Melihat ini, Cia Sun menguatkan tubuhnya dan bangkit berdiri, menghampiri dengan pandang mata khawatir.
"Kenapa, Eng-moi... dan be... benarkah ada tanda-tanda itu pada dirimu...? Benarkah bahwa engkau ini Sim Hui Eng?" Suara pangeran itu juga gemetar karena dia merasa tegang, khawatir kalau-kalau gadis ini bukan Sim Hui Eng seperti yang disangkanya.
Sampai lama Eng Eng tidak mampu bicara. Mukanya yang pucat kelihatan seperti mau menangis dan ketika ia bertanya, suaranya hampir tidak dapat didengar, "Bagaimana... perasaanmu terhadap aku kalau aku tidak mempunyai tanda-tanda itu, kalau aku bukan Sim Hui Eng?"
"Eng-moi, masihkah engkau meragukan cintaku kepadamu? Ketika aku jatuh cinta dan meminangmu, engkau adalah puteri ketua Pao-beng-pai, bukan? Engkau tetap engkau bagiku, satu-satunya gadis yang kucinta, baik engkau mempunyai tanda atau tidak, baik engkau puteri Siangkoan Kok atau bukan, atau puteri siapa pun juga. Aku tetap cinta padamu, Eng-moi, biar engkau akan membunuhku sekali pun. Tapi... untuk meyakinkan, benarkah engkau memiliki tanda-tanda itu?"
Tiba-tiba Eng Eng menjatuhkan diri berlutut kemudian menangis terisak-isak. Tentu saja pangeran itu terkejut dan khawatir, lalu dia pun berlutut di depan gadis itu.
"Eng-moi, kenapa, Eng-moi...? Ahhh, maafkan jika aku sudah membuat hatimu berduka, Eng-moi. Lebih baik aku melihat engkau marah-marah kepadaku seperti tadi dari pada melihat engkau bersedih seperti ini, Eng-moi."
Ucapan itu membuat Eng Eng semakin mengguguk. Cia Sun merasa hatinya bagaikan ditusuk-tusuk melihat keadaan kekasihnya itu dan dia pun menyentuh pundak gadis itu dengan lembut.
"Eng-moi, ada apakah...?"
Akhirnya Eng Eng dapat bicara tanpa menurunkan kedua tangannya dari muka, dan air mata mengalir melalui celah-celah jari kedua tangannya.
"Kau... kau lihat sendiri... apakah... ada tanda-tanda itu..."
Ia lalu menyingkap baju di bagian pundak kiri dan melepas sepatu serta kaos kakinya yang kanan. Cia Sun memandang pundak yang berkulit putih mulus itu dan di sana, jelas sekali nampak sebuah titik hitam, sebuah tahi lalat. Dan pada telapak kaki yang putih kemerahan itu nampak pula noda merah.
"Kau... kau benar-benar Sim Hui Eng...!" serunya seperti bersorak gembira.
Eng Eng kini merangkul ke arah kaki Cia Sun, "Pangeran..., ampunkan aku... aku telah berbuat kejam dan tidak adil padamu... aku... aku layak kau pukul. Balaslah, Pangeran, pukullah aku, siksalah aku, bunuhlah aku... huuu-huhuuuuu...!"
Gadis itu tersedu-sedu, menangis dengan perasaan menyesal, malu, dan juga marah terhadap dirinya sendiri dan sangat iba kepada pria yang dicintanya namun yang telah disiksanya tanpa salah itu. Bahkan pangeran itu telah mencegah pasukan membunuh Lauw Cu Si sehingga ia merupakan satu-satunya orang yang telah menemukan rahasia dirinya.
Pangeran ini telah berjasa kepadanya. Sebaliknya, ia menuduhnya sebagai pembunuh. Ia telah menyiksanya dengan kata-kata, dengan perbuatan. Ingin ia menciumi sepatu pangeran itu untuk menyatakan penyesalannya.
Melihat betapa gadis yang dicintanya itu merangkul kakinya dan mencium sepatunya, Cia Sun cepat-cepat merangkul, menarik dan mendekap kepala itu, seolah-olah hendak membenamkannya ke dadanya untuk disimpan di dalam dada dan tak akan dilepaskan lagi selamanya. Dia sendiri pun membenamkan mukanya yang basah air mata ke dalam rambut itu.
Sampai beberapa lamanya mereka berpelukan dan bertangisan. Beberapa kali Eng Eng mengusap dan membelai muka yang masih ada bekas-bekas tamparan tangannya itu dengan jari-jari gemetar.
Setelah gelora keharuan hati mereka mereda, Cia Sun membiarkan Eng Eng duduk bersandar di dadanya. Dia membelai rambut yang kusut itu dan berbisik, "Sudahlah, Eng-moi, sudah cukup engkau menyesali diri. Aku tidak akan menyalahkanmu. Memang batinmu mengalami guncangan yang hebat. Akhirnya semua kegelapan lewat dan kini kita berdua tinggal menyongsong sinar kebahagiaan."
"Pangeran..."
Cia Sun menghentikan kata-kata itu dengan sentuhan bibirnya pada bibir Eng Eng. "Hushhh..., kalau kau menyebutku pangeran, lalu apa bedanya dengan seluruh wanita yang menjadi kawula dan menyebutku seperti itu. Engkau adalah calon isteriku, engkau tunanganku, engkau kekasihku, ingat?"
Eng Eng tersipu, akan tetapi tersenyum penuh bahagia. "Kakanda... Cia Sun..." Betapa merdunya panggilan itu.
"Adinda Hui Eng..." Sang pangeran berbisik dan sebutan nama yang terdengar asing baginya itu mengingatkan Eng Eng akan keadaan dirinya.
"Kakanda Pangeran, dengan hati berdebar penuh ketegangan, sekarang aku menunggu engkau memberi tahu kepadaku, siapa sebenarnya orang tuaku? Apakah ayah ibuku masih hidup?"
"Engkau akan terkejut, berbahagia dan bangga sekali jika mendengar siapa ayah ibumu, Eng-moi. Pada saat engkau masih kuanggap sebagai puteri Siangkoan Kok, aku sudah kagum dan cinta padamu. Ketika aku mendengar dari bibi Lauw Cu Si siapa ayah dan ibumu, kekagumanku padamu bertambah-tambah. Ketahuilah bahwa ayahmu bernama Sim Houw dan ibumu bernama Can Bi Lan. Ehhh, kenapa kau, Eng-moi (adinda Eng)?"
Mendengar disebutnya kedua nama itu sebagai ayah ibunya, Eng Eng sudah meloncat berdiri sehingga terlepas dari rangkulan pangeran itu. Ia berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"Ayahku... Pendekar Suling Naga dan ibuku Si Setan Kecil...! Aihhhh... Kakanda... sekali ini celakalah aku..."
Cia Sun cepat bangkit dan merangkul gadis itu. "Tenanglah, Moi-moi, kenapa engkau berkata begitu? Bukankah sepatutnya engkau berbangga? Ayah ibumu adalah suami isteri pendekar yang sakti dan nama mereka terkenal sekali di dunia persilatan!"
"Aihh, engkau tidak tahu, Koko! Ahh, betapa malunya aku berhadapan dengan mereka. Ketahuilah, aku pernah mewakili Pao-beng-pai mendatangi tiga keluarga besar para pendekar itu dan menantang mereka mengadu kepandaian. Bahkan dalam peristiwa itu, Siauw-kwi Can Bi Lan, ibu kandungku itu maju untuk menandingiku. Akan tetapi aku, si tinggi hati tak tahu diri ini, aku bahkan menghinanya dan menantang Pendekar Suling Naga, ayahku sendiri untuk maju menandingiku! Aku telah bersikap sangat angkuh dan menghina tiga keluarga besar, dan ternyata Pendekar Suling Naga itu adalah ayahku sendiri. Bagaimana aku dapat berhadapan dengan mereka, Koko?" Dalam rangkulan Cia Sun, seluruh tubuh Eng Eng gemetar seperti orang terserang demam.
"Jangan risaukan hal itu, Eng-moi. Engkau tidak dapat disalahkan. Ketika itu engkau mewakili Pao-beng-pai maka tentu saja engkau menganggap para pendekar itu sebagai musuh. Apa lagi engkau hanya melaksanakan tugas, karena pada waktu itu engkau menganggap bahwa kau adalah puteri ketua Pao-beng-pai. Dan aku mengerti mengapa engkau mendapat tugas itu. Mungkin bibi Lauw Cu Si yang kau angap sebagai ibumu itulah yang mempunyai peran penting, sengaja membujuk Siangkoan Kok agar engkau melakukan penghinaan terhadap keluarga besar para pendekar itu."
Gadis itu menatap wajah Cia Sun. "Ehhh, kenapa begitu?"
"Aku sudah melakukan penyelidikan dan mengetahui siapa sebetulnya mendiang bibi Lauw Cu Si itu. Ia adalah seorang keturunan pimpinan Beng-kauw yang telah hancur. Karena ia seorang tokoh sesat, tentu saja ia memusuhi keluarga besar dari Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Siluman. Itu pula yang menyebabkan ia menculikmu, yaitu untuk membalas dendam terhadap Pendekar Suling Naga dan isterinya yang terkenal sebagai pendekar-pendekar yang menentang golongan sesat. Dengan mengadu dirimu melawan keluarga pendekar itu, melawan golongan orang tuamu sendiri, agaknya bibi Lauw Cu Si menemukan kepuasan tersendiri."
"Akan tetapi, Koko. Kalau orang tuaku itu Pendekar Suling Naga dan isterinya yang merupakan sepasang suami isteri pendekar yang sakti, mengapa aku sampai dapat terculik? Dan kenapa pula mereka tidak mencari si penculik dan merampasku kembali?"
"Pertanyaan seperti itu juga kuajukan kepada Yo-toako ketika kami membicarakan anak hilang itu. Menurut keterangan Yo-toako, Pendekar Suling Naga dan isterinya sudah sejak kehilangan puteri mereka itu berusaha sampai bertahun-tahun untuk menemukan anak mereka kembali. Akan tetapi semua usaha itu sia-sia belaka. Agaknya si penculik, yaitu bibi Lauw Cu Si, dengan cerdik sekali sudah menghilang, yaitu menjadi isteri Siangkoan Kok sehingga tidak seorang pun mengira bahwa engkau adalah anak yang diculik itu. Semua orang, bahkan Siangkoan Kok sendiri, menganggap engkau adalah puteri bibi Lauw Cu Si."
Eng Eng mengangguk-angguk, semua rasa penasarannya hilang. Akan tetapi tetap saja ia mengerutkan alisnya. Jika saja ia mendengar bahwa ayah ibunya adalah orang-orang biasa, bahkan petani miskin sekali pun, dia tentu akan berbahagia sekali dan merasa rindu untuk segera dapat bertemu dengan orang tuanya yang asli.
Akan tetapi, Pendekar Suling Naga?! Semua pengalamannya ketika dia menantang tiga keluarga besar itu terkenang dan makin dikenang, semakin merah wajahnya karena ia merasa malu bukan main.
"Koko, aku... aku takut untuk bertemu dengan mereka, aku takut dan malu..."
Cia Sun merangkul pundaknya, dan mengajaknya menghampiri kuda mereka. Matahari telah naik tinggi dan di jalan raya sana lalu lintas sudah mulai ramai.
"Eng-moi, buang saja semua perasaan itu. Percayalah, orang tuamu tak pernah berhenti memikirkanmu, bahkan sekarang pun masih minta bantuan Yo-toako untuk mencarimu. Mereka tentu akan berbahagia sekali kalau dapat menemukan anak mereka kembali. Dan mengenai kemunculanmu tempo hari, mereka tentu akan dapat mengerti. Jangan khawatir, akulah yang akan menemanimu ke sana menghadap mereka, dan aku yang tanggung bahwa mereka tentu akan menerima dengan bahagia dan tak akan ada yang menyesalkan tindakanmu dahulu."
"Aihh, aku merasa ngeri sekali bertemu mereka, Koko. Bagaimana kalau aku tidak usah memperlihatkan diri saja kepada mereka? Biarlah ini menjadi rahasia kita berdua saja. Aku... aku tidak mau membuat suami isteri pendekar itu mendapat malu besar dan nama baik mereka tercemar karena mempunyai anak seperti aku ..."
"Hushhhhh, jangan berkata begitu, Moi-moi. Coba jawab apakah engkau mencinta aku seperti aku mencintamu?"
"Apakah itu masih perlu ditanyakan lagi, Koko? Aku mencintamu, bahkan kekejamanku terhadapmu tadi pun karena terdorong cintaku padamu, akibat hatiku panas mendengar engkau mencinta Sim Hui Eng yang kukira gadis lain. Aku cinta padamu, Koko."
"Bagus, dan karena kita saling mencinta, apakah engkau mau menjadi isteriku?"
Gadis itu mengangguk. Sebagai puteri ketua Pao-beng-pai yang sejak kecil hidup dalam suasana kekerasan, ia tidak canggung atau malu mengaku tentang perasaan cintanya, "Tentu saja aku mau, koko!"
"Nah, kalau begitu, karena aku seorang pangeran yang tak mungkin meninggalkan tata susila dan adat-istiadat, aku akan melamarmu dengan terhormat dan secara baik-baik. Dan untuk itu, engkau harus mempunyai wali, mempunyai orang tua. Sekarang, mari kita pergi ke Lok-yang, ke rumah orang tuamu. Setelah engkau diterima dengan baik, aku akan kembali ke kota raja, kemudian aku akan mengirim utusan untuk meminangmu secara terhormat."
Gadis itu mengerutkan alis, akan tetapi begitu sinar matanya bertemu dengan pandang mata pangeran itu, ia pun mengangguk dan menurut saja ketika digandeng ke arah dua ekor kuda mereka yang sedang makan rumput. Tidak lama kemudian, sepasang orang muda yang berbahagia ini pun sudah melarikan kuda, menuju ke Lok-yang.
Oleh karena Cia Sun merupakan seorang keluarga kaisar, bahkan cucu kaisar, seorang pangeran yang pandai bergaul dan terkenal di kalangan para pejabat daerah, maka di sepanjang perjalanan itu dengan mudah saja dia mendapatkan pelayanan yang penuh penghormatan, mendapat tempat bermalam di rumah para kepala daerah, dijamu pesta dan dapat menukar kuda-kuda baru sehingga perjalanan ini cukup menyenangkan bagi Eng Eng.....
![](https://img.wattpad.com/cover/160035231-288-k873610.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SI TANGAN SAKTI (seri ke 15 Bu Kek Siansu)
Action(seri ke 15 Bu Kek Siansu) Jilid 1-24 TAMAT