G E R H A N A
Sebuah cerita biasanya di awali dengan satu pagi yang cerah, lalu ada seorang perempuan yang bangun pagi lebih awal dengan harapan akan begitu banyak hal baik yang ia temui hari ini, lalu sarapan dengan secangkir susu dan selembar roti tawar yang diolesi selai cokelat, dan berangkat kuliah dengan perasaan bahagia karena akan bertemu teman-teman ataupun pujaan hatinya. Tapi kenyataannya, kali ini tidak denganku.
Pukul sebelas malam di Ibu kota Jakarta. Aku masih setia terpaku di hadapan layar laptop dengan setumpuk tugas kuliah yang harus segera kuselesaikan malam ini karena besok harus di kumpulkan tepat pukul sembilan pagi di meja dosen yang terkenal galaknya.
Namaku Hana. Gerhana Kirana Santoso. Anak kedua dari dua bersaudara. Aku mempunyai kakak laki-laki yang kerap ku panggil 'abang'. Tirta Setya Santoso. Kuliah S2 jurusan arsitektur, meneruskan bakat mendiang ayahku. Lalu Ibuku, ia mempunyai tangan ajaib yang mahir memasak kue terenak sejagad raya. Percayalah, tidak ada yang bisa mengalahkan brownies buatan Ibu.
Aku masih ingat, waktu kecil di rumah kami yang masih sangat sederhana, setiap pagi di hari Minggu, kami dibangunkan dengan bau kue brownies cokelat kesukaanku dan abangku. Lalu kami berdua berebut siapa paling banyak yang bisa menghabiskan potongan kue brownies dan akhirnya kami berdua sakit gigi karena kebanyakan makan cokelat.
Semenjak itu, Ibu tidak pernah mencampurkan kue browniesnya dengan cokelat dan menggantinya dengan ubi ungu. Sempat kami berdua ragu dengan rasanya, karena pasti lebih enak rasa cokelat daripada ubi ungu. Namun, berkat tangan ajaib Ibu, kami tetap berebut potongan kue brownies ubi buatan ibu yang ternyata rasanya lebih enak dari brownies yang biasa Ibu buat untuk kami.
Masa kecilku tidak semudah masa mudaku saat ini. Minta sepatu baru saja aku harus menunggu sampai sepatu lamaku rusak. Untungnya aku mempunyai sosok Ayah yang tidak kenal lelah berjuang untuk kami semua. Hingga saat aku memasuki bangku SMP, Ayah membelikanku sepeda dari hasil jerih payahnya sendiri. Lalu membelikanku tas baru, buku baru, baju baru, hingga Ayah dapat membangun rumah baru yang benar-benar kokoh untuk kami berempat. Lalu saat aku duduk di bangku SMA, Ayah berhasil mewujudkan mimpi Ibu, yaitu membuka toko kue brownies.
Sudah hampir lima jam aku duduk terpaku melihat layar laptop yang mulai membuat mataku perih, aku menghentikan kegiatanku sejenak dan mengalihkan mataku ke arah lain lalu berhenti pada sebuah bingkai foto berisi anak laki-laki tinggi dan perempuan berambut pendek berkacamata yang sama- sama menggunakan seragam sekolah SMA. Fotoku bersama Dipta.
"Dipta, kamu dimana?".
Semenjak kepergiannya ke Amerika, ia menghilang entah kemana, boro-boro mengirim surat, mengirim pesan lewat SMS atau e-mail saja tidak pernah. Dipta benar-benar hilang. Sahabat yang masih aku cintai sampai saat ini.
Perasaan yang tidak pernah berubah sejak duduk di bangku kelas 11 dan belum sempat ku utarakan pada Dipta. Karena aku tahu perasaan ini suatu saat hanya akan merusak persahabatan kami, dan aku tidak mau Dipta menjauh dariku hanya karena sekedar perasaan yang konyol ini. Tapi kenyataannya, mengutarakan perasaanku ataupun tidak, Dipta tetap hilang.
Rasanya tenagaku hampir terkuras habis karena memikirkannya setiap malam. Hampir setiap malam selama dua tahun. Tersiksa? Awalnya, namun lama-lama aku mulai terbiasa menaruh perasaan pada bayangan Dipta yang semu. Rasanya percuma menunggu seseorang yang belum tentu akan kembali bukan?. Tapi aku yakin, suatu saat ia pasti akan pulang. Dipta selalu menepati janjinya
Ketukan pintu membuyarkan lamunanku, sontak aku langsung mengalihkan pandanganku kembali ke laptop. Tengah malam begini siapa lagi yang mengetuk pintuku kalau bukan Ibu. "Tidur, nak." Kata Ibu yang sudah hafal dengan kebiasaanku yang suka tidur larut karena mengerjakan tugas. Ibu masuk lalu duduk di tempat tidurku.

YOU ARE READING
Jeda Rasa.
Teen FictionDipta berjanji akan pulang, namun Esa berjanji tidak akan hilang. Gerhana harus memilih, tetap menunggu jeda yang katanya hanya sementara atau beralih melunturkan rasa yang selama ini membuatnya lara.