Chapter 4: Dark Inside

42 7 0
                                    

***

Bryan kembali ke rumahnya dengan wajah yang biasa saja. Ia kembali dengan jalan kaki menyusuri jalan kota yang cukup ramai.

Rumahnya terlihat cukup besar dengan 2 lantai cat warna pink dan pagar besi hitam yang cukup mengkilap. Ia pun membuka pagar pintu rumahnya dan melangkah maju ke teras rumah yang cukup sempit. Ia pun langsung membuka pintunya.

Ia melihat bahwa rumah sudah berantakan dengan pakaian dimana-mana. Bantal sofa untuk ruang tamu juga sudah berantakan bagaikan di lempar.

Ia melangkah maju dengan ragu-ragu. Pada saat ia sudah berada di ruang tengah, ia dapat melihat dari kejauhan bahwa orang tuannya sedang berkelahi di kamar. Pertengkaran mereka sangatlah keras terdengar oleh telinga Bryan.

Pemandangan seperti ini sebenarnya sangat biasa bagi Bryan. Ia tahu bahwa beberapa tahun terakhir, hubungan orang tuanya renggang. Bahkan selalu saja ada pertengkaran tiap harinya.

Orang tua Bryan melihat anaknya sudah kembali ke sekolah. Mereka pun menghentikan pertengkarannya dan sang ibu langsung menghampiri Bryan.

"Nak, lebih baik kamu naik ke atas dan langsung ke kamar. Ayah dan ibu tidak apa-apa kok. Hanya pertengkaran kecil saja."

Sang ibu selalu saja mengatakan bahwa itu adalah pertengkaran kecil. Padahal, rumah ini bagaikan kapal pecah karena pertengkaran orangtuanya. Namun, apa daya. Bryan hanya diam dan berusaha tersenyum manis.

"Ya bu, aku ngerti kok."

Bryan melangkah naik ke lantai atas meninggalkan ibunya di bawah. Sesaat kemudian ia naik ke atas dan menuju kamarnya, ia mendengar orangtuanya kembali bertengkar. Bryan hanya berusaha untuk menutup telinganya dengan menggunakan headset dan mendengar lagu dengan keras agar ia tidak dapat mendengar kegaduhan tersebut.

Namun, semakin ia berusaha untuk tidak mendengarkannya. Semakin ia mendengar kegaduhan tersebut. Ia tidak bisa apa apa selain menangis, ia sangat tidak kuat mendengar suara tersebut.

Ia pun mengambil sebuah buku yang sangat tebal. Sebuah buku dengan judul yang membuatnya tersenyum pahit.

"My memory."

Ia membuka buku itu. Foto-foto masa kecilnya bersama orangtuanya yang ia kenang. Ia membuka halaman demi halaman yang membuatnya terkenang dengan masa kecilnya yang membahagiakan.

Dia bersama orangtuanya begitu bahagia pada saat itu. Namun, semuanya sudah berubah. Orangtuanya selalu saja bertengkar setiap saat tanpa henti.

"Jika saja waktu dapat kembali ke saat aku masih kecil, aku ingin mengembalikan kebahagiaanku yang telah hilang. Kebahagiaan sederhana
Namun hakiki yang membuat hidupku menjadi tenang."

Air matanya berlinang membahasi buku foto tersebut. Pikiran Bryan sangatlah kacau. Yang ia butuhkan hanyalah sebuah kebahagiaan.

Hanya kebahagiaan.

***

Pada saat ia berangkat ke sekolah, ada seorang murid yang mengejeknya dengan kata kata kotor. Namun, Bryan tetap berusaha untuk diam dan tidak menggubrisnya.

Namun, semakin lama semakin sakit hinaanya. Ia menghina dirinya dan juga orangtuanya. Ia pun sudah muak dan ingin mengakhiri mulutnya yang sudah kelewat batas itu.

Namun, hati nuraninya masih berusaha untuk bertahan. Ia tetap diam saja dan melanjutkan perjalanan.

Hingga, ia melihat seseorang yang di kenal olehnya berusaha memukul murid yang mengejeknya dengan keras. Sontak saja Bryan pun berusaha melerainya.

"Rizal! Sudahlah jangan pukul dia. Ada apa ini?" Tegas Bryan yang berusaha melerai.

"Aku tidak suka jika ia menghina seseorang. Aku mendengar semuanya. Ia menghinamu bahkan orangtuamu di hina dengan kata kasar. Apakah kau tidak tersinggung?" Tegas Rizal.

"Hmm aku berusaha untuk tidak tersinggung. Aku tidak ingin ada masalah yang membuat orangtuaku malu jika aku menanggapi hinannya." Jawab Bryan dengan bijak.

Bryan pun mengulurkan tangannya untuk membantu orang yang membullynya agar bediri kembali.

"Tenanglah, aku tidak marah kok. Aku yakin kau hanya bercanda saja." Ujar Bryan dengan senyum simpulnya.

"Ini ada hadiah kecil untukmu. Anggap saja permohonan maaf untuk Rizal karena ia memukulmu."

Bryan memberikan sebuah permen cokelat dengan bentuk yang sangat indah.

"Ayo Rizal, kita pergi ke kelas. Aku yakin pelajaran akan segera di mulai." Ajak Bryan kepada Rizal.

Rizal hanya menghela nafas dan menuruti apa yang di katakan Bryan. Sebelum itu, murid yang membully Bryan itu menghampiri Bryan dengan senyumannya dan menjabat tangan Bryan.

"Emm namaku Ade. Salam kenal."

"Salam kenal juga

"Aku minta maaf jika aku kelewatan, kau memang baik Bryan."

"Hehe tidak perlu seperti itu, aku ikhlas kok. Terima saja permen dariku dan kau kumaafkan."

"Baiklah terima kasih Bryan."

"Sama-sama Ade."

Bryan dan Rizal pun masuk kedalam kelas dan Bryan menaruh tas miliknya. Ia pun duduk dan membaca novel kesukaannya kembali. Sebuah senyum simpul terpancar di wajah Bryan.

"Malang sekali anak itu."

Bersambung.

Semakin seru bukan? Di tunggu kelanjutannya ya.

Harap vote dan komen ya.

Terima Kasih...

MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang