4- Salahkah kita?

4.9K 251 1
                                    

Terduduk di atas ranjang besar miliknya dan Bastian. Dengan piyama hadiah pemberian dari Rumia, sahabatnya selama di pesantren, dulu. Piyama yang diberikan senada juga dengan Bastian.

Sejak kepulangannya dari kantor Bastian tadi siang, Amira masih setia melamun, memikirkan setiap kata yang Bunda berikan padanya. Mengiang dan mengganggu pikirannya. Ketiadaan Ibu di rumah membuat Amira leluasa untuk bungkam dan menyimpan luka di hatinya seorang diri.

Mengingat sedikit ke belakang, pernikahannya dengan Bastian yang bahkan baru berlangsung bulan kemarin. Harapan Amira tentang menikah dengan lelaki yang taat dalam beragama juga bertanggung jawab. Semua terasa indah saat Amira berhasil memiliki Bastian seutuhnya. Dan apa pada akhirnya ia hanya akan membiarkan dirinya dimadu? Atau diceraikan? Jalan manakah yang lebih baik, setidaknya?

Wanita manapun di belahan bumi ini, apa ada yang bisa memilih antara kedua pilihan itu? Pilihan yang keduanya sama-sama menyakitkan. Dimadu? Apa masa depannya bisa menjamin ia agar bahagia dan Bastian yang berlaku adil? Diceraikan? Apa masa lalu dapat menerima masa depan yang menakdirkan Amira dan Bastian untuk tidak berjodoh? Yang manakah yang harus Amira pilih? Mengapa keduanya harus menyakitinya?

Tok tok

"Ra, aku masuk ya?"

Amira tersentak, ia menoleh ke arah pintu kamarnya. Itu suara Bastian, ia hapal betul.

"Y..ya"

Amira menegakkan badannya, merubah suasana hatinya. Mengatur senyum terbaiknya untuk menyambut Bastian. Walau masih terheran dengan kepulangan Bastian di siang hari seperti ini.

Ceklek

Bastian datang dengan tanpa blazer kenamaannya. Dasi yang lelaki itu kenakan sudah tidak serapih sebelumnya. Rambut lelaki itupun tampak kusut dan berantakan. Apa yang terjadi?

Berjalan cepat menghampiri Amira, Bastian bertumpu di bawah wanitanya, "Ra, maafin Bunda"

"Eh?"

"Jessi gak manggil aku, Bunda bohong. Aku gak tahu sejak kapan Bunda jadi begini. Aku minta kamu buat gak dengarin apapun itu dari Bunda ya? Lupain semua permintaan Bunda. Jangankan kamu, akupun gak mau menikah lagi. Aku gak bisa berlaku adil, Ra. Aku gak bisa kalau ada lelaki lain selain aku dihati kamu, jadi begitu pula kamu. Aku yakin kamu mau kalau kamu satu-satunya, kan, buat aku?"

Amira mengerjap, bingung dengan sikap Bastian kali ini. Wajah lelaki itu terlihat panik dan ketakutan. Pelipis lelaki itu bahkan basah oleh keringat.

Dengan lembut Amira menangkup kedua pipì suaminya. Dipandangmya lembut lelaki itu.

"Aku baik-baik saja, kok."

Bastian menatap Amira dalam, seperti ungkapan yang hanya mereka berdua yang tahu.

"Janji, aku gak akan nikah lagi"

Amira mengangguk, ia percaya pada Bastian. Dan akan selalu seperti itu.

Bastian meraih tubuh Amira ke dalam pelukannya. Ada kehangatan juga kelegaan disana. Pelukan yang berhasil mengobati rindu di antara mereka. Percaya atau pun tidak.

"Aku sayang kamu, Ra" bisik Bastian sambil menyembunyikan wajahnya dibalik bahu Amira.

"Aku juga, suamiku"

oOo

Tok tok

Ceklek

"Assalamualaikum" ucap Ibu dan Bapak bersamaan.

"Waalaikumsalam" sahut Bastian yang membuka pintu dengan senyuman.

Ibu cukup terkejut. Sungguh, melihat Bastian berada di rumah dan menyambut kedatangan mereka.

"Masuk, Bu, Pak" ujar Bastian sehabis mengecup punggung tangan kedua orangtua barunya tersebut.

