk menikmati makanannya tanpa mengucapkan apa-apa. Hal baik yang setidaknya harus ku syukuri adalah sekarang ia tidak membuat jantungku berdetak terlalu kencang lagi.
"Enak kan Bim?"
"Hmmm"
"Aira yang masak loh, langsung enak padahal baru pertama kali buat ya Ra"
Aku tersenyum malu mendengar pujian dari Eyang, memasak memang terasa lebih mudah dibanding menyusun skripsi untukku jadi aku cukup percaya diri dengan semua hasil masakan buatanku. Namun baru beberapa detik aku merasa lega jantungku bisa kembali berdetak normal sekarang Kak Bima malah membuatnya kembali berdetak tidak menentu karena menatapku intens sambil mengunyah makanannya walau kemudian ia menunduk dan kembali fokus pada aktivitasnya.
"Terimakasih"
Singkat padat namun sungguh bermakna.
Setelah makan malam selesai tiba juga waktuku untuk pulang ke rumah, melihat aku yang sudah bersiap pulang Eyang seperti tidak rela dan menyuruhku menginap namun Kak Bima memberi pengertian pada Eyang bahwa ia sudah berjanji pada keluargaku untuk mengantarkan aku pulang dan Eyang akhirnya mengerti.
"Ini nomor Hp Eyang, nanti hubungi Eyang ya biar kita bisa ketemu dan main masak-masakan lagi"
"Iya Eyang, terimakasih untuk hari ini"
"Eyang yang terimakasih karena Aira mau capek-capek bantu Eyang, lain kali main kesini lagi ya nginep juga kalau bisa"
"Hehe iya Eyang"
"Ya sudah Bima antar Aira sampai rumah dengan selamat ya"
"Iya Eyang titip Qila ya"
"Iya hati-hati ya nak"
"Berangkat dulu Eyang"
Belum sempat menyusul Kak Bima yang sudah lebih dulu pergi ke garasi Eyang tiba-tiba menarik tanganku dan membisikkan sesuatu.
"Eyang senang kalo kamu bisa jadi ibunya Qila pasti Bima juga begitu"
Aku yang sedikit terkejut berusaha tersenyum mendengar perkataan Eyang yang diakhiri dengan kedipan matanya, perasaan bingung sangat menyelimuti hatiku tapi yang jelas ada perasaan lega dan senang terselip disana.
***
"Kak Bima ikut masuk?" Tanyaku melihat ia turun dari mobil dan berjalan mengikutiku hingga masuk ke teras.
"Iya, bisa tolong panggilkan kakak atau ibu kamu"
Aku mengangguk tapi sepertinya aku tidak perlu repot-repot memanggil Aa Niko dan Mamah karena mereka sudah berdiri di depan pintu masuk sambil menatap ke arah Kak Bima.
"Ya ampun ganteng banget kaya pemain film luar negeri"
Celetukan Mamah yang tidak tahu situasi membuat suasana tegang berganti menjadi canggung bahkan sempat ku lihat Aa Niko menghembuskan nafas berat setelah mendengar pernyataan Mamah yang kelewat jujur.
"Selamat malam kak, Bu saya Bima yang tadi telepon" Kak Bima mendekat dan menyalami tangan Aa Niko lalu mencium tangan Mamah.
"Selamat malam ganteng"

KAMU SEDANG MEMBACA
Papa Beruang Merah (18+)
RomanceHidup Aira Rayina seorang mahasiswi tingkat akhir berubah drastis ketika Bima Dirgantara seorang duda beranak satu datang dan melamarnya, sikap dingin Bima dan sikap periang Aira justru membuat hidup mereka semakin berwarna. Namun masa lalu yang bur...