Jilid 15/24

1.4K 17 0
                                    

Lurah So dan para pembantunya menjadi pucat mendengar bahwa kakek itu ternyata adalah ketua Pao-beng-pai, perkumpulan yang mereka takuti. Mereka semua sudah mendengar akan Pao-beng-pai. Juga ketuanya, yaitu Siangkoan Kok majikan Lembah Selaksa Setan. Akan tetapi hanya namanya saja yang mereka ketahui, belum pernah melihat orangnya.

"Ha-ha-ha, engkau hebat, Si Bangau Merah! Tidak percuma engkau mendapat julukan itu karena engkau memang cerdik, lihai dan bermata tajam. Aku memang Siangkoan Kok!"

"Bagus! Kiranya benar engkaulah ketua Pao-beng-pai! Dan gadis siluman yang berani menantang keluarga kami itu adalah puterimu. Suruh dia keluar untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya!" Sian Li membentak.

"Sian-moi, kiranya tidak perlu bicara lagi dengan iblis seperti ini!" kata Ciang Hun yang sudah mencabut pedangnya.

"Benar, jahanam ini iblis yang kejam dan jahat yang harus dibasmi!" kata pula Gan Bi Kim yang sudah siap dengan sepasang pedangnya pula.

"Ha-ha-ha, kiranya kalian semua hanya pendekar-pendekar muda yang menjadi antek penjajah Mancu!" bekas ketua Pao-beng-pai itu berkata dengan nada mengejek sambil menertawakan mereka.

Wajah Sian Li berubah merah. "Jahanam busuk! Kalau kami menentangmu, hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah. Bagi kami, engkau bukanlah pejuang, tetapi penjahat busuk yang suka mengganggu rakyat. Kini bersiaplah untuk mampus!"

Sian Li sudah menerjang dengan senjata sulingnya. Ciang Hun dan Bi Kim juga cepat menggerakkan senjata mereka, mengeroyok.

Siangkoan Kok adalah seorang datuk yang lihai sekali. Akan tetapi, kini dia menghadapi pengeroyokan tiga orang muda yang tangguh, terutama sekali Si Bangau Merah dan Gak Ciang Hun. Dua orang muda ini adalah keturunan pendekar-pendekar lihai, maka dia tak berani memandang rendah dan kakek itu sudah mencabut pedangnya, memutar senjata itu menyambut serangan para pengeroyoknya.

Apa bila ketiga orang muda itu menyerang dengan pengerahan seluruh kepandaian dan tenaga mereka, menyerang dengan semangat besar, sebaliknya Siangkoan Kok hanya melindungi diri dengan gulungan sinar pedang. Dia tidak bersemangat untuk berkelahi. Apa lagi mengingat bahwa dua orang di antara para pengeroyoknya adalah keturunan keluarga pendekar yang tangguh.

Dia tidak ingin menambah lagi jumlah musuhnya di luar pasukan pemerintah yang telah membasmi perkumpulannya. Bahkan mungkin dia ingin bekerja sama dengan kelompok lain untuk membalas dendam kepada pemerintah penjajah Mancu, seperti yang sudah ia janjikan kepada ketua Thian-li-pang di Bukit Setan. Selain itu, dia juga merasa gentar kalau-kalau Pendekar Bangau Putih, ayah Si Bangau Merah ini, dan juga Pendekar Tangan Sakti Yo Han akan muncul.

Maka, setelah memutar pedangnya dengan dahsyat, membuat tiga orang pengeroyok itu dengan hati-hati mundur menjaga jarak, mendadak saja Siangkoan Kok meloncat ke kiri. Dan sebelum tiga orang muda yang mengeroyoknya sempat mencegah, dia sudah mencengkeram leher baju Lurah So serta menempelkan pedangnya di leher lurah yang menjadi pucat ketakutan itu.

"Kalau ada yang menyerangku, terlebih dahulu aku akan menyembelih lurah ini!" bentak Siangkoan Kok sambil mendorong tubuh lurah itu di depannya dan terus mendorongnya keluar rumah.

Ciang Hun, Sian Li, dan Bi Kim tentu saja tidak berani menyerang lagi. Bagaimana pun juga, mereka tidak mau mengorbankan nyawa lurah yang tak berdosa itu. Mereka hanya mampu memandang ketika lurah itu didorong keluar oleh Siangkoan Kok. Sian Li hanya dapat mengancam ketua Pao-beng-pai itu.

"Siangkoan Kok, kalau engkau membunuhnya, aku bersumpah untuk mengejarmu dan tidak akan berhenti sampai aku dapat membunuhmu!"

Ketua Pao-beng-pai itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, aku sedang malas bertanding, Nona manis, dan kini aku menangkap dia hanya untuk mencegah kalian mendesakku, bukan untuk membunuhnya. Lurah ini telah begitu baik untuk melayaniku makan minum, tentu aku tidak akan membunuhnya."

Setelah tiba di luar rumah, Siangkoan Kok berlompatan jauh sambil tetap menggandeng Lurah So, dan setelah tiba di tepi sebuah hutan dia baru melepaskan lurah itu kemudian menghilang ke dalam hutan. Sian Li dan yang lain juga tidak mau mengejar, mengejar seorang seperti Siangkoan Kok yang melarikan diri ke dalam hutan amatlah berbahaya.

Melihat tiga orang muda yang berhasil mengusir ketua Pao-beng-pai itu, Lurah So yang dilepaskan oleh kakek itu tanpa dilukai sama sekali, segera menghampiri dan memberi hormat, menghaturkan terima kasih kepada mereka dan memohon supaya malam itu mereka suka bermalam di rumahnya.

"Pertama, supaya kami sekeluarga sempat menghaturkan terima kasih kepada Sam-wi (Kalian Bertiga), dan kedua, supaya hati kami sekeluarga merasa aman dan tenteram. Kalau Sam-wi pergi sekarang, malam ini pasti kami tidak dapat tidur dan ketakutan membayangkan iblis itu kembali datang ke rumah kami." Demikian antara lain Lurah So membujuk mereka. Karena alasan itu masuk akal juga, akhirnya Ciang Hun, Sian Li dan Bi Kim menerima undangan itu.

Seluruh penghuni dusun itu bersuka ria karena lurah mereka telah bebas dari gangguan ketua Pao-beng-pai yang mereka takuti. Para penghuni itu ramai memuji-muji pemuda dan dua orang gadis perkasa itu. Keluarga Lurah So juga menghaturkan terima kasih dan mengadakan pesta kecil untuk menyambut mereka.

Sehabis makan minum, akhirnya tiga orang muda-mudi itu mendapat kesempatan untuk bicara bertiga saja di ruangan belakang rumah Lurah So. Tiada anggota keluarga yang berani mengganggu mereka bertiga yang sedang bercakap-cakap. Dalam kesempatan ini, Gan Bi Kim berkenalan dengan Gak Ciang Hun dan Tan Sian Li.

"Aku berterima kasih sekali kepada Taihiap (Pendekar Besar) dan Li-hiap (Pendekar Wanita)," kata Gan Bi Kim. "Aku sungguh tidak tahu diri, dengan ilmu silatku yang masih rendah aku berani menentang ketua Pao-beng-pai yang lihai itu. Kalau Ji-wi (Anda Berdua) tidak datang, entah bagaimana jadinya dengan diriku," kata Bi Kim.

"Aihh, Nona, harap jangan merendahkan diri. Ilmu pedangmu sudah cukup hebat, hanya ilmu kepandaian ketua Pao-beng-pai itu memang luar biasa. Hanya setelah kita bertiga maju bersama, barulah kita dapat mengusirnya," kata Ciang Hun.

"Benar, Enci, di antara kita tidak perlu sungkan, kita adalah dari golongan yang sama, yaitu menentang perbuatan jahat. Siapakah engkau, Enci, dan bagaimana engkau dapat tiba di tempat ini dan berkelahi dengan ketua Pao-beng-pai itu?"

Gan Bi Kim menghela napas panjang. "Aku hanya orang biasa saja, adik yang gagah, tidak seperti engkau yang berjulukan Si Bangau Merah dan kakak ini yang keturunan orang-orang sakti. Ketua Pao-beng-pai itu sampai mengenal kalian dan merasa gentar. Aku bernama Gan Bi Kim, berasal dari kota raja dan aku sedang melakukan perjalanan mengembara untuk meluaskan pengalaman setelah aku mempelajari sedikit ilmu silat dari para guru di kota raja sebagai bekal untuk membela diri. Pada saat tiba di sini, aku mendengar akan kejahatan kakek tadi yang menguasai rumah keluarga Lurah So, maka aku datang untuk menegur dan mengusirnya, tidak tahu bahwa kakek itu adalah ketua Pao-beng-pai yang sangat lihai. Nah, sekarang aku mengharapkan keterangan tentang kalian, karena aku hanya mendengar julukanmu, tidak tahu siapa namamu dan nama kakak ini."

"Namaku Tan Sian Li, enci Kim," kata Sian Li yang segera merasa akrab dengan gadis kota raja yang dari sikapnya saja telah dapat diduga bahwa ia seorang gadis terpelajar, bahkan ada sikap agung dan anggun seperti gadis pingitan atau gadis bangsawan.

"Dan namaku Gak Ciang Hun, nona Gan," Ciang Hun memperkenalkan diri.

Dia bagaikan terpesona memandang gadis itu. Ada sesuatu yang amat menarik hatinya pada gadis itu, entah sinar matanya yang lembut, atau pun mulutnya yang memiliki bibir yang mempesonakan.

"Aihh, Gan-toako, kita orang segolongan dan aku sudah merasa akrab dengan enci Kim. Kiranya tidak perlu bersungkan-sungkan menyebut ia nona segala!" kata Sian Li yang wataknya terbuka dan jujur.

Bi Kim tersenyum sambil memandang kepada pemuda itu. "Li-moi tadi berkata benar, Gak-toako. Aku pun merasa seolah-olah aku sudah mengenal kalian selama bertahun-tahun."

Ciang Hun tersenyum girang. "Baiklah, Kim-moi (adik Kim)."

"Enci Kim, engkau seorang gadis kota raja, lembut dan pandai, kenapa bersusah payah bertualang seperti gadis kang-ouw? Aku sendiri tentu lain lagi, karena memang aku dari keluarga petualang, aku seorang gadis kang-ouw yang sudah biasa hidup berkelana. Tapi engkau..."

Bi Kim tersenyum dan memegang lengan Sian Li. "Aihh, janganlah berkata seperti itu, Li-moi. Engkau lebih dalam segala-galanya dibandingkan aku, mengapa mesti memuji-muji aku? Engkau lebih lihai, engkau lebih cantik, lebih muda! Aku mendengar dari para guruku di kota raja tentang dunia persilatan yang luas, mendengar tentang tokoh-tokoh dunia persilatan, bahkan aku juga pernah mendengar nama besar Si Bangau Putih dan puterinya, Si Bangau Merah. Sebab itu, aku tertarik dan ingin meluaskan pengalamanku dengan merantau."

Tentu saja Bi Kim tidak mau menceritakan bahwa kepergiannya adalah untuk mencari Yo Han, pemuda idamannya yang sudah ditunangkan dengannya oleh neneknya. "Dan engkau sendiri, dari mana hendak ke mana, Li-moi? Dan juga engkau, Gak-toako?"

"Panjang ceritanya," kata Sian Li. "Beberapa pekan yang lalu, diadakan pertemuan dari tiga keluarga besar Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga Siluman. Aku pun hadir dan dalam pertemuan itu, muncul puteri ketua Pao-beng-pai yang menantang kami. Dia dapat dikalahkan dan kemudian pergi. Aku sendiri menjadi sangat penasaran dan pergi hendak menyelidiki Pao-beng-pai..."

"Dan karena aku mengkhawatirkan keselamatan siauw-moi Tan Sian Li, maka aku lalu mengejarnya dan berhasil, maka kami melakukan perjalanan bersama," sambung Ciang Hun.

"Tapi aku pernah mendengar berita bahwa Pao-beng-pai sudah dibasmi oleh pasukan pemerintah," kata Bi Kim.

"Benar, kami terlambat dan kami tidak dapat bertemu dengan gadis iblis itu, tapi malah bertemu dengan ayahnya di sini."

"Jadi kalian berdua saja berani datang untuk mencari puteri ketua Pao-beng-pai? Itu berbahaya sekali! Baru ketuanya saja tadi sudah selihai itu. Apa lagi kalau perkumpulan itu belum terbasmi dan terdapat banyak anak buahnya," kata Gan Bi Kim kagum akan keberanian dua orang itu.

"Aku bukan hanya hendak menyelidiki Pao-beng-pai, enci Kim. Sebetulnya, penyelidikan terhadap Pao-beng-pai hanya sambil lalu saja, yang terutama sekali kepergianku adalah untuk mencari Han-koko..." Sian Li berhenti sebentar sambil memandang kepada Gak Ciang Hun yang nampak tenang saja karena pemuda ini sudah mendengar pengakuan Si Bangau Merah.

"Han-koko? Siapa itu Han-koko?" tanya Bi Kim, tersenyum.

Sian Li baru ingat bahwa Bi Kim sama sekali tak mengenal kekasihnya itu, dan sebagai seorang gadis yang tidak merasa perlu untuk merahasiakan hubungannya dengan Yo Han terhadap seorang sahabat yang dipercayanya, dia pun tertawa.

"Aihh, aku sampai lupa bahwa engkau belum mengenal Han-ko, enci Kim. Dia berjuluk Sin-ciang Taihiap (Pendekar Tangan Sakti) bernama Yo Han... ehhh, engkau kelihatan terkejut, apakah engkau sudah mengenalnya, Enci?"

"Tentu saja aku terkejut," Bi Kim tersenyum, menahan debaran jantungnya, "Siapa yang tidak pernah mendengar akan nama besar Sin-ciang Taihiap? Dan engkau menyebut dia Han-koko? Agaknya engkau mempunyai hubungan yang erat dengan dia. Masih ada hubungan keluargakah, Li-moi?"

Sian Li tersenyum dan tiba-tiba saja kedua pipinya berubah menjadi kemerahan. Sambil menundukkan mukanya dan dengan tersipu ia berkata, "Boleh dibilang begitulah karena dia... dan aku... kami saling mencinta dan mengharapkan kelak menjadi suami isteri."

Karena mukanya ditundukkan ketika mengatakan itu, Sian Li tidak melihat betapa mata Bi Kim tiba-tiba terbelalak, mukanya pucat dan napasnya terengah sejenak. Bahkan dia kemudian menunduk dan mengusapkan tangannya ke arah kedua matanya untuk cepat mengusir dua titik air matanya.

Akan tetapi Ciang Hun yang semenjak tadi mengamatinya, dapat melihat perubahan ini. Diam-diam dia pun merasa amat terkejut dan heran. Hatinya lalu menduga-duga.

Ketika Sian Li kembali mengangkat muka memandang kepada sahabat barunya itu, Bi Kim telah dapat menguasai perasaan hatinya. Baru saja ia mengalami guncangan batin yang sangat hebat. Siapa orangnya yang tidak merasa seperti ditikam jantungnya ketika mendengar pengakuan seorang gadis yang dikaguminya bahwa gadis itu ternyata saling mencinta dengan laki-laki yang selama ini dicari dan dirindukannya karena laki-laki itu adalah tunangannya!

Menurut gejolak hatinya, ingin sekali dia marah-marah kepada Sian Li. Tetapi dia lalu mengingat-ingat kembali, membayangkan sikap Yo Han terhadap dirinya. Pemuda yang ditunangkan dengannya oleh neneknya itu belum pernah menyatakan cinta kepadanya, bahkan minta waktu untuk dapat memberi jawaban dan mengambil keputusan tentang niat neneknya menjodohkan mereka.

"Kau kenapakah, enci Kim? Engkau kelihatan termenung..." kata Sian Li.

Bi Kim mengangkat muka memandang kepadanya dan tersenyum manis! Kemudian dia menggelengkan kepalanya.

"Tidak apa-apa, adik manis. Aku hanya merasa terharu mendengar bahwa pendekar wanita Bangau Merah saling mencinta dengan Pendekar Tangan Sakti. Li-moi, melihat usiamu yang masih amat muda, tentu belum lama engkau berkenalan dengan Pendekar Tangan Sakti."

Sian Li memandang Bi Kim dengan lucu dan tertawa terkekeh. "Hi-hi-hik, engkau keliru sama sekali, enci Kim. Usiaku memang baru delapan belas tahun, akan tetapi aku telah berkenalan dan akrab dengan Han-ko sejak aku berusia empat tahun!"

Bi Kim terbelalak, memandang kepada Gak Ciang Hun, lalu menatap lagi wajah Sian Li. "Aku... aku tidak mengerti..." katanya bingung.

Sian Li tersenyum dan memegang lengan Bi Kim. "Engkau tidak perlu heran, enci Kim. Ketahuilah, ketika aku berusia empat tahun, Han-ko ikut orang tuaku, bahkan menjadi murid ayah dan ibu. Kemudian kami berpisah dan baru belasan tahun kemudian kami kembali saling bertemu dan langsung kami saling jatuh cinta kembali, maksudku... sejak kanak-kanak pun kami sudah saling mencinta, walau pun sifat cinta itu berubah..."

Kembali sepasang pipi itu menjadi merah sekali, semerah warna pakaiannya.

Setelah mendengar semua keterangan itu, tahulah Bi Kim bahwa tidak mungkin ia dapat mengharapkan Yo Han untuk menjadi calon jodohnya. Bukan Sian Li yang merampas tunangannya. Gadis ini dan Yo Han sudah saling mencinta, bahkan sejak kecil! Kalau ia berkeras mempertahankan usul neneknya mengenai perjodohan itu, berarti dialah yang merampas kekasih orang!

Keangkuhan yang timbul dari harga dirinya sebagai seorang dari keluarga bangsawan, membuat Bi Kim dapat menekan perasaannya dan saat itu juga ia sudah mematahkan hubungan batinnya dengan Yo Han. Dia tidak boleh dan tidak akan suka mencinta Yo Han yang telah menjadi kekasih si Bangau Merah!

Untuk mengalihkan perhatian dan melupakan rasa nyeri seperti ada pisau menikam ulu hatinya, Bi Kim lalu bertanya dengan suara heran, "Adik manis, kenapa engkau mencari kekasihmu itu? Dan kenapa pula dia meninggalkanmu?"

Pertanyaan yang wajar saja dari seorang gadis kepada gadis lain, meski sesungguhnya pertanyaan itu mengandung keinginan untuk mengetahui lebih jelas tentang hubungan antara Sian Li dan Yo Han.

"Ahhh, banyak sekali yang menyebabkannya, Enci, dan sebenarnya hal ini merupakan rahasiaku..."