Berjalan memandu Ibu dan Bapak menuju meja makan besar di belakang. Sudah ada Amira yang menanti sambil memasang senyumannya yang khas.

"Selamat datang, Bapak" Amira bangkit dan memeluk Bapak erat. Rindu sekali ia dengan Bapaknya ini.

Bapak balas memeluk Amira, "rindu, Bapak, nak" bisik Bapak sambil mengecup puncak kepala Amira.

"Bapak gimana kabarnya? Pesantren gimana? Rumia pa kabar?" Kata Amira sembari mempersilahkan Bapak untuk duduk.

"Alhamdulillah. Pesantren semakin baik, Ra. Banyak Hafidz dan Hafidzhah. Rumia pun baik, dia baru saja melahirkan minggu lalu "

Ibu dan Amira seketika saling bertukar pandang. Bukan salah Bapak karena menyinggung masalah melahirkan, toh Bapak tidak tahu. Bastian? Lelaki itu terlihat santai dan terus menyimak Bapak dengan senyumannya. Seolah tidak ada yang salah dengan ucapan Bapak.

"Terus anaknya perempuan atau laki-laki, Pak? Kita harus jenguk, kan Ra? Temanmu, temanku juga" kata Bastian terlihat antusias.

Amira, ia kebingungan menyikapinya. Ibu yang seolah paham dengan situasi yang tengah terjadi saat ini, menjawab pertanyaan Bastian.

"Perempuan, Aisyah namanya. Ibu juga belum sempet jenguk. Selama di kampung, Ibu sibuk ngurus pesantren. Bapak, semenjak operasi kanker yang terakhir, Bapak gak bisa banyak ambil peran di Pesantren. Bapak pun mulai nge-rekrut anak-anak didiknya untuk dijadikan penggantinya."

"Seandainya Bastian gak terikat pekerjaan dan perusahaan, akan dengan senang hati Bastian bantu Bapak, disana"

Bapak tersenyum, "anak kalian bisa nanti bantu Kakeknya" gurau Bapak yang tidak mengundang tawa seorangpun.

Amira menunduk, menelan rasa sedih dan kecewanya bersamaan.

"Boleh" kata Bastian sambil tertawa renyah.

oOo

Dari belakang, Amira bisa melihat betapa lebarnya punggung Bastian. Lelaki itu kini tengah terduduk di bangku taman, persis di belakang rumah. Sudah sangat larut dan Amira malah mendapati lelaki itu menyendiri seperti ini.

"Bas" panggilan lembut dari Amira membuat Bastian menoleh, lelaki itu tersenyum begitu menawan, menggeser tubuhnya sambil menepuk lahan kosong disisi kirinya, mengajak Amira untuk bergabung dengannya.

Amira mengangguk dan menurutinya. Ia menyelipkan tangannya dibalik lengan Bastian, menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu. Nyaman sekali.

"Adil menurut kamu gimana, Ra?" Ucap Bastian tiba-tiba.

"Eh?" Amira mendangak, menatap wajah Bastian yang juga kini sedang menatapnya.

"Adil? Gak ada alat ukur yang bisa memastikannya."

"Lebih baik aku menceraikan kamu, Ra. Daripada harus berlaku adil, aku gak akan bisa"

Amira melepaskan tangannya, menatap Bastian dengan tanda tanya besar.

"Ayah belum siuman sampe sekarang, Ra"

Amira terkejut begitu melihat kedua bola mata Bastian yang memerah, menatapnya seolah lelaki itu tengah berbuat salah padanya.

Amira menarik tubuh Bastian dan memeluknya erat. Pelukan yang membuat tangis Bastian pecah. Lelaki itu balas memeluk Amira sambil menangis sesegukan.

"Menikahlah lagi, Bas, kalau itu memang harus kamu lakukan."

Bastian melepaskan pelukan Amira dengan kasar, menatap wanitanya tidak percaya.

Bastian menggeleng dengan kuat, tersenyum sinis dengan buliran air matanya yang kian memadat, "gak"

Bastian bangkit dan meninggalkan Amira begitu saja. Rasanya ia benci untuk berbagi atau dibagi. Ia benci menyakiti siapapun. Termsuk pasangan hidupnya.

Berkas CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang