[Short Series] BAB 7

1.5K 267 0
                                    

THERE IS A REASON

Mulai dari mana sebaiknya kuceritakan padamu? Meski kau lelah menunggu sekalipun, tak'kan kubiarkan kau mengatakan segalanya telah usai, membawa serta segala hasrat tak sadar yang kutulis dengan tergesa-gesa. Jika segala-galanya telah hancur, aku bisa memulai kembali dari hal yang mustahil.

Ada suatu alasan mengapa secara kebetulan kita datang ke dunia ini. Ada suatu alasan mengapa kita menangkap gelombang magnetik. Ke mana gerangan dunia yang saling menyakiti ini mengarah pergi?

Dan, alasanku terus maju demi cinta adalah karena aku bersamamu di sini. Karena hanya akulah yang akan melindungimu. Alasanku berharap demi cinta, dan juga tanpa perlu ada satu pun yang tersakiti.

♦♦♦

Aku memesankan taksi dan membiarkan dia pergi. Masih banyak waktu—aku berpikir seperti itu dan pada akhirnya aku termenung sampai beberapa menit di tempat kami sama-sama berdiri, serta sempat menjadi pusat perhatian tadi, walau memang sebagian lebih banyak mengabaikan kami, atau barangkali mereka menganggap pertengkaran dari kalangan remaja yang menurut sebagian tak penting.

Setelah kejadian yang melibatkan emosi, aku kemudian berjalan tanpa arah tujuan. Namun tahu-tahu aku justru datang ke apartemen kami yang telah lama kosong, yang nyatanya apartemen itu sebenarnya tidak dihuni saja. Aku justru mencari apartemen lain sebagai tempat tinggal. Dan membiarkan tempat kenangan kami sebagai gudang dengan menyimpan banyak kenangan masa lalu yang menyakitkan.

Ketika aku akan memutar kenop pintu, ada rasa takut tersendiri. Tanganku kemudian turun, tak lagi memiliki keberanian sekadar memutar kenop apartemen tersebut. 

Aku mendengar jeritan yang tak bisa diabaikan. Suara tangis Hinata yang meminta maaf. Padahal selama ini, aku tidak pernah sekalipun mendengar itu. Tapi kali ini muncul secara berulang seakan-akan siap meledakkan kepalaku.

"Papa mulai takut." Angin kencang menubruk tiba-tiba dari belakang, menyapu kulitku dan membuatnya menggigil. Tepat berada di lantai tiga gedung itu—di posisi yang sama, masih berada di depan pintu apartemen—aku membalikkan badan dan melihat langit mendung. "Besok, Mama akan berulang tahun. Apa yang pantas Papa berikan kepada Mama?"

Yang aku ingat, pernah sekali memberikan dia kejutan, sepatu olahraga yang sedang tren di masanya.

Aku membelikan sepatu tersebut sebagai kado ulang tahunnya yang kelima belas. Di umurnya yang delapan belas, hadiah apa yang pantas?

Untuk saat ini, aku tidak tahu apa yang dia suka, dan aku tak ingat apa pun yang dia sukai, kecuali ia memiliki alergi pada stroberi.

Namun rasanya pasti aneh memberikannya langsung, atau datang kepadanya dan mengucapkan selamat ulang tahun, di saat kami telah lama menjadi orang lain. Perpisahan itu tentu berdampak pada hubungan kami, bahkan sebelum itu kedekatan kami pun renggang. Karena aku menunjukkan sisi tak menyukainya.

Memandangi langit sambil merogoh saku celana, aku bisa merasakan getaran ponsel. Pesan atau panggilan masuk, aku segera mengeceknya. 

 

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Solitary Queen ✔Where stories live. Discover now