♦♦♦
"Apakah Ibu tahu kalau Hinata berada di Tokyo?" denting pada piring Ibu berhenti. Beliau sepertinya terkejut dengan apa yang aku tanyakan kepadanya. Tidak lama dari itu Ayah berdeham, serta dengan melakukan hal yang sama untuk berhenti mengiris daging sirloin setengah matangnya.
"Kalian terkejut?"
"Kau, tahu dari mana?" pandanganku jatuh pada bola mata Ibu yang bergerak-gerak seakan menunjukkan perasaannya yang tidak stabil. Aku berani bertaruh Ibu sebenarnya tahu, hanya beliau selama ini berusaha merahasiakannya dariku. "Kau bertemu dengan dia?"
"Aku mengikuti kencan buta. Dia sudah menjadi gadis SMA yang menawan. Mungkin, akan jauh membuat Ibu terkejut kalau tahu, aku yang menjadi pasangan kencan butanya. Apakah itu artinya sebenarnya kami ditakdirkan untuk bersama?"
"Naruto!"
"Ibu," makan malam kali ini terkesan seperti dipaksakan—dan, berubah menjadi badai atau angin ribut, pun mulai memporak-porandakan ketenangan kami. Dan tak ada ketenangan yang bertahan cukup lama.
Hutan-hutan yang sudah tampak asri setelah badai kini sekali lagi hancur karena sapuan angin kecil. Mungkin, akan ada badai susulan yang jauh lebih mengerikan. Meluluhlantakkan segala yang telah dibangun oleh kami; sebentuk ketenangan yang tak harusnya dihancurkan.
Namun, aku tidak peduli, bahwa kami pada akhirnya kembali berada di masa lalu, tidak sekadar menyelami, tapi mencoba mengangkat kembali ke permukaan, bekas-bekas badai yang menghancurkan tempat sebelumnya yang begitu terlihat dami dan apa adanya.
"Aku tidak bisa mengatakan menyesal. Aku senang bahwa kejadian itu terjadi pada kami—terutama padaku yang akhirnya membuatku sadar, bahwa apa yang aku lakukan pada saat itu benar-benar kejam. Apa menurut Ibu salah aku kembali mencintai dia? Aku pernah memiliki perasaan itu, sebelum aku hancur oleh kabar bahwa kami harus menikah karena anak itu."
"Kau tidak harusnya kembali padanya."
"Ibu menyukai Hinata, 'kan?"
"Ya, tapi Ibu mengedepankan perasaan Hinata dan rasa traumanya dari apa yang telah kau lakukan. Beruntung bila dia tidak mengatakan semua itu pada keluarganya. Beruntung bahwa Hinata mau berdamai dan menyimpan semuanya sendirian."
"Ibu bisa tenang dengan hal itu? Ibu mengatakan semua itu begitu beruntung? Gila!" aku mendengar jelas Ayah mengembuskan napas kesalnya. Dalam sekejap aku memejamkan mata rapat, menyaksikan keluargaku sebenarnya tidak jauh berbeda dariku. "Hinata terluka karena apa yang Ibu lakukan kepadanya. Ibu tidak seharusnya memberikan semua itu yang seolah berusaha memaksa dia dengan cara berdamai dan membuat dinding rahasia di antara kalian berdua sendiri. Ibu melukai Hinata!"
"Kau yang jauh melukai dia," Ayah mulai angkat bicara, terdengar beliau siap menggebrak meja, lalu membuat keributan di restoran yang malam ini kami gunakan sebagai tempat makan malam, setelah sebelumnya hampir dua bulan terakhir kami tidak pernah berada di meja yang sama. "Andai kau tidak memberikan penekanan padanya dan sedikit manusiawi, hal seperti ini tidak akan terjadi."
Dari awal, kesalahan itu terletak padaku yang tidak dewasa menyikapi masalah yang ku timbulkan. Aku terus-menerus menyalahkan Hinata. Hingga perpisahan kami pun aku seperti melimpahkan seluruh masalah-masalah itu kepadanya. Padahal, dari semua itu harusnya kami memikulnya bersama-sama.
"Ibu menyukai Hinata, sampai sekarang sosok menantu idaman masih dipegang olehnya—"
"Kushina!" ayah mengeraskan suaranya ditambah sedikit menekannya, agar Ibu sadar untuk tidak membahas masalah itu, sekiranya bagi Ayah mungkin, masalah itu adalah masa lalu yang tidak harusnya diungkit. Tapi Ibu, tidak bisa menyembunyikan kecintaan untuk memiliki Hinata sebagai menantunya.
Orangtuaku sebenarnya sama busuknya denganku. Mereka mementingkan Uzumaki, lalu menyampingkan Hinata yang seorang gadis dari keluarga biasa.
Bagi mereka, tidak mencoreng keluarga Uzumaki lebih banyak lagi ada prioritas daripada berusaha memperbaiki perasaan gadis belia seperti Hinata. Entah mengapa aku ingin marah karena masalah itu, tapi aku tidak bisa melakukannya, karena apa yang kulakukan pada saat itu pun sama seperti mereka;
Bertahan untuk melindungi perasaan pribadi.
"Hinata, tetap menantu kalian, walau surat itu tidak bisa diajukan ke kantor sipil sebab pada saat itu umur Hinata belum mencukupi. Tapi sekarang, aku ingin mengajukannya. Surat-surat yang menyatakan kami menjadi suami istri."
"Kau, tidakkah cukup dengan apa yang sudah kau lakukan itu?"
"Aku tahu, Ayah sekarang marah padaku karena aku menjadi anak tunggal yang bodoh untuk kalian, tapi—" masih ku pandang wajah Ayah yang siap murka, dan mungkin siap untuk membunuh diriku. "Aku ingin membuat anak kami sedikit tenang bahkan ia senang."
"Berhenti untuk bersikap konyol. Calon anak kalian sudah tidak ada, jangan seolah-olah kau adalah seorang Ayah di sini."
"Tidak, anak itu masih ada, di hati kami."
Aku pernah berada di mimpi buruk. Aku pernah berada di kegelapan, sangat jauh di depan aku melihat cahaya yang kecil, sekecil lubang pipet. Aku tidak begitu mengenali apa yang ada di dalam cahaya itu.
Tidak lama dari itu, aku mendengar suara bayi tertawa lalu menangis.
Aku melihat Hinata berada di pojok ruangan dan merasa sedih karena anak kami. Dia memeluk tirai-tirai putih itu semalaman. Dia mencium tanpa henti sepatu bayi yang dia beli sepulang sekolah. Ia menabung uang jajannya untuk membeli bahan rajutan. Dan, hasilnya masih setengah jadi, aku simpan di apartemen kami yang kosong.
Sangat terlambat memang aku memiliki perasaan sebagai seorang Ayah dan seorang suami bagi Hinata Hyuuga. Tapi, aku sama-sekali tidak menyesali perasaan itu datang padaku sekarang. Aku ingin terus melakukannya, dan terus merasakan untuk menjadi orangtua dan menjadi seorang suami yang berusaha menjaga perasaan maupun melindungi istrinya.
Terlambat, tapi menurutku tidak masalah.
"Kushina, kita pulang! Aku sudah muak berada di sini."
Ayah dan Ibu kemudian pergi. Tetapi aku bisa melihat Ibu enggan untuk melakukannya. Hanya, ia tidak bisa menolak saat tangan Ayah secara kasar mencengkeram lengannya lalu menariknya, hingga akhirnya perlakuan Ayah benar-benar menjadi perhatian orang-orang yang berada di restoran.
"Kapan, salju akan turun?" dinginnya luar tidak membuat salju benar-benar turun tepat waktu. Tokyo justru dilanda hujan dengan angin kencang malam itu. Bahkan, aku masih terjebak di tempat di mana diadakannya makan malam untuk keluarga kami.
Sebotol sampanye mendarat, dan aku menikmatinya sendirian. Membiarkan suara petir menggelegar samar dari luar. Langit merah mengingatkan aku pada kejadian-kejadian lampau. Di mana aku pernah pulang-pulang mabuk, kemudian menampar Hinata karena dia lama untuk membukakan pintu. Dan, di waktu yang sama itu juga—saat-saat itulah aku menginginkan dia lenyap beserta anak itu.
Menginginkan dunia yang membuatku bisa ke mana pun secara bebas. Namun, kini aku justru terjebak pada rasa sakit untuk memiliki. Mencari cara mengatakan bagaimana perasaanku saat itu.
"Aku benci hujan dan aku benci langit merah!"
♦♦♦
BERSAMBUNG
YOU ARE READING
Solitary Queen ✔
Random[Short Series] Semua tentang perasaan dan bagaimana kacaunya pikiranku. Telah lama aku melupakan dia-seorang anak perempuan yang pernah aku hamili dengan alasan tak sengaja-kini justru muncul dengan sosoknya yang baru. Perempuan itu jauh lebih menga...