"Siauw-moi, aku mulai merasa lelah dan mengantuk. Bagaimana kalau engkau lanjutkan percakapanmu dengan adik Bi Kim saja, dan aku beristirahat lebih dahulu?" kata Ciang Hun yang merasa tidak enak hati karena agaknya kehadirannya hanya akan membuat canggung dua orang gadis itu bercakap-cakap secara akrab.

Sian Li tersenyum dan mengangguk. Diam-diam dia merasa terharu dan juga senang karena pemuda itu sungguh tahu diri dan dapat memaklumi keadaan dirinya. Dia selalu merasa tidak enak kepada Ciang Hun kalau di depan pemuda itu harus menceritakan segala hal mengenai Yo Han, padahal Ciang Hun mencintanya.

"Gak-toako ini seorang pemuda yang bijaksana dan baik sekali. Aku amat kagum dan menghormatinya, apa lagi di antara dia dan aku masih ada hubungan kekeluargaan. Maksudku, dia masih keturunan keluarga dari perguruan Pulau Es, sedangkan kakekku keturunan keluarga Gurun Pasir dan nenekku keluarga Pulau Es," kata Sian Li kepada Bi Kim setelah mereka tinggal berdua saja.

"Aku pun kagum kepadanya. Dia seorang pemuda yang lihai, pendiam dan sopan," kata Bi Kim. "Akan tetapi, kalau engkau enggan menceritakan tentang dirimu dan kekasihmu, aku pun tidak akan memaksamu, Li-moi."

"Ahh, tidak sama sekali, Enci. Kepadamu aku tidak merasa sungkan atau enggan untuk menceritakan, hanya kalau ada Gak-toako..., aku jadi tidak tega untuk banyak bercerita tentang Han-koko dan aku..."

"Tidak tega?" Bi Kim memandang penuh selidik, terheran-heran, "Kenapa tidak tega?"

"Karena dia mencintaku, enci Kim. Dan aku tentu saja tidak dapat membalas cintanya, walau pun aku suka dan hormat sekali kepadanya. Aku sudah menceritakan mengenai hubunganku dengan Han-koko, dan Gak-twako dapat menerima kenyataan itu dengan hati lapang. Dia bijaksana sekali! Dan aku tidak ingin menyinggung perasaannya kalau banyak bercerita tentang Han-ko di depannya."

Bi Kim semakin terheran-heran dan kagum. Dara ini sungguh luar biasa, pikirnya. Begitu jujur, begitu terbuka! "Aih, kasihan dia kalau begitu, Li-moi. Pahit sekali memang kalau orang bertepuk sebelah tangan dalam soal asmara. Nah, sekarang ceritakan, kenapa engkau saling berpisah dengan kekasihmu?"

Sian Li lalu bercerita. Tanpa tedeng aling-aling lagi. Diceritakannya tentang ayah ibunya yang agaknya tidak menyetujui hubungan cintanya dengan Yo Han, bahkan ayah ibunya telah memilihkan jodoh untuknya, yaitu seorang pangeran!

"Akan tetapi aku tidak mau, Enci. Aku tidak sudi dijodohkan dengan pangeran itu, walau pun pangeran itu terkenal gagah dan tampan, kabarnya pandai ilmu silat juga."

"Siapakah pangeran itu? Mungkin aku sudah tahu."

"Dia Pangeran Cia Sun."

Diam-diam Bi Kim semakin heran dan terkejut. Tentu saja dia tahu siapa pangeran itu. Seorang pangeran yang menjadi pujaan hampir semua gadis di kota raja. Setiap orang gadis merindukannya dan mengharapkan menjadi isterinya!

Bahkan dia sendiri, sebelum ditunangkan dengan Yo Han, pernah beberapa kali melihat pangeran itu dan dia sendiri pun merasa terpikat! Dan gadis ini... Si Bangau Merah ini, malah menolak dijodohkan dengan Pangeran Cia Sun. Bukan main!

"Hemm, menurut penilaianku, dia seorang pangeran yang baik sekali, berbeda dengan para pangeran lainnya. Dia tidak congkak, manis budi dan dekat dengan rakyat."

"Biar seratus kali lebih baik dari itu, aku tetap tidak sudi, Enci. Aku hanya mau berjodoh dengan Han-ko! Nah, pada waktu ayah dan ibu mengajakku menghadiri pertemuan tiga keluarga besar, aku mengharapkan dapat bertemu dengan Han-koko di sana. Namun ternyata dia tidak ada. Lalu muncul puteri ketua Pao-beng-pai membuat kekacauan dan menantang-nantang kami. Setelah ia dapat diusir pergi, aku lalu meninggalkan ayah ibu secara diam-diam karena aku ingin mencari Han-koko dan menyelidiki Pao-beng-pai. Sebetulnya aku ingin membatalkan niat ayah dan ibu mempertemukan aku dengan pangeran itu di kota raja, dan mencari Han-koko sampai dapat."

"Ke mana sih perginya kekasihmu itu, Li-moi?" tanya Bi Kim, diam-diam merasa heran dan geli juga melihat betapa ada persamaan antara ia dan Si Bangau Merah ini.

Ia pun sedang mencari-cari Yo Han seperti yang dilakukan Sian Li. Hanya bedanya, ia mencari pemuda itu sebagai tunangan, sedangkan Sian Li sebagai kekasih! Amat besar bedanya memang, dan kenyataan ini menikam hatinya. Pertunangannya belum resmi itu atas kehendak neneknya, sedangkan saling mencinta tentu saja atas kehendak mereka yang bersangkutan!

"Han-koko menerima tugas berat, yaitu mencari puteri Pendekar Suling Naga Sim Houw yang hilang diculik orang sejak anak itu masih kecil sekali, baru dua tiga tahun usianya. Hingga kini, dua puluh tahun lebih sudah berlalu dan tak pernah ada berita tentang anak itu. Semua usaha yang dilakukan oleh Pendekar Suling Naga dan isterinya tak berhasil. Bahkan andai kata anak itu ditemukan juga, anak itu sudah tidak mengenal orang tua kandungnya, dan sebaliknya suami isteri itu pun takkan dapat mengenal puteri mereka. Dan Han-koko bertugas mencari anak yang hilang itu!"

"Aih, betapa sukarnya tugas itu. Bagaimana mungkin bisa mencarinya jika tidak pernah melihat anak yang kini tentu telah menjadi seorang gadis dewasa itu?" kata Bi Kim.

Dia merasa ikut merasa prihatin mendengar betapa tunangannya, pria yang dicintanya akan tetapi yang mencinta gadis lain itu dibebani tugas yang demikian sulitnya. Andai kata dapat menemukan gadis itu, bagaimana dapat yakin bahwa dia adalah anak yang hilang itu?

"Memang ada ciri khasnya, Enci. Menurut keterangan orang tuanya, anak itu memiliki dua buah tanda yang khas, yaitu sebuah tahi lalat hitam di pundak kirinya dan sebuah noda merah di telapak kaki kanannya. Nah, kurasa di dunia ini tidak ada dua orang yang memiliki tanda-tanda yang serupa seperti itu!"

"Aku akan ingat ciri itu, Li-moi, agar aku dapat membantu mencarinya."

"Terima kasih, enci Kim. Engkau baik sekali. Kini aku merasa bingung harus ke mana mencari kekasihku itu. Aku sangat merindukannya, Enci, dan dia tentu akan berbahagia sekali kalau dapat mencari gadis itu bersamaku."

Tanpa disadari oleh Sian Li, ucapan itu menikam ulu hati Bi Kim yang segera berpamit untuk beristirahat di kamarnya. Mereka bertiga mendapat masing-masing sebuah kamar di rumah keluarga Lurah So yang amat menghormati tiga orang pendekar itu.....

SI TANGAN SAKTI (seri ke 15 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang