10- Pilu membiru

5.2K 346 41
                                    

Jarum jam terus bergerak, menunjukkan jika hari sudah semakin larut saja. Sekarang sudah memasuki hampir pukul satu malam. Bastian masih terjaga, terduduk di atas kursi di sisi kiri ranjang. Ia sedikit membungkuk sambil memijit kepalanya yang terasa begitu sakit. Mulutnya tidak berhenti beristigfar sejak beberapa jam terakhir. Jangankan tidur, berbaring saja Bastian merasa tidak pantas. Di dalam kamar miliknya dan Amira, ia hanya mampu terdiam dan merenungi semuanya.

Amira? Wanita Itu tidak bersamanya sekarang. Keputusan Ibu dan Bapak sudah bulat dan tidak dapat diganggu gugat. Mereka membawa Amira pulang ke kampung halaman mereka, tempat Bastian bertemu pertama kali dengan Amira. Mereka bahkan tidak membiarkan Amira untuk berkemas, hanya membawa wanita Itu pergi, begitu saja. Seperti pilu yang ia biarkan, kini rasanya sudah mulai membiru. Bastian benar-benar tidak bisa mengistirahatkan tubuhnya. Ia ingin bertemu dengan isterinya, Amira.

Bagaimana perasaan wanita itu, jelas lebih sakit dari dirinya. Ingin rasanya ia berteriak marah, menolak keputusan mertuanya untuk membawa Amira pergi. Tapi apakah ia pantas? Setelah apa yang menimpa keluarga kecilnya, apakah ia pantas?

Prangg

Dengan kesal, Bastian membanting vas bunga di atas nakas begitu saja. Emosinya meluap menampakan kilatan dimatanya. Ia marah sekaligus kesal pada dirinya sendiri. Mengapa takdir semacam ini malah memihak pada dirinya? Mengapa?

oOo

Kota Jakarta disambut hujan begitu Bastian tiba di halaman rumah kedua orangtuanya. Masih di dalam mobilnya, Bastian menatap lesu ke arah langit. Teringat wajah Amira, sedang apa wanita itu sekarang? Apa kah ia baik-baik saja?

Tok tok

"Den Bas, ayo masuk" seorang satpam mengetuk kaca mobil Bastian dengan mengenakan jas hujan dan payung besar ditangannya.

Bastian terdiam sejenak, ia kenal betul lelaki setengah abad ini, dia adalah Mang Agung, salah seorang pekerja Ayah yang sudah bertahan dua belas tahun lamanya. Ia tahu mengenai silsilah keluarga Mang Agung. Mang Agung sudah memiliki seorang isteri dan dua orang puteri. Kehidupan mereka cukup dan terlihat selalu harmonis. Keluarga kecil Mang Agung beberapa kali berkunjung, menghadiri acara-acara yang diselenggarakan di rumah. Bisakah ia bertukar posisi dengan Mang Agung saja?

"Den?" Panggil Mang Agung membuyarkan lamunan Bastian.

"Eh? Ya, Mang" Bastian melepas seatbelt yang  melekat pada tubuhnya sambil membuka pintu mobilnya perlahan.

oOo

Lain dari kondisi di Ibukota, di kota kelahirannya, Malang, Amira tengah sibuk mengabsen murid-murid Bapak. Pesantren dirian Bapak sudah begitu marak di tempatnya. Disini Amira menemukan kedamaian yang tidak ia temukan di Ibukota. Ada ketenangan yang sampai pada hatinya ketika melihat anak-anak asyik melantunkan ayat suci AL-Quran. Ia merasa tidak sendiri menghadapi ujian ini, ia merasa, bahagia karena bisa sampai pada posisi seperti ini.

Sejujurnya, semalam ia tidak bisa tidur nyenyak. Ia tentu terpikirkan tentang suaminya di Jakarta. Apa lelaki itu baik-baik saja? Apakah lelaki itu sudah sarapan? Akankah lelaki itu tetap bekerja? Apa kabarnya kira-kira.

"Bas, aku kangen" ucap Amira pelan, napasnya tertahan, sesak membayangkan wajah manis Bastian dengan segala guyonannya.

"Assalamualaikum" Amira terkejut, ia menoleh kebelakang. Seorang lelaki dengan tinggi semampai dan badan atletisnya, tersenyum manis ke arah Amira.

"Bapak ada?"

"Eh? Waalaikumsalam , ada di dalam. Ada perlu apa ya?"

Lelaki itu hanya tersenyum.

oOo

"Dia ingin menikahimu, Ra" Amira yang sedang memotong wortel di dapur, segera menghentikan kegiatannya. Tangannya lemas begitu Bapak pulang dan berucap demikian.

Ibu yang sedang menemani Amira untuk memasak makan siang, turut terkejut.

"Pak" panggil Ibu membuat Bapak yang tengah meneguk teh manis miliknya, menoleh.

"Bapak belum terima Bu. Bapak jujur, Amira masih terikat persidangan dengan mantan suaminya. Dan dia bilang, dia mau menung—"

"Pak" Amira memotong ucapan Bapak.

"Amira atau pun Bastian gak pernah menyetujui keputusan Bapak. Maaf, Pak, Amira gak bisa" Amira memberanikan dirinya untuk berkata demikian. Keputusannya sudah bulat, ia tidak bisa berpisah dengan Bastian. Tidak.

Bapak menatap Amira kecewa, raut wajahnya berubah tak senang.

"Amira cuma mencintai Bastian , Pak. Maafkan Amira" Amira menunduk lesu, air matanya sudah menggenang siap untuk meluncur jatuh.

"Dia itu Hendra, lelaki yang menyukaimu jauh sebelum kamu mengenal Bastian. Dia pergi kuliah di Mesir, dan sekarang ia kembali. Dia bahkan ndak memperdulikan statusmu yang janda. Apa lagi yang kurang?"

"Apa Hendra akan terima kalau tahu Amira mandul?"

Napas Bapak tertahan, matanya berkaca saat melihat air mata jatuh membasahi pipi puterinya.

"Mungkin pernikahan Amira dan Bastian baru seumur jagung, tapi semua itu bukan berarti kami bisa dipisahkan. Amira terima, kalau memang Bastian harus menikah lagi. Perceraian hanya akan membuat Amira terluka sepenuhnya, daripada harus dimadu selamanya. Amira minta Bapak untuk mengerti, Amira benar-benar mencintai Bastian , Pak. Menikah lagi adalah pilihan orangtua Bastian, bukan pilihan Bastian" Amira berucap sembari sesegukan. Napasnya tidak teratur karena air matanya yang terus menerus jatuh.

Ibu yang turut merasakan kepedihan puterinya, berinisiatif untuk merengkuh Amira ke dalam pelukannya. Menenangkan anak itu sambil mengelus punggungnya lembut.

"Istigfar, Ra" bisik Ibu ditelinga Amira.

"Maafin Bapak, Bapak ndak bisa terima kalau puteri Bapak satu-satunya, harus dimadu. Bapak ndak terima, Ra" Bapak bangkit dari duduknya sambil berjalan keluar dari rumah.

Amira tidak menjawab, ia malah merengkuh pinggang ibu sambil terus menangis menumpahkan pedih di hatinya. Perih sekali sampai sampai ia meraung kesakitan. Tangisnya semakin menjadi saja kala wajah Bastian terlintas dalam pikirannya. Ia rindu Bastian, dia hanya ingin Bastian. Apakah memang bukan Bastian yang akan bersamanya sambil ajang menghampiri? Apa Bastian hanya akan menjadi masa lalunya? Apa Bastian dan dirinya hanya akan menjadi sebuah kisah? Tanpa akhir yang membersamakan mereka?

oOo

"Besok Ibu yang temani kamu ke Jakarta" Ibu masuk ke kamar Amira dengan sepiring kue lupis ditangannya.

"Cobain, masih hangat" tawar Ibu.

Amira menggeleng lemah, semangatnya masih senyap.

"Mau ngapain, Bu?"

"Sidangmu"

Amira membulatkan matanya tidak percaya, tatapannya meredup saat melihat Ibu menyeka air matanya.

"Ibu bisa merasakan sakitnya hati kamu. Maafin Bapak ya? Bapak cuma mau supaya kamu ndak menderita. Percaya, sayang, pernikahan kedua Bastian ndak akan baik untuk kamu. Kami tahu betul apa apa yang akan menimpa kamu, kalau kamu tetap memutuskan untuk bertahan. Ibu dan Bapak ndak mau kamu tersakiti, mengerti ya Ra? Kami ingin yang terbaik buat kamu"

"Tapi perceraian bukan satu-satunya jalan, Bu."

"Apa kamu bisa menggagalkan pernikahan kedua Bastian? Kamu yakin bisa?"

"Bu, Amira mohon"

"Ibu paham, kamu sangat cinta sama Bastian. Tapi kalau kamu paksakan, semua ndak akan berakhir baik"

Amira tertunduk lesu. Air matanya kembali menggenang. Ia pikir, Ibu sependapat dengannya. Tetapi nihil, tidak ada harapan untuk dirinya dan juga Bastian. Perpisahan diantara mereka sudah berdiri di depan mata. Tinggal ucapan selamat tinggal yang harus mereka torehkan satu sama lain. Begitukah?

TBC

Berkas CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang