Amira menatap kemacatan di jalan Ibukota yang begitu menyakiti mata. Jika tidak berada di dalam mobil, mungkin ia akan kesulitan bernapas dengan minimnya oksigen dan banyaknya polusi yang mengganggu.
Bastian sudah tidak lagi mengamit tangannya. Mereka sudah fokus dengan dunia masing- masing. Amira yang fokusnya adalah Bastian, sementara Bastian, entahlah. Wajahnya tidak terbaca. Ia kelihatan cemas dan juga pucat. Bahkan pelipisnya mulai mengeluarkan cairan keringat pertanda jika sedang ada suatu masalah yang mengganggunya.
Tidak mau menatap Bastian lama-lama, Amira segera memalingkan wajahnya kembali menghadap jalan raya.
Aneh, bukankah ini jalan masuk menuju komplek rumahnya? Jadi, apakah mereka akan pulang?
Ngikk
Pedal rem mobil Bastian menimbulkan decitan. Jika tidak mengenakan seatbelt mungkin Amira akan terpental kedepan. Pasalnya Bastian berhenti dengan begitu mendadak.
Clik
Amira melihat Bastian membuka kunci pada pintu mobilnya. Apa ia menyuruh Amira keluar sendirian? Jika tidak, mengapa lelaki itu diam saja? Dan bukan bergerak lebih dulu dan keluar?
"Kita lanjut kapan-kapan ya, aku harus ke kantor"
"Eh?"
"Ya.. yaudah" Amira menelan rasa kecewanya dalam-dalam.
"Secepatnya aku akan pulang. Nanti Aku telfon"
oOo
Tok tok
Senyum Amira melebar. Ia yakin itu Bastian! Buru-buru ia mengecilkan power setrika di hadapannya dan segera berlari menuju pintu utama.
Ceklek
"Assalamualaikum"
Wajah Amira berubah kecewa, dan ia tidak bisa menyembunyikannya. Napasnya tertahan saat melihat orang lain yang bukan Bastian, dihadapannya.
"Kenapa? Kamu gak seneng ya lihat Ibu?" Ibu. Ya, tamu itu adalah Ibu.
"Waalaikumsalam." Amira mengecup punggung tangan Ibunya sedikit lama, "Maaf bu, ayo masuk" tambahnya sambil mengiring sang Ibu untuk masuk.
Terduduk di sofa ruang tamu, Ibu mengamati wajah puterinya dalam. Ingin bertanya, namun ragu. Apa ini masalah serius?
"Kamu lupa ya, Ibu mau datang?"
Amira mengangkat kepalanya, lalu mengangguk dengan raut wajah menyesal, "maaf"
"Oh iya, Amira ke dalam sebentar, mau matiin setrikaan dulu" Ibu mengangguk. Ia memilih untuk menelan tanda tanya besar di kepalanya, biarlah Amira bercerita dengan sendirinya.
"Ra?"
Amira menghentikan langkahnya, "ya?"
"Kamu baik-baik ajakan?"
oOoMemandang langit malam melalui jendela kamar. Itulah yang sedang Amira lakukan sekarang. Selesai mengaji, ia memilih untuk menentramkan hati disini. Sudah pukul tengah malam, tapi Bastian tidak kunjung memberikan kabar. Sedikit teringat tentang perkataan Bastian tadi pagi, bahwa ia boleh menelfon lelaki itu jika sudah larut begini malah belum pulang. Tapi entah mengapa Amira merasa enggan melakukannya. Ia takut jika sedang ada masalah serius, dan akan menjadi sangat mengganggu jika ia malah menelfon.
Sekali lagi Amira melirik ponselnya di atas ranjang. Ia terlalu takut. Ia takut mengganggu Bastian, walau ia memiliki hak untuk bertanya.
Tling
Amira loncat dari kursi kayu yang ia duduki, meraih ponselnya secepat kilat.
A message from Bastian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berkas Cerita
RomanceSetelah yakin dan meyakini kedua orangtua Amira bahwa Bastian serius, serius untuk menikahi seorang Amira, saat itulah terjadi pernikahan diantara mereka. Untuk pertama kalinya Amira berada dalam radius yang sangat dekat dengan lawan jenisnya, dan t...