7- Honeymoon

5.3K 239 4
                                    

Masih menelusuri salah satu mall besar di pusat kota, tentengan Ibu dan Bapak sudah sama-sama banyak. Awalnya kedua orang itu enggan menggunakan uang Bastian untuk berfoya-foya, tapi apa boleh buat? Bastian terus saja membujuk, karena uang yang ia keluarkan untuk Ibu dan Bapak benar-benar tidak seberapa. Semua ini adalah bentuk sayangnya kepada kedua orangtua barunya.

"Bas, udah mau ashar, apa gak sebaiknya kita pulang? Kasihan Amira sendirian di rumah" kata Ibu menghentikan langkahnya.

Astaga, sepertinya Bastian hampir melupakan Amira, ia pun mengangguk menuruti permintaan Ibu.

"Ayo, Bu, Pak" ajak Bastian menuju basement untuk mengambil mobil Bastian.

oOo
Amira benar-benar dibuat panik pagi tadi. Tapi setelah ia menemukan sebuah note menempel di kulkas, hatinya menjadi lega. Note tersebut berisikan sebuah izin dari Ibu untuk pergi jalan-jalan dengan Bapak dan juga Bastian. Walau sempat bertanya-tanya, tetapi Amira berusaha berpikir positif. Ia harap Bastian tidak nekat memberitahu kedua orangtua Amira perihal dirinya yang akan dimadu. Bastian butuh Amira ketika ingin menyampaikan maksud tersebut. Ia tidak ingin jika kedua orangtuanya sampai salah paham.

Tok tok

"Assalamualaikum"

Ceklek

"Waalaikumsalam" Amira tersenyum begitu melihat wajah berseri Ibu ketika ia membuka pintu.

"Kamu ditunggu Bastian di mobil"

"Eh? Ada apa memang, Bu?"

"Nanti juga kamu tahu, ayo samperin suamimu" timpal Bapak sambil tersenyum penuh arti.

Tidak mau berpikiran yang aneh-aneh, Amirapun memilih untuk menurut dan segera menghampiri mobil Bastian yang masih terparkir diluar gerbang.

Tok tok

Amira mengetuk kaca mobil bagian pengemudi, milik Bastian, pelan. Dan perlahan kaca pun turun menampakkan wajah tampan milik Bastian.

"Masuk, Ra"

"Eh?"

Amira menurut dan segera berjalan menuju kursi penumpang di sebelah kemudi. Ditutupnya pintu mobil dengan rapat, wajahnya serius bertanya kepada Bastian.

"Ada apa, Bas?"

"Kamu gak lagi halangan, kan?" dengan polos Amira hanya menggeleng.

"Kita ke Lombok, mau?"

"Hah?!" Wajah Amira terkejut.

"Kapan Bas? Kenapa ngomongnya dadakan? Aku belum packing apa-apa" tambah Amira kebingungan.

"Apa yang kamu butuhin, kita beli disana. Kita honeymoon sekali lagi mau?"

"Eh?"

oOo

Semilir angin malam menyapu beberapa helai daun yang jatuh. Namun, biar bagaimana juga, tidak ada yang mampu menyeka jejak daun tersebut. Sekalipun pada akhirnya dia pernah pergi. Si daun.

Sambil bersenandung kecil, menyanyikan lagu milik 3 Composer, bangun cinta. Paula tersenyum memandangi ombak yang menyapu kecil bibir pantai. Bulan sudah mengambil alih fungsi matahari untuk menerangi bumi. Begitu pula fajar yang tergantikan oleh senja. Namun bagaimana pun, setiap jiwa mencintai dua hal tersebut. Perbedaan antara memulai dan mengakhiri yang namanya satu hari.

Drt

Sebuah pesan masuk.

Nomor yang tidak Paula kenal, dan Paula memilih untuk mengabaikannya. Dulu ia bisa setiap menit memandangi layar handphone nya untuk memantau kegiatan pujaan hatinya. Namun sekarang, sepertinya ia tidak lagi memiliki alasan untuk itu. Ia hanya perlu memulihkan hati dan jiwanya untuk kembali mencinta. Melupakan masa lalu nya yang kini sudah bahagia.

Sesekali ia masih berpikiran untuk menyesal. Seandainya, saat pertama kali lelaki itu pulang ke Indonesia, saat lelaki itu mengumumkan keinginannya untuk menikah, seharusnya ia ada disana. Mengisi hidup lelaki itu sembari perlahan meyakini lelaki itu untuk memilih dirinya sebagai pasangan hidup. Tetapi, apa boleh buat, ia masih di China saat itu. Ia sudah berniat untuk pulang dan menyatakan perasaannya serta melangsungkan rencana-rencananya, namun takdir berkata lain. Sehari setelah kepulangan lelaki itu ke Indonesia, sebuah undangan sampai ke emailnya. Lelaki itu mengundangnya melalui pesan email. Ah, tidak mau terlalu jauh membaca apa isinya, ia tahu itu akan sangat menyakitkan. Lelaki itu sudah menemukan pilihannya. Namun, seperti kurang puas menikam Paula, dua hari setelahnya, sebuah paket dari Jakarta tiba di Apartment nya. Paket tersebut berisikan undangan, dengan cetakan berwarna cokelat emas dengan pita berwarna senada yang mempercantik tampilan undangan tersebut.

Paula menarik napasnya perlahan, lalu menghembuskannya kembali. Sadar atau tidak, Paula masih menyimpan undangan tersebut dengan rapih di atas meja TV di rumah barunya di Lombok. Ya mungkin memang ia patut menyandang gelar bodoh. Untuk apa ia simpan? Entah, hatinya seperti masih tersesat. Hatinya, masih tertinggal bersama lelaki itu. Kira-kira, bagaimana kabarnya sekarang?

oOo

Setibanya mereka di hotel. Bastian langsung saja mengunci pintu kamar mereka. Dan entah mengapa lelaki itu terus saja tersenyum jahil.

"Ra? Mandi dulu ya?" Tanya Bastian tiba-tiba.

"Eh? I.. iyalah Bas. Kamu mau duluan? Aku siapin air panasnya, mau?"

Bastian menggeleng, "kamu duluan"

"Eh? Kenapa? Kamu duluan aja, aku biar rapih-rapih dulu"

"Apa yang mau di rapihin, koper aja gak bawa" koreksi Bastian.

"Apa mau mandi berdua?"

Kedua bola mata Amira membulat sempurna. Pipinya bersemu kemerahan menahan malu mendapati godaan semacam ini dari Bastian. Apa sebenarnya tujuan lelaki itu ? Jangan.. jangan..

oOo

Pagi pagi sekali Amira sudah memasak sarapan sehat untuk Bastian. Sereal. Hehe. Hanya itu yang Amira temukan di kulkas. Bastian melarangnya pergi kemanapun , termasuk untuk ke supermarket untuk membeli perlengkapan memasak.

"Amiraa" teriak Bastian dari dalam kamar mandi.

"Ya, Bas?"

"Aku mau sarapan mi goreng, ya"

"eh?" Amira menatap sereal buatannya lesu. Lalu siapa yang akan memakannya? Tumben sekali Bastian request untuk sarapannya.

"Pagi pagi mau makan itu?" Tanya Amira memastikan.

"Iya Amira" sabtu Bastian masih berteriak.

Amira tertawa kecil, mungkin memang se sekali lelaki itu harus ia manjakan.

"Oke, Bas"

oOo
Amira tersenyum melihat Bastian melahap mi instant yang ia buat. Lelaki itu seperti kenikmatan sendiri. Sementara Amira? Ia harus menghabiskan sereal yang ia buat untuk Bastian. Aneh memang, sarapan dengan sereal benar-benar tidak menimbulkan napsu. Mungkin akan lebih nikmat jika menikmati mi instan seperti Bastian.

"Ra, aku masih laper, mau lagi"

"Eh? Itu udah dua kan, Bas. Gak boleh banyak-banyak"

"Aku kan jaranggg banget makan mi"

"Tapi tetep aja, kamu gak bisa sekaligus makan mi dalam satu hari. Apalagi untuk menu sarapan"

Wajib Bastian merenggut. Ia menunduk dengan bibir manyun, persis seperti anak kecil. Melihatnya, Amira menjadi tidak tega.

"Iya, aku bikinin. Kamu mau berapa?"

Wajah Bastian berubah sumringah, "tiga!", serunya kegirangan.

"Hah?!"

TBC

Berkas CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang