Jilid 12/24

1.4K 12 0
                                    

Segera terdengar jerit tangis dan keadaan menjadi amat gaduh, di samping pertanyaan yang dihujankan kepada Seng Bu.

"Ouw-sute, apa yang telah terjadi?"

"Ouw-suheng, siapa pembunuh mereka?"

Demikian pertanyaan yang datang dari para suheng-nya, sute-nya atau suci-nya, juga para paman dan bibi gurunya. Seng Bu mengangkat kedua tangan ke atas.

"Harap kalian suka tenang dahulu. Dalam keadaan gaduh begini, bagaimana aku dapat bicara? Tenanglah, tenang dan hentikan lolong dan tangis itu!"

Suaranya halus namun tegas dan mengandung kekuatan yang membuat semua orang menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara agar dapat mendengarkan dengan jelas. Setiap orang anggota Thian-li-pang merasa marah, sedih dan ingin sekali tahu apa yang telah terjadi.

"Tadi aku bangun pagi-pagi sekali dan berjalan-jalan, seperti sering kulakukan. Ketika tiba di dekat tempat ini, aku melihat sesosok bayangan berlari cepat menuruni lereng. Aku segera mengejarnya karena curiga, akan tetapi aku hanya dapat mengenalnya dari jauh saja. Pagi masih terlampau gelap dan dia menghilang di dalam hutan di kaki bukit itu. Aku lalu kembali ke sini, untuk melihat mengapa orang itu datang ke sini dan aku menemukan Suhu, Suci dan Suheng telah menggeletak dan tak bernyawa lagi. Aku lalu cepat turun dan memukul kentungan untuk memberi tahu kepada kalian."

"Tapi siapakah orang yang melarikan diri itu? Apakah dia pembunuh jahanam itu?"

"Meski pun tidak melihat dia membunuh Suhu bertiga, akan tetapi aku yakin dia yang membunuh."

"Siapa dia? Kau tadi mengatakan, mengenalnya dari jauh. Siapakah pembunuh itu?"

"Dia adalah... Si Tangan Sakti Yo Han!" kata Seng Bu dengan suara tegas.

"Yo Taihiap...?!"

"Ahh, tidak mungkin!"

"Bagaimana dia yang mengangkat Lauw Pangcu menjadi ketua malah membunuhnya?"
"Aku tidak percaya!"

Riuh rendah suara mereka yang menyanggah dan menentang keterangan Seng Bu. Tak seorang pun di antara para anak buah Thian-li-pang percaya bahwa Yo Han yang telah melakukan pembunuhan terhadap tiga orang pimpinan Thian-li-pang itu.

Kembali Seng Bu mengangkat kedua tangan ke atas, minta agar semua orang tenang dan mendengarkannya. Setelah semua orang diam, Seng Bu berkata, "Kalian percaya atau tidak, akan tetapi aku yakin bahwa Yo Han yang telah membunuh Suhu, Suci dan Suheng."

"Tapi engkau tidak melihat dia dengan jelas!"

Kini majulah Thio Cu, yaitu seorang yang termasuk tokoh Thian-li-pang dan masih adik seperguruan Lauw Kang Hui walau tingkatnya kalah jauh. Thio Cu ini adalah seseorang yang mewakili Thian-li-pang ketika menghadiri pertemuan antara para tokoh di sarang Pao-beng-pai. Dia memberi isyarat kepada semua orang untuk tidak membuat gaduh lagi.

"Ouw Seng Bu, bagaimana engkau dapat merasa begitu yakin bahwa Yo Taihiap yang melakukan pembunuhan itu? Coba jelaskan alasanmu!"

Seng Bu mengangguk. "Begini, Thio-susiok (paman guru Thio). Kita semua mengetahui belaka bahwa Yo Han adalah murid mendiang kakek guru Ciu Lam Hok, bukan? Nah, kakek paman guru Ciu Lam Hok pernah dibuntungi dan dihukum ke dalam sumur tua oleh kedua kakek guru pendiri Thian-li-pang. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kalau kini kita mencurigai Yo Han. Dia tentu mendendam kepada Thian-li-pang dan kini dia datang membunuh para pimpinannya."

Semua orang terdiam, akan tetapi Thio Cu mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya.

"Alasan itu kurang kuat. Kalau memang dia mendendam kepada Thian-li-pang kenapa tidak dari dulu dia membasmi Thian-li-pang? Dia bahkan menunjuk suhu Lauw Pangcu menjadi ketua. Tidak, Seng Bu. Itu bukan merupakan bukti bahwa pembunuhnya adalah Yo Taihiap."

Mendengar ucapan Thio Cu ini, para anggota Thian-li-pang menyatakan persetujuan mereka.

"Kalian minta bukti bahwa pembunuhnya adalah Yo Han? Lihat saja keadaan tiga mayat itu. Tubuh mereka hangus, jelas akibat pukulan beracun yang sangat hebat. Aku yakin bahwa hal itu hanyalah dapat dilakukan oleh seseorang yang sudah menguasai Bu-kek Hoat-keng dan ilmu itu, seperti kita telah mendengarnya, dikuasai oleh Yo Han ketika dia belajar di dalam sumur. Bukti itu sudah amat kuat. Yo Han yang membunuh Suhu, Suci dan Suheng. Dan aku yang kelak akan membalaskan sakit hati ini!"

"Hemmm, Ouw Seng Bu, jangan takabur kau! Andai kata benar pembunuhnya adalah Yo-taihiap, jelas bahwa mereka bertiga ini saja tidak mampu mengalahkan Yo Taihiap, apa lagi engkau! Lagi pula, tidak ada yang dapat membuktikan bahwa mereka ini tewas karena pukulan Bu-kek Hoat-keng yang dilakukan oleh Yo Taihiap."

"Thio-suciok, lupakah engkau bahwa aku adalah pembantu dari ketua baru, mendiang Lu-suci? Setelah Lu-suci dan Lauw-suheng sebagai ketua dan wakilnya di Thian-li-pang tewas, maka aku sebagai pimpinan ke tiga, berhak untuk menggantikan mereka menjadi pemimpin di Thian-li-pang! Nah, dengan demikian, akulah orangnya yang berhak untuk menyelidiki urusan pembunuhan ini."

Thio Cu mengerutkan alisnya. "Tidak, urusan ini terlalu besar! Pembunuhan ini harus dibongkar! Dan tentang pemilihan ketua baru, sebaiknya bila kita menunggu munculnya Yo Taihiap agar dia yang mengadakan pemilihan ketua baru!"

"Thio-susiok, aku sudah dipilih Suhu untuk menjadi orang ke tiga di Thian-li-pang, dan engkau berani memandang rendah kepadaku? Sekarang begini saja. Siapa di antara para anggota Thian-li-pang yang menyetujui pendapat susiok Thio Cu, silakan berdiri di belakangnya! Dan yang menganggap aku sebagai pemimpin Thian-li-pang sehubungan dengan kematian Suhu, Suci dan Suheng, harap jangan mendekati mereka!"

Ada lima orang yang kini berdiri di belakang Thio Cu. Mereka adalah orang-orang yang masih disebut paman guru oleh Seng Bu. Tentu karena mereka merasa lebih tua dan lebih tinggi kedudukannya sebagai anggota Thian-li-pang, mereka berpihak kepada Thio Cu. Kini enam orang itu, dipimpin oleh Thio Cu, berdiri berhadapan dengan Seng Bu.

Melihat sikap mereka yang menantang, Seng Bu mendadak tertawa sehingga semua orang terkejut. Suara tawa itu amat menyeramkan, dan kini mereka melihat betapa mata pemuda itu mencorong aneh, sedangkan senyumnya dingin mengerikan.

"Paman Thio Cu dan kelima Paman lain, kalian berenam tetap tidak percaya bahwa Yo Han yang membunuh Suhu, Suci dan Suheng? Tak percaya bahwa ilmu pukulan Bu-kek Hoat-keng yang telah dipergunakan Yo Han membunuh mereka?"

"Kami tidak percaya karena tidak ada buktinya. Siapa dapat membuktikan tuduhanmu itu?" tanya Thio Cu.

"Akulah orangnya yang dapat membuktikannya! Aku menguasai ilmu itu, bukan hanya Yo Han, maka aku yakin benar bahwa Yo Han menggunakan ilmu Bu-kek Hoat-keng untuk membunuh mereka bertiga!"

Tentu saja ucapan ini sangat mengejutkan dan mengherankan semua orang. Thio Cu dan kawan-kawannya mengerutkan alisnya, kemudian memandang aneh kepada Seng Bu, menyangka bahwa pemuda itu telah menjadi gila.

"Ouw Seng Bu, jangan engkau bicara yang bukan-bukan. Siapa dapat mempercayai omonganmu yang seperti orang gila itu?"

Kembali Beng Bu tertawa dan kini dia menoleh ke arah semua anggota Thian-li-pang. "Kalian semua lihat baik-baik. Thio Cu dan lima orang ini tetap tidak percaya. Biarlah mereka membuktikan sendiri dan kalian menjadi saksi. Aku akan menggunakan Bu-kek Hoat-keng kepada mereka seperti yang dilakukan Yo Han terhadap Suhu, Suheng dan Suci, dan kalian nanti lihat akibatnya!"

"Seng Bu, apakah engkau sudah gila?" Thio Cu berseru lagi.

"Kalian berenam, bersiaplah untuk membuktikan kebenaran tuduhanku!"

Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara melengking yang amat menyeramkan, seperti suara iblis dari neraka atau seekor binatang buas sedang menderita hebat. Tubuhnya bergerak ke depan secara aneh, kedua tangannya bergerak seperti orang mabuk. Thio Cu dan lima orang saudaranya yang mengira Seng Bu telah menjadi gila, cepat bersiap siaga untuk menangkap dan menundukkan murid keponakan yang mendadak menjadi gila itu.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget perasaan hati mereka pada saat mereka dilanda angin topan yang dahsyat. Mereka sudah berusaha menangkis, namun semua tangkisan itu sia-sia belaka, lengan mereka seperti lumpuh dan enam orang itu terkena tamparan tangan kiri Seng Bu pada dada mereka.

Bagaikan daun-daun kering yang dihembus angin badai, tubuh mereka terlempar dan terjengkang, roboh malang-melintang, lalu berkelojotan dan tewas! Dan yang membuat semua anggota Thian-li-pang terbelalak dan memandang ngeri adalah ketika mereka melihat betapa wajah dan tubuh enam orang itu menjadi kehitaman dan hangus!

Seng Bu telah biasa kembali. Kini dengan penuh wibawa dia berdiri bertolak pinggang, menghadapi semua anggota Thian-li-pang dan suaranya terdengar halus namun penuh wibawa. "Ada lagi di antara kalian yang tidak percaya kepadaku bahwa pembunuh Suhu, Suheng dan Suci adalah Yo Han? Dan apakah ada lagi yang tidak setuju kalau aku mulai saat ini menjadi ketua Thian-li-pang dan memimpin kalian?"

Tak ada seorang pun berani menjawab. Peristiwa itu terlampau hebat dan semua orang masih tertegun, hanya berdiri diam seperti patung.

"Hayo jawab, apakah ada yang hendak menentangku?!" Seng Bu membentak, sekarang suaranya terdengar menyeramkan, mengejutkan semua orang.

Mereka itu serentak menjatuhkan diri berlutut menghadap Seng Bu, seakan-akan takut kalau-kalau pemuda itu menjadi marah kemudian menjatuhkan tangan saktinya kepada mereka.

"Tidak ada... tidak ada..."

"Kami semua tunduk kepada Pang-cu..."

"Hidup Ouw-pangcu!"

Seng Bu tersenyum, senyum biasa yang membuat wajahnya nampak tampan menarik. "Bagus, aku akan memimpin kalian, membawa Thian-li-pang maju, tidak seperti saat sekarang ini. Thian-li-pang akan menjadi perkumpulan terbesar! Kalau Yo Han berani datang, aku akan membunuhnya dengan ilmu yang sama! Sekarang, kita bereskan semua jenazah ini. Tidak perlu dikubur, kita mesukkan saja ke dalam sumur tua itu!"

Semua orang terbelalak dan bergidik, akan tetapi tidak ada yang berani membantah. Melihat sikap para anggota itu ragu-ragu, Seng Bu tidak sabar dan dia menghampiri jenazah-jenazah itu, lalu sekali angkut, kedua tangannya sudah mencengkeram empat batang tubuh, masing-masing tangan mengangkat dua mayat. Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri semak belukar, dan melempar-lemparkan empat batang tubuh itu ke dalam sumur tua! Dua kali dia membawa delapan mayat, dan mayat terakhir, yaitu mayat Lauw Kang Hui, dibawanya dan dimasukkannya pula ke dalam sumur tua!

Semua orang hanya terbelalak, bergidik dan takut sekali kepada pemuda yang biasanya lembut dan ramah itu. Mereka kini memandang Seng Bu seolah-olah pemuda itu kini berubah menjadi iblis yang amat menakutkan.

"Kalian tahu mengapa aku tidak mengubur jenazah mereka dan membiarkan mereka menjadi penunggu sumur tua?" tanya Seng Bu kepada para anah buah Thian-li-pang.

Tidak ada seorang pun dapat menjawab, bahkan tidak berani membuka mulut, hanya menggelengkan kepala menyatakan bahwa mereka tidak tahu.

"Aku bukanlah orang yang tak mengenal aturan. Aku melempar semua mayat ke dalam sumur tua dengan maksud tertentu," kata Seng Bu dengan sikap biasa, ramah lembut dan berwibawa. "Biarlah mereka itu menjadi arwah penasaran, hal ini kusengaja. Nanti kalau aku sudah berhasil menangkap Yo Han, dia akan kulemparkan ke dalam sumur, baik masih hidup atau pun telah mati. Dengan demikian, arwah Suhu, Suci dan Suheng akan merasa senang, bisa membalas dendam kepada Yo Han. Juga arwah enam orang anggota Thian-li-pang semua akan ikut mengeroyok dan menyiksa Yo Han."

Semua anggota diam saja, masih tertegun dan masih terkejut dan ketakutan.

"Sekarang semua kembali dan berkumpul di ruangan besar. Sebagai ketua baru aku akan mengadakan peraturan baru. Kita harus dapat menjadikan Thian-li-pang sebagai perkumpulan yang besar dan makmur, tidak seperti sekarang ini. Miskin dan tak pernah melakukan apa-apa yang sesuai dengan perjuangan kita dalam menentang pemerintah Mancu."

Sesudah mereka berada di sarang Thian-li-pang, Seng Bu lalu mengumpulkan seluruh anggota dan dia membuat peraturan baru yang membongkar semua peraturan lama. Dan mulai hari itu, Thian-li-pang kembali seperti sebelum Yo Han memasukinya, yaitu menjadi perkumpulan yang dengan kedok perjuangan melakukan apa saja untuk dapat mengumpulkan harta.

Mereka menguasai tempat-tempat pelesir di kota-kota dan menundukkan jagoan-jagoan yang memimpin kelompok-kelompok penjahat hingga semua penjahat harus mengakui Thian-li-pang sebagai pimpinan dan menyerahkan sebagian dari hasil kejahatan mereka sebagai tanda menakluk atau pajak. Mereka yang berani menentang lalu dihancurkan dengan mudah karena selain Thian-li-pang mempunyai banyak anggota yang tangguh, juga ketuanya adalah seorang yang lihai.

Tidak sukar bagi para anggota Thian-li-pang untuk mengambil cara hidup baru ini, yang sebetulnya hanya merupakan pengulangan atau kambuhan saja dari cara hidup mereka yang terdahulu. Dan memang hasilnya dapat segera dirasakan oleh para anggota, yakni kemakmuran dan serba kecukupan, walau pun uangnya didapat dari hasil kekerasan dan kejahatan. Dalam waktu beberapa bulan saja, nama Thian-li-pang semakin tersohor dan perkumpulan ini menjadi perkumpulan yang amat kaya dan berpengaruh, juga amat ditakuti orang.

Ouw Seng Bu mempunyai alasan sendiri untuk membenarkan tindakannya itu. Pernah ia mengumpulkan semua anggotanya, kemudian dengan panjang lebar ia menandaskan bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar.

Mereka yang tadinya merasa penasaran juga melihat bahwa ketua mereka kini menjalin hubungan baik lagi dengan Pek-lian-kauw, Pat-kwa-pai serta gerombolan-gerombolan lainnya yang di dunia kang-ouw dikenal sebagai gerombolan jahat dan golongan hitam, menjadi hilang perasaan penasaran itu setelah mendengar keterangan ketua mereka yang baru dan masih muda itu.

"Perjuangan menentang pemerintah penjajah Mancu adalah perjuangan yang suci," demikian antara lagi Seng Bu berkata. "Cita-citanya hanya satu, yaitu menentang dan menggulingkan pemerintah penjajah, mengusir penjajah Mancu dari tanah air dan dapat membebaskan bangsa dari belenggu penjajah! Perjuangan tidak mengenal golongan putih atau golongan hitam. Yang terpenting adalah cita-cita tercapai. Demi tercapainya cita-cita perjuangan, apa pun boleh kita lakukan, tidak ada pantangan lagi!"

Ucapan Seng Bu disambut dengan gembira oleh semua anak buah Thian-li-pang. Cara yang dipakai ketua mereka itu tentu saja membuka kesempatan besar bagi mereka untuk memuaskan keinginan mereka sendiri dengan membonceng perjuangan! Mereka dapat saja menggunakan kekerasan memaksakan kehendak mereka kepada rakyat, dapat melakukan perampokan atau pencurian karena semua itu menjadi benar dan baik kalau mereka menggunakan alasan demi perjuangan!

Tujuan menghalalkan segala cara! Itulah pendirian mereka yang telah dicengkeram oleh nafsu. Nafsu selalu menghendaki supaya keinginannya dapat tercapai, tersalurkan dan terpuaskan. Mengejar keinginan atau ambisi berarti membiarkan nafsu untuk merajalela menguasai diri sehingga kesadaran lenyap, akal sehat menjadi sakit, dan pertimbangan patah-patah. Nafsu untuk mendapatkan apa yang diinginkan menyeret kita melakukan segala macam perbuatan yang merugikan orang lain, yang sifatnya merusak.

Tujuan mengumpulkan harta sebanyaknya akan menghalalkan kita melakukan korupsi, perampokan, penipuan, pencurian dan sebagainya, sebab harta akan dianggap sebagai sumber kesenangan. Tujuan mendapatkan kedudukan yang dianggap sebagai sumber kemuliaan, kehormatan dan kesenangan menghalalkan kita melakukan pengkhianatan, kelicikan, penipuan dan menghantam siapa saja yang menghalangi kita, dan kalau perlu membunuh penghalang itu!

Semua ambisi dan semua keinginan, tidak lain hanyalah pengejaran terhadap apa yang dianggap menjadi sumber kesenangan. Sementara itu, pikiran yang sudah bergelimang nafsu akan membela semua perbuatan itu, dengan memberi istilah yang indah-indah dan muluk-muluk terhadap pengejaran keinginan itu, misalnya perjuangan, cita-cita dan sebagainya.

Yang terpenting justru terletak kepada cara itu. Cara berarti tindakan, cara berarti saat ini, sekarang. Tujuan hanya merupakan khayal, belum ada. Yang menentukan adalah cara itu, tindakan itu, sekarang ini. Yang sekarang ini menentukan yang nanti, karena yang nanti hanya merupakan akibat dan kelanjutan dari yang sekarang. Tidak mungkin mencapai tujuan yang baik dengan cara yang buruk, tidak mungkin mencapai tujuan yang bersih dengan cara yang kotor. Kalau caranya kotor, akhirnya yang didapat sebagai akibat cara itu pun pasti kotor.

Kalau orang melakukan sesuatu sambil membayangkan tujuan yang hendak dicapai oleh tindakannya itu, maka besar kemungkinan dia terseret oleh nafsu dan dibutakan oleh kemilau tujuan yang hendak dicapai. Tindakan yang benar adalah tindakan yang tidak terbimbing nafsu, melainkan tindakan yang dasarnya penyerahan kepada Tuhan sehingga tindakan itu akan selalu terbimbing oleh kekuasaan Tuhan. Tindakan seperti ini merupakan tindakan yang dilakukan demi tindakan yang penuh kasih terhadap tindakan itu, karena kekuasaan Tuhan berlimpahan dengan kasih.

