Jilid 1/24

4.1K 40 0
                                    

Kaisar Kian Liong adalah seorang di antara para kaisar Kerajaan Ceng atau Mancu yang paling terkenal. Dia bijaksana dan pandai, walau pun seperti sebagian besar para kaisar dan tokoh-tokoh besar dunia, dia mempunyai pula sebuah kelemahan, yaitu mata keranjang terhadap wanita.

Dalam pemerintahannya selama enam puluh tahun (1736-1796) kerajaannya mendapat banyak kemajuan sehingga namanya tercatat dengan tinta emas di dalam buku sejarah. Tentu saja tentang semua pengalamannya sebagai leaki mata keranjang, sejak masih menjadi pangeran, sengaja tidak dicatat karena hal itu akan menjadi noda saja dalam sejarah raja-raja yang selalu diagungkan.

Pada waktu kaisar ini masih muda, masih menjadi seorang pangeran, dia dikenal pula sebagai seorang pangeran yang amat pandai bergaul, yang suka bergaul dengan rakyat jelata, bahkan mendekati tokoh-tokoh dunia persilatan sehingga namanya populer dan disuka, disebut Pangeran Bijaksana, Pangeran Mulia dan sebagainya.

Ketika dia masih menjadi pangeran, pada suatu hari dia melihat seorang wanita muda yang teramat cantik dan manis berkunjung ke istana bagian puteri, mengunjungi kakak perempuannya. Teringatlah dia bahwa wanita itu adalah Fu Heng, isteri dari Pangeran Kian Tong yang menjadi kakak tirinya karena berlainan ibu. Kalau dia merupakan putera permaisuri dan Pangeran Mahkota, Pangeran Kian Tong hanyalah puteri selir. Pangeran Kian Tong baru beberapa bulan lalu menikah dan wanita cantik itulah isterinya, yang kini berkunjung kepada Puteri Can Kim, kakaknya yang memang menjadi sahabat baik isteri Pangeran Kian Tong itu.

Semenjak bertemu dengan kakak iparnya yang bernama Fu Heng itu, Pangeran Kian Liong menjadi tergila-gila. Walau pun dia dapat memperoleh gadis mana saja yang dia kehendaki, tetapi pada waktu itu hanya bayangan kakak iparnya yang nampak di depan mata, siang malam! Tidur tak nyenyak, makan tak enak, begitulah keadaan pangeran putera mahkota itu.

Hal ini segera diketahui oleh pembantunya yang setia, juga pelayannya, yaitu seorang thaikam (laki-laki kebiri) bernama Siauw Hok Cu.

"Pangeran, apa yang mengganggu pikiran Paduka? Harap beri tahukan kepada hamba, dan hamba yang akan melaksanakan segala perintah Paduka untuk dapat memenuhi segala kehendak Paduka," kata thaikam itu.

Pangeran Kian Liong yang sedang rebahan itu bangkit duduk, lalu memandang kepada pelayannya yang setia itu dan menghela napas panjang. "Hok Cu, engkau tidak tahu betapa hatiku merana karena rindu kepada seorang wanita...."

Siauw Hok Cu tertawa, akan tetapi menutupi mulutnya dengan sikap sopan. "Sungguh lucu ucapan Paduka ini. Wanita mana di dunia ini yang tidak akan lari ke dalam pelukan Paduka kalau Paduka membuka lengan dan memanggilnya? Katakanlah, wanita mana yang Paduka rindukan, maka hamba akan segera menjemputnya dan mengajaknya ke sini."

Tetapi pangeran itu tidak bergembira oleh kesanggupan pelayannya, bahkan menghela napas lagi. "Ahh, engkau tidak tahu siapa wanita yang kurindukan itu, Hok Cu. Sekali ini, biar engkau pun tidak akan mampu menolongku dan aku akan mati tenggelam ke dalam kerinduanku yang begini menghimpit. Aaaiiihhh...!"

"Katakanlah, Pangeran. Wanita mana yang Paduka kehendaki? Biar ia puteri raja muda sekali pun, hamba sanggup melaksanakannya untuk Paduka!" berkata Siauw Hok Cu penuh semangat.

"Kalau saja ucapanmu itu benar, Hok Cu. Akan tetapi sudahlah, lupakan saja, biarkan aku merana sendiri karena engkau tidak mungkin akan dapat membantuku sekali ini..."

"Katakanlah siapa wanita itu, Pangeran. Hamba bersumpah, jika tak bisa mendapatkan, nyawa hamba gantinya!" kata pula thaikam itu dengan penasaran.

"Benarkah?" Sekarang dalam mata pangeran itu bernyala sebuah harapan baru. "Nah, dengarlah. Wanita yang kurindukan itu adalah Nyonya Fu."

"Nyonya Fu...?" tanya thaikam itu, tidak mengerti.

"Nyonya muda Fu Heng, kakak iparku, isteri Pangeran Kian Tong, pengantin baru itu!"

"Ya Tuhan...!" Wajah thaikam itu berubah pucat dan matanya terbelalak. "Tapi beliau adalah kakak ipar Paduka sendiri!"

Pangeran Kian Liong tersenyum pahit. "Benar, namun ia pun seorang wanita, bukan? Wanita yang sangat cantik, sangat manis, dan amat mulus. Bagaimana dengan janjimu untuk mengganti dengan nyawamu, Hok Cu?"

Thaikam itu cepat-cepat mengangguk-anggukkan kepala sehingga dahinya membentur lantai. "Akan hamba laksanakan, Paduka jangan khawatir, akan hamba carikan jalan!"

Tentu saja pangeran itu merasa gembira sekali. Pembantu utama yang menjadi pelayan pribadinya ini memang cerdik dan banyak akalnya. Biar pun di situ tidak terdapat orang lain, mereka berbisik-bisik ketika thaikam Siauw Hok Cu mengatur siasatnya.

Kurang lebih sepekan kemudian, sebuah kereta berhenti di halaman istana bagian putri dan wanita cantik Fu Heng turun dari kereta. Seorang dayang segera menyambutnya. Dayang itu mengaku sebagai pelayan pribadi Puteri Can Kim yang mengutusnya untuk menyambut Fu Heng.

"Puteri sedang menghadap Permaisuri dan hamba diutus untuk menyambut Paduka," kata dayang itu.

Wanita itu tersenyum dan bibirnya merekah dalam senyum manis sekali. "Terima kasih," katanya sambil menggunakan sapu tangan untuk menghapus keringat yang membasahi lehernya. "Aihh, betapa panas hawanya," ia mengeluh.

"Sang puteri tadi memerintahkan hamba supaya mengantar Paduka menanti di istana pondok merah di taman. Di sana jauh lebih sejuk dan hamba telah mempersiapkan bak mandi untuk Paduka agar Paduka merasa segar kembali setelah melakukan perjalanan dengan kereta dari tempat tinggal Paduka sampai ke sini."

"Oohhh, terima kasih. Sang puteri sungguh baik hati sekali!" kata nyonya muda yang usianya baru sembilan belas tahun itu dengan gembira.

Memang pondok merah di taman itu merupakan bangunan mungil yang indah. Saudara suaminya sering kali mengajak ia bersenang-senang di tempat itu. Nyonya muda itu lalu dikawal oleh beberapa dayang menuju ke ruang depan, lalu rombongan itu memasuki taman dan pergi ke sebuah pondok cat merah yang indah mungil.

Tidak lama kemudian, Nyonya muda itu sudah mandi dengan air bunga yang harum, dilayani oleh para dayang. Setelah puas membersihkan tubuhnya dengan air yang sejuk segar, si cantik ini duduk di depan cermin, membereskan rambutnya yang panjang serta hitam dan terurai lepas.

Ia merasa amat nyaman dan sambil bersenandung kecil di depan cermin, ia mengagumi kecantikan diri sendiri. Dengan pakaian kimono sutera yang diberikan dayang padanya, ia dapat melihat bayangan tubuhnya di cermin. Ia tidak sadar bahwa para dayang telah meninggalkannya dan bahwa ia kini seorang diri saja di dalam kamar yang indah dan lengkap itu.

Kalau ia sedang bermain di istana, atas undangan Puteri Can Kim seperti sekarang ini, ia merasa sangat gembira dan lupa akan kedukaan hatinya. Setelah ia menikah dengan Pangeran Kian Tong, wanita ini merasa amat kecewa dan menyesal sekali, membuat ia menahan kesedihannya.

Suaminya ternyata berwajah buruk, sikapnya kasar dan sama sekali tak menyenangkan hatinya. Ia merasa menyesal, mengapa orang tuanya menjodohkan dia dengan seorang lelaki seperti itu dan merasa menyesal mengapa sebelumnya ia tidak lebih dulu melihat calon suaminya.

Kalau mengenangnya kembali, malam pertama merupakan pengalaman yang membuat ia menggigil ngeri. Di sini, tempat yang nyaman ini, jauh dari suaminya, ia merasa aman dan juga gembira.

Tiba-tiba wajah yang cantik itu menjadi tegang, dua mata itu terbelalak memandang ke dalam cermin, mulutnya yang berbibir merah basah itu terbuka dan sisir itu terlepas dari tangannya. Kemudian, setelah melihat jelas bahwa pria yang muncul dari ambang pintu itu adalah Pangeran Mahkota, wajahnya berubah merah sekali. Dengan tergopoh kedua tangannya mencoba untuk merapatkan kimono suteranya yang tipis. Makin dirapatkan, kain sutera itu semakin menonjolkan lekuk lengkung tubuhnya.

Fu Heng memutar tubuh di atas bangkunya, menghadapi pangeran yang sedang berdiri memandang dengan dua mata terpesona. "Pangeran... mohon Paduka pergi... pergilah atau saya akan menjerit...," katanya gagap.

Namun Pangeran Kian Liong bahkan menjatuhkan dirinya berlutut dengan sebelah kaki, mencabut pedangnya, lalu berkata sambil menempelkan pedang terhunus di lehernya sendiri. "Bila engkau tidak mau menemaniku, menolak untuk menerima cintaku, biarlah aku membunuh diri di depan kakimu!"

Melihat pangeran mahkota itu bersikap dan berkata seperti itu, wajah yang cantik jelita itu menjadi pucat sekali. Kalau putera mahkota mati membunuh diri di depan kakinya, berarti bahaya maut bagi dirinya! Pula, pemuda yang sangat tampan ini adalah calon kaisar, merupakan orang ke dua setelah kaisar yang paling berkuasa. Mungkin tidak lama lagi pria ini akan menjadi kaisar!

"Harap... Paduka... jangan lakukan itu...," katanya berbisik.

Pangeran itu mengangkat muka dan memandang, sinar matanya bercahaya, wajahnya berseri. "Jadi engkau mau...?"

Sekarang wanita itu menundukkan muka. Kedua pipinya merah sekali, juga sampai ke lehernya, membuat dia nampak semakin cantik. Meski pun mukanya menunduk, masih nampak dia menahan senyum tersipu dan kepalanya mengangguk perlahan.

Pangeran Kian Liong menahan diri agar tidak bersorak. Dia bangkit berdiri, menutupkan daun pintu, kemudian memondong tubuh wanita itu dari atas bangku, membawanya ke pembaringan.

SI TANGAN SAKTI (seri ke 15 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang