♦♦♦
Tiga tahun terlewat nyatanya tidak membuat diriku benar-benar melupakan perempuan itu. Kini seluruh tragedi itu tanpa henti bermunculan, bahkan ingatan mengenai segala reka kejadian itu membanjiri—menjejal tak henti-hentinya.
Kemarin, semuanya masih tenang dan terasa biasa saja di kehidupanku. Semua itu serasa berhasil; memendam masa lalu yang sulit untukku maupun untuk keluargaku. Ya, setidaknya hanya beberapa tahun saja, sebelum akhirnya kembali muncul dan mengingatkan kekejian yang telah aku lakukan pada perempuan seperti Hinata Hyuuga.
Kurang sebentar lagi masa program sarjanaku akan terselesaikan. Tapi, aku tidak akan bisa pergi keluar negeri untuk mengenyam pascasarjana, jika ceritanya menjadi seperti ini. Bertemu Hinata, aku pun mengingat bahwa aku dulu ingin bisa berbicara banyak atau sekadar menjelaskan sesuatu kepadanya. Namun, apakah dia mau menerima? Kejadian yang harusnya telah dilupakan oleh kami, dan berusaha menjadi orang-orang yang tidak terlibat pada masalah.
"Hei, kau duduk di sini lagi," seseorang menepuk pundak, tapi aku tetep fokus memandang ke depan, mengabaikan dia si wanita berambut cokelat—sebut saja Megumi, teman seangkatan yang memilih untuk cepat lulus tahun ini.
"Adakah yang spesial dari tempat ini?"
"Awalnya biasa saja, tapi mungkin mulai sekarang akan menjadi spesial."
Kursi panjang yang aku duduki kosong, dan Megumi memilih duduk di kursi itu bersamaku. Memandang orang-orang pejalan kaki, bahkan di antara penyeberangan yang ramai sekali.
"Dulu, ada seorang anak gadis yang tertabrak mobil di jalan depan itu. Dia juga kehilangan sesuatu yang berharga baginya." Seandainya, waktu itu aku memegang—menggenggam tangannya erat, mungkin kejadian naas itu tidak akan terjadi. Tapi barangkali, jika tidak adanya hal tersebut, mungkin saja aku tetap akan melukai dia sampai hari ini. Menganggap semua yang dia miliki adalah kesialan.
Pertemuan kami setelah memutuskan untuk berpisah benar-benar membawa dampak. Aku tidak bisa melupakan dia dan tidak bisa melupakan calon bayi yang telah dikandungnya. Memang tidak secara langsung aku bisa menemukan dia begitu bahagia dengan adanya anak itu, tetapi di antara celah pintu aku melirik, kutemukan Hinata selalu menantikan kehadiran anak kami.
Aku membenci hal tersebut pada saat itu. Dan, sekarang pun aku membencinya dengan alasan lain. Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri.
"Lalu, siapa gadis itu? Apa kau mengenalnya?"
"Bisa dibilang begitu, aku mengenal dia dan menyaksikan secara langsung bagaimana dia tergeletak dan merasa kesakitan."
"Siapa? Saudarimu?"
"Bukan," aku melirik Megumi, lalu menarik setiap ujung bibir. "Dia adalah istriku," kedua mata Megumi terbelalak. "Kau terkejut?"
"Aku pikir itu cuma gosip, kau sudah menikah?"
"Kami pada akhirnya bercerai. Karena aku tidak mencintainya."
"Lalu, kenapa kau masih di sini dan seolah-olah mengais luka?"
"Karena sekarang aku mencintainya."
Karena sejak pertemuan itu, bayangan Hinata tidak bisa teralihkan. Wajah datar dan wajah ketakutannya setelah melihatku, begitu jelas diingat bahkan secara konstan. Aku ingin memilikinya sekali lagi. Mendekapnya dan mengajak dia untuk berada di tempat yang sama.
"Kau tidak harus mencintai dia lagi, karena bagi dia itu pasti sulit."
"Aku tahu,"
"Bila kau memaksanya kau akan melukai dia."
Namun, aku tidak bisa mengabaikan rasa cintaku. Sebanyak apa pun diriku untuk tenang, nyatanya tidak bisa untuk seperti itu. Tidak adakah kesempatan? Sekali saja kesempatan untuk bersama dia walau sekarang dia yang tak sudi mencintaiku.
"Ah," aku berdiri dengan merenggangkan badan. Megumi mendongak, memandangi dengan terkejut. "Aku pergi dulu. Sekarang aku merasa lapar."
"Kau mau makan malam denganku?"
"Tidak, aku akan pulang ke rumah dan makan ramen." Tidak ada alasan bagiku harus mengatakan keluh kesahku pada orang lain, apalagi pada Megumi, yang ternyata memiliki perasaan padaku.
Sudah cukup lelah aku mengingat tentang Hinata, aku pun tidak ingin diingatkan bahwa aku hampir memberikan janji palsu pada wanita seperti Megumi—semua itu kulakukan demi melenyapkan kegelisahan yang terus terjadi, atau pelarian demi melupakan perpisahan dengan Hinata.
"Dia..." beberapa langkah akan menyeberang bersama para penyeberang lainnya. Aku pun tertegun saat melihat siluet tak asing untuk dikenali. "... Hinata?" perempuan itu berdiri di pinggir trotoar sambil mengamati jalan penyeberangan.
Sampai saat ini—ketika detikan mundur untuk lampu para pengendara masih belum berhenti—dia belum menyadari bahwa aku sedang mengamati dirinya berdiri, demi terus memandangi jalanan di mana ia telah kehilangan apa yang membuatnya begitu pernah merasa bahagia.
Tidak lama dari itu alarm yang menginterupsi para pejalan kaki segera menyeberang berbunyi. Aku tidak sedang melangkah santai bersama mereka, karena nyatanya aku terus menunduk dan merasakan kakiku berat.
Mungkinkah dia selalu berada di sini tetapi aku tidak pernah menyadarinya selama ini?
"Hinata," ketika aku berhenti, tidak ada alasan untuk tidak menyapa dia. Matanya yang bulat pun semakin terlihat bulat ketika dia terkejut, melihatku ada di depannya sekarang. Di tempat yang sama di mana aku seakan pernah menelantarkan dirinya dan menghancurkan kebahagiaannya.
"Mungkin kau salah orang!" seketika aku menunduk. Meremas jaket tebal yang sedari tadi melindungi tubuhku dari hawa dingin Tokyo yang benar-benar nyaris membekukan. "Permisi."
"Dia..." Hinata berhenti melangkah. "Mungkin dia akan sedih, harus melihat kita seperti ini."
"Aku berpikir dia akan senang, melihat kita seperti ini." Hinata berbalik dengan berteriak cukup lantang. Aku tahu sekarang apa yang membuat hatinya terkoyak-koyak. Mengenai anak kami dan mengingatkan si cacing kecil yang telah merasakan damai di surga.
"Kau, tidak berhak membicarakan dia lagi. Berhenti untuk peduli padanya, Pembunuh!" secara spontan alisku terangkat ke atas. Aku mengamati wajahnya yang memerah karena amarah. "Kita tidak ada hubungan apa-apa lagi. Kau sudah bebas sekarang, tidak perlu terjerat pada masa lalu yang tak kau inginkan itu. Kau senang, 'kan?"
"Aku hanya tidak sengaja bertemu denganmu di sini, dan aku cukup terkejut karena kau ada di sini."
"Apa kau bilang?"
"Aku selalu lewat di jalan penyeberangan ini. Dan, secara kebetulan tempat ini telah menjadi tempat bersejarah untuk kita. Aku hanya kontan mengingat dia karena kau ada di sini." Gadis itu mungkin tahu, kalau aku sedang berbohong. Karena sebenarnya, hampir setiap sebulan sekali aku ada di sini. Di hari yang sama di mana Cacing kesayangan kami pergi untuk selama-lamanya.
Hinata kemudian bergegas untuk pergi. Pertengkaran singkat kami lumayan menyita perhatian. Sembari memandang ke sekeliling aku menarik napas, nyaris saja kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
"Maafkan Papa. Karena lagi-lagi membuat Mamamu marah."
♦♦♦
BERSAMBUNG
CATATAN BACOD:
BAB ini terinspirasi dari drama Fated to Love You. Dan, fanfik ini sebenarnya remake dari fanfik berjudul "I'm not Slave" dan "Still Love You" bedanya, nggak ada adegan perbudakan di awal.
YOU ARE READING
Solitary Queen ✔
Acak[Short Series] Semua tentang perasaan dan bagaimana kacaunya pikiranku. Telah lama aku melupakan dia-seorang anak perempuan yang pernah aku hamili dengan alasan tak sengaja-kini justru muncul dengan sosoknya yang baru. Perempuan itu jauh lebih menga...