Kalau kita mencintai apa yang kita lakukan, mencintai apa yang kita kerjakan, demi pekerjaan itu sendiri tanpa membayangkan hasilnya, maka apa yang akan kita lakukan itu sudah pasti benar dan baik, sebagai kemampuan kita. Jika kita belajar dan mencintai apa yang kita lakukan, sudah pasti dengan sendirinya kita memperoleh kemajuan dan ijazah tanpa kita mengejarnya. Ijazah itu hanya merupakan akibat atau buah dari pada pohon yang kita tanam sendiri, yaitu mengerjakan pelajaran itu.

Sebaliknya, kalau kita belajar demi mendapatkan ijazah, maka kita akan mudah terseret karena yang kita pentingkan hanya ijazahnya, bukan pelajarannya sehingga mungkin kita akan melakukan penyelewengan dengan menyontek, dengan membeli, menyogok dan sebagainya.

Bukan berarti bahwa kita harus menolak kesenangan. Sama sekali bukan. Menikmati kesenangan merupakan anugerah dari Tuhan! Kalau Tuhan tidak menghendaki, tentu kita tidak diberi perlengkapan sebagai sarana untuk dapat menikmati kesenangan itu. Kita berhak menikmati kesenangan karena itu pemberian dari Tuhan, tetapi kesenangan yang tidak dibuat-buat, tidak dicari-cari, tidak dikejar-kejar.

Kesenangan letaknya di dalam perasaan hati. Rasa senang yang menyelinap di dalam hati tanpa dikejar-kejar, itulah kesenangan sejati yang biasa kita namakan kebahagiaan. Kesenangan yang dikejar dan diberi adalah kesenangan nafsu. Biasanya kesenangan seperti ini lebih nikmat dikenang dan dibayangkan dari pada dialami pada saatnya. Hal ini timbul karena perbandingan dengan apa yang kita kenang, apa yang kita bayangkan.

Seolah-olah semua kenikmatan itu sudah menjadi hambar, dihisap habis oleh kenangan dan bayangan masa lalu dan masa depan. Tanpa kenangan masa lalu dan bayangan masa depan, pada saat itu, kalau kesenangan menyelinap di hati, itulah kebahagiaan.

Seperti melihat penglihatan indah, mendengar suara merdu, mencium bau harum. Kita mendapatkan kebahagiaan pada saat itu juga, dan habis pula pada saat itu. Kalau kita menyimpannya dalam ingatan, maka kebahagiaan itu berubah menjadi kesenangan.

Pikiran dan ingatan paling suka menguyah-nguyah pengalaman yang nikmat, kemudian membayangkan dengan latar belakang kenangan. Dari sini timbulnya pengejaran, dan bila yang dikejar sudah dapat, akan terasa hambar karena tidak seindah yang dikenang dan dibayangkan!

Kebahagiaan adalah saat demi saat, tanpa kenangan masa lalu dan bayangan masa depan. Bahkan hidup adalah sekarang, saat ini, saat demi saat. Yang lalu sudah mati dan hanya kenangan, yang akan datang hanya bayangan khayal
.

Ouw Seng Bu telah mendapatkan ilmu yang luar biasa, ilmu yang menjadi aneh karena dia mempelajarinya dari catatan yang tidak lengkap, dipelajari tanpa bimbingan guru sehingga pelajaran yang tidak lengkap dan terbalik-balik itu menyeretnya ke alam yang mendekati kegilaan.

Memang dia menjadi lihai bukan main, akan tetapi, ilmu itu pun mempengaruhi hati akal pikirannya, membuat dia kadang-kadang kumat seperti orang gila, bahkan dapat lebih mengerikan lagi, seperti iblis sendiri yang menjelma ke dalam tubuh manusia.....

SI TANGAN SAKTI (seri ke 15 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang