“Tuan Lai, Anda mendengar saya?”
Pemuda itu menoleh pelan, menatap sang psikiater dalam tatapan kosong. Usia sang psikiater tampak menginjak 40 tahunan dengan rambut memutih dan garis-garis kerut di kening. Wajahnya menekuk, memperlihatkan garis-garis halus yang entah tanda penuaan atau tanda kelelahan menghadapi orang-orang seperti Guanlin. Saat mata sang psikiater mengarah pada Guanlin, ia seakan merasa dikuliti habis. Mata itu menindai, menyapu tiap gestur Guanlin dan menilai sampai hal terkecil.“Halo?”
Suara sang psikiater terdengar di telinga, tetapi Guanlin tidak menunjukkan reaksi apapun selain menatap kosong. Ia bahkan meragukan kepalanya sendiri. Apakah sang psikiater benar-benar berbicara padanya? Apakah sang psikiater ini benar ada? Atau semua ini hanya akal-akalan kepalanya? Yang mana realita dan yang mana yang ilusi semata? Guanlin tidak tahu apapun lagi. Batas antara realita dan imajinasi sudah memudar dan hilang pada detik sejak semua itu terjadi satu tahun yang lalu.
Tidak lagi.
Ia tidak mau melihat sepatu merah atau apapun yang mengingatkannya pada pemuda itu.
.
.
.
Satu tahun yang lalu, Lai Guanlin berkenalan dengan Park Jihoon.Waktu itu musim dingin dan salju mulai turun. Kakinya melangkah pada sebuah kafe demi menghangatkan diri (dan merutuki dirinya sendiri, harusnya ia pakai syal yang lebih tebal lagi). Saat itu kafe ramai, membuatnya terpaksa melangkah lebih sudut demi sebuah tempat duduk. Ia menemukannya di hadapan seorang pemuda dengan senyum manis dan sepatu kulit merah di kaki. Bukan sepatu yang lazim ia lihat bertengger di kaki seorang lelaki. Mengkilat dan tampak mahal. Beli di mana?
“Kau kedinginan, Guanlin?”
Sapaan itu terlontar halus dengan pulasan senyum. Guanlin balas tersenyum. Jihoon ramah. Impresi yang ditinggalkannya mengesankan. Bola mata Jihoon mengingatkannya akan cantiknya bola mata rusa. Rambutnya yang halus, sehalus tutur kata dan gesturnya. Pemuda itu tampak seperti bukan manusia, ia tampak seperti patung pahatan dewa saking sempurnanya. Baru kali ini Guanlin melihat pemuda yang seindah ini, wajar saja ia terkejut.
“Tidak lagi, setelah masuk sini.”
“Saljunya tidak bisa diprediksi, ya.” Senyum Jihoon terkulum, “Rasanya tadi pagi tidak ada tanda-tanda salju akan turun. Dan ini awal musim dingin.”
“Mungkin efek iklim yang sudah kacau. Kau tahu, setelah gelombang panas tahun ini, musim dinginnya jadi seburuk ini.”
Guanlin menyeruput kopinya dan mengarahkan pandangan ke luar jendela. Salju masih belum menunjukkan tanda-tanda ingin berhenti. Kembali ia menatap Jihoon yang memakan croissant dan menyadari sesuatu.
Jihoon tidak pernah melepaskan pandangannya dari Guanlin.
.
.
.
Guanlin tidak pernah memperhatikan bagaimana semenjak saat itu, ia sering bertemu dengan Jihoon.Terlalu sering.
Matanya akan menemukan Jihoon di salah satu sudut, tersenyum padanya. Terkadang Jihoon akan melambaikan tangan dan mereka akan berbincang sejenak. Terkadang Jihoon akan hilang dalam kerjapan mata—seakan ia tidak pernah ada di sana sejak awal. Dan Jihoon masih memakai sepatu yang sama—sepatu merah menyala itu (Guanlin pernah bertanya tentang sejarah sepatu itu dan Jihoon berkata, “Ceritanya panjang,” seraya tersenyum). Guanlin tidak pernah memikirkannya. Disangkanya ia hanya salah lihat, kau tahu, lelaki berwajah manis seperti Jihoon di Korea Selatan jumlahnya tidak sedikit. Biarpun yang benar-benar sempurna hanya Jihoon.
Dan Jihoon selalu menatapnya. Dalam tiap perkataan. Dalam tiap cakap yang ditukar. Tidak pernah sekalipun pandangan Jihoon berpaling. Kali pertama Guanlin menatap mata Jihoon, ia terpana akan kedalamannya. Mata Jihoon seperti sebuah samudera yang luas yang dasarnya masih menjadi misteri dan Guanlin tidak pernah memikirkan apa.

KAMU SEDANG MEMBACA
DERN
Fanfiction[Prompt 6 for Petrichor on September] Dern mean secret, hidden, dark, gloom, sorrow. Kuanlin tahu kalau Jihoon menyukainya, namun ia tidak pernah menyangka kalau Jihoon akan menggunakan cara apapun untuk membuat Kuanlin menjadi miliknya, terutama me...