♦♦♦
Ketika baru lulus dari SMA aku pernah membuat keributan menghamili seorang gadis belia—sementara gadis itu, baru lulus dari SMP.
Awalnya aku tidak begitu peduli dan benar-benar tidak memedulikan semua itu; bahwa seperti seks untuk pertama kalinya bagi kami akan membawa kami pada kekacauan dan keterlibatan emosi yang mendalam.
Orang-orang bilang kami terlalu dini untuk menikah. Rasa malu yang begitu besar didapatkan dari kedua pihak—keluarganya maupun keluargaku.
Tidak cukup dengan rasa malu, keegoisan dariku yang tidak bisa menerima hubungan bukan sekadar main-main itu menciptakan luka tersendiri, bagi seorang anak perempuan seperti Hinata Hyuuga.
Pasca meredakan setiap fakta yang beredar itu, aku pun memilih untuk tinggal berdua bersama Hinata di sebuah apartemen sederhana bertepat di distrik yang sama di mana keluarga besarku tinggal.
Di sana, aku bisa leluasa mengeluarkan segala perasaan kesal karena kondisi kehamilannya. Tak pernah sekalipun memikirkan perasaan Hinata, yang seorang gadis belia dihadapkan pada kenyataan ia akan segera menjadi seorang ibu, terlepas dia bahagia tidaknya karena profesi barunya itu.
"Lama, tidak bertemu," dia menunduk tidak nyaman sembari tangannya terus menangkup gelas berisi lemon tea yang dingin. Embun-embun itu kemudian ia usap, hingga lelehan embun pun berjatuhan dan membuat bercak-bercak basah pada roknya. "Kau sekolah di mana?"
"Sebaiknya aku pergi dari sini."
"Kita, sudah berjanji untuk pura-pura tidak kenal, sebelum berpisah," kataku, yang tak mau menyadari betapa takutnya dia. "Jadi, anggap ini untuk pertama kalinya kita bertemu." Perempuan itu mengembuskan napasnya. Ia tampak tidak nyaman dan pasrah. Tidak bisa menolak adalah kebiasaan Hinata, walau se-benci apa pun dia pada seseorang.
"Kau suka mengikuti acara kencan buta seperti ini?" aku bertanya, karena memang penasaran.
"Apa kau juga?" dia justru bertanya balik.
"Tidak," ia terdiam, wajahnya pun terlihat datar, meski sebenarnya aku tahu betul, dia menahan kekesalannya. "Ini pertama kalinya aku ikut karena temanku memaksa."
"Aku juga," Hinata kemudian meneguk lemon tea-nya. Ia mengabaikan sedotan yang telah disediakan. "Tapi aku tidak menyukai kesamaan seperti itu." Aku tergelak, kemudian menarik pernapasan. "Aku ingin pulang. Mungkin lebih tepatnya, keluar dari kafe ini."
"Mau kuantar pulang?"
"Apa kau akan memberika aku pelajaran?" segera aku mengalihkan pandangan sembari lidahku membasahi bibir yang tiba-tiba mengering. "Tidak sadar pada perbuatanmu sebelumnya? Kau membuatku mendapatkan trauma yang sangat hebat. Perbuatanmu, tidak akan bisa aku lupakan, bahkan hingga detik ini. Lalu, untuk apa kau menawari diri, dan perlu mengantarku pulang?"
Kalimat atau bahkan satu kata pun tidak bisa aku keluarkan.
Meminta maaf, justru akan menimbulkan ketidaknyamanan pada diri kami masing-masing. Beruntung jika kebisingan di sekitar kami agak meredakan segala keadaan tidak nyaman itu.
Andai waktu bisa diputar—seseorang sering kali berkata seperti itu bila mereka merasakan suatu penyesalan. Aku pun ingin berkata seperti itu atau malah berteriak. Tapi, meski sampai pita suaraku putus pun, waktu-waktu yang telah kami lewati dengan beribu penderitaan itu tidak akan kembali.
Sementara itu, aku sendiri memang pernah memukul Hinata ataupun menghujat dia, dan semua itu masih diriku mengingatnya, begitu jelas di dalam kepala, bagaimana aku menuduh dia bermacam-macam tuduhan, ataupun menampar dia dengan sangat keras, bahkan hal tersebut tidak sekali untuk dilakukan. Semua itu, menjadi rangkaian dosa yang tidak akan bisa dihapus. Meminta maaf padanya, aku rasa menjadi percuma, karena aku tahu jawaban apa yang akan dia berikan setelahnya.
Pada akhirnya, suatu kejadian di mana Hinata mengalami kecelakaan hingga keguguran, membuatku mensyukuri segala penderitaan kami.
Tidak terlibat dengan Hinata, bahkan aku merasa senang; ketika bukan lagi menjadi seorang calon Ayah di usia yang masih terbilang ingin bersenang-senang. Namun, dari itu semua tak ada yang tahu bagaimana rasa kesal dan sedih yang kurasakan, ketika menandatangani prosedur pembedahan. Cerita yang sama, tetapi banyak sisi perasaan yang terus aku rasakan. Semuanya saling berbenturan, dan membuatku menderita.
Sebenarnya, rasa bahagiaku hanya sebatas sementara untuk dirasakan. Setelahnya aku tahu, apa yang telah membuatku senang itu justru membuat diriku kehilangan ketulusan maupun kebahagiaan Hinata.
Kejadian-kejadian yang menghancurkan hubungan kami cepat sekali terjadi. Aku tidak tahu pasti bagaimana kejadian pada awalnya. Hanya yang aku ingat, kami berjalan bersama namun tak beriringan di bagian trotoar. Segala pikiran pelik itu tiba-tiba berhamburan, dan selanjutnya yang terjadi, aku justru mendengar suara hantaman cukup keras, ditambah pula teriakan melengking dari pejalan kaki selain kami.
Ketika aku memberanikan diri untuk menoleh ke belakang, di saat itulah aku melihat Hinata tergeletak di tengah jalan aspal, dan orang-orang mulai berlari mendekatinya.
Ketakutan yang sangat besar pun kurasakan, guncangan hebat ketika melihat Hinata terkapar dan tidak sadarkan diri. Selain gemetaran, aku ingin berteriak ketika melihat istriku berlumuran darah dan lecet.
Sesudah melakukan segala proses pertolongan pertama untuknya dan membawa dia ke rumah sakit besar, dokter pun datang dengan seluruh keputusannya, bahwa Hinata harus melakukan prosedur pembedahan, sebab bagian perutnya pecah. Aku pun dihadapkan pada pilihan bahwa bayi kami harus dikorbankan.
♦♦♦
BERSAMBUNG
YOU ARE READING
Solitary Queen ✔
Random[Short Series] Semua tentang perasaan dan bagaimana kacaunya pikiranku. Telah lama aku melupakan dia-seorang anak perempuan yang pernah aku hamili dengan alasan tak sengaja-kini justru muncul dengan sosoknya yang baru. Perempuan itu jauh lebih menga...