[Short Series] BAB 2

1.9K 318 0
                                    

♦♦♦

Setelah pasca operasi pembedahan, kami pun masih tinggal bersama di apartemen untuk terakhir kalinya.

Sepanjang hari setelah kejadian yang membuatnya terpuruk, Hinata hanya terdiam memandang keluar jendela kaca. Padahal, hanya ada gelap gulita dari seluruh pemandangan yang ditangkap olehnya. Dan di antara kesunyian tempat tinggal kami, tak membuatku terganggu untuk terus memandanginya. Tiada henti aku amati wajahnya yang pucat, serta terlihat lesu. 

Selama ini, aku tidak pernah menemukan wajah putus asa seperti itu darinya. Seolah-olah seisi dunia ini runtuh, tinggal dia di sini, hidup dalam kesendirian maupun kesengsaraan.

Keesokan harinya, waktu untuk kami berdua benar-benar berpisah. Telah datang keluarga kami untuk menjemput. 

Keduanya bertemu dan berbicara banyak hal. Sementara keluarga Hyuuga sendiri memberitahukan bahwa mereka akan pindah, tidak lagi tinggal di Tokyo. Sebab tidak ada alasan bagi mereka berada di kota penuh duka itu.

Hinata menunduk sepanjang waktu—itu bukan sebentuk renungan. Ia terluka, dan mungkin dia mencoba mengutuk diriku karena pilihan di mana aku harus mengorbankan bayi kami.

Mungkin, dia berpikir aku senang dengan apa yang terjadi. Padahal, aku benar-benar terluka dan merasa menyesal atas segala perbuatan ataupun segala ucapan yang pernah aku ucapkan begitu keji padanya.

Tanpa sadar aku berdoa; menginginkan atau mungkinkah kami bisa bertemu lagi suatu hari nanti? Dan jika itu benar-benar terjadi, aku ingin sedikit berbicara bagaimana dukanya diriku atas apa yang telah aku pilih. Namun dari itu semua aku pun ingin mengatakan, untuk tidak asal mengambil keputusan. Sepanjang waktu di antara pilihan itu, aku jatuh demi mempertimbangkan seluruh pilihan tersebut. Tetapi pada akhirnya, aku menandatangani prosedur pembedahan.

Ya, alasan yang aku miliki saat itu demi Hinata Hyuuga.

"Anda harus memilih; menolong ibunya atau bayinya!"

Aku tidak mau menjadi lelaki kejam sampai melenyapkan Hinata, dan justru menginginkan bayi itu. Bahkan aku tidak memiliki alasan untuk menerima bayi tersebut pada saat itu.

Namun, jika aku memilih melenyapkan bayi itu, Hinata pun akan merasa sedih. Dia akan jauh lebih terluka dari sekadar aku memaki dan menampar pipinya tanpa henti.

Hanya pada akhirnya, aku menjadi pembunuh!

Memilih menjadi seorang Ayah yang melenyapkan darah dagingnya sendiri.

Rasa kalut itu membuatku tertekan. Kebahagiaa pun lenyap—terkoyak-koyak oleh kenyataan bahwa apa yang pernah aku katakan justru sebenarnya tanpa sadar semua itu menjadi rangkai dari doa.

Aku tidak percaya, bahwa hal itu benar-benar terjadi, di mana aku akhirnya membunuh bayi itu, dan Tuhan senantiasa mengabulkan segala ucapan yang terdengar kejam. Menghancurkan seorang anak perempuan yang pernah aku bisikkan kata-kata cinta. Memuji bagaimana senyumannya yang manis dan tulus untukku. 

Sampai aku merasa bingung, di mana perasaan cinta dan menginginkan untuk mendapatkan dia sebagai cintaku tak lagi kurasakan. Keinginan yang begitu sangat tulus ingin bersanding dengannya maupun berjanji akan menjaganya. Ke mana semua itu pergi?

Kehilangan dan perpisahan tersebut sebenarnya berdampak, untuk diriku secara pribadi, walau memang ada kebahagiaan tersendiri, tapi percayalah itu semua hanya palsu, demi menutupi apa yang sesungguhnya kurasakan. Kesedihan dan penyesalan yang amat sangat besar.

Dan, butuh beberapa waktu demi melupakan segalanya. Hubungan kami, bayi itu, dan sosok Hinata Hyuuga, dari kehidupanku.

Namun, aku tahu bahwa semua itu bersifat sementara. 

Pada akhirnya kami dipertemukan kembali. Dan aku cukup menyadari, dengan lama-lama semua perasaan itu sekali lagi menjadi tidak karuan. 

Sementara itu, apakah Tuhan berusaha mempermainkan diriku, atau apakah Hinata yang ingin memberikan serangan balasan pada apa yang telah aku lakukan padanya dulu.

♦♦♦

BERSAMBUNG

Solitary Queen ✔Where stories live. Discover now