Bagian delapan

10.3K 1.2K 80
                                    

.


.


18.15 kst

Aku membenahi semua barangku dan bersiap untuk pulang. Setelah mengambil sedikit waktu untuk lembur, akhirnya aku sudahi saja setelah melihat jam yang bertengger di mejaku. Harusnya pulang pukul 5, tapi aku lembur satu jam karena pekerjaan yang menumpuk.

Sempat aku mengeluh dalam diam karena di hari ke duaku sudah di sibukkan dengan banyaknya pekerjaan darinya. Lantas selama ini, apakah dia tidak mempunyai sekretaris yang membantu pekerjaannya? Siapa yang membantunya menyelesaikan pekerjaannya?

Kuregangkan tubuhku di kursi. Memijit belakang leherku karena lelah. Malas sekali rasanya harus pulang dan bertemu dengan Jimin. Masih ada luka yang aku rasakan. Tidak begitu saja hilang walau terjadi kemarin.

"Kau tidak pulang?" suara Sajangnim membuatku tersentak. Aku melupakan sejenak kehadirannya di ruangan ini.

"Iya, sebentar lagi. Anda tidak pulang?" jawabku kembali memberikan pertanyaan.

"Tidak. Aku masih ingin di sini."

Dahiku berkerut heran,"Apakah masih ada pekerjaan yang harus anda selesaikan? Saya bisa membantu kalau anda membutuhkan bantuan saya."

Mata tajam yang sedari tadi menatap laptop, beralih melihatku."Tidak perlu. Kau bisa pulang sekarang."

Nadanya kaku. Raut wajahnya dingin. Sama sekali tidak menunjukkan emosi di ekspresinya.

"Baiklah kalau begitu. Saya permisi dulu. Selamat malam, Sajangnim."

"Hem."

Aku berjalan pergi meninggalkannya setelah meraih tas yang berada di meja. Sampai akhirnya aku di depan lift, menunggu lumayan lama dan berniat menghidupkan ponsel yang sengaja aku matikan seharian ini. Tapi ada yang aneh, ponsel yang aku yakini berada di dalam tas, kini tidak ada. Padahal aku yakin selalu memasukkannya ke dalam tas. Apa aku lupa memasukkannya ke tas sebelum pulang tadi?

"Sial. Dimana ponselku?" Tanpa menunggu lama, aku berjalan kembali ke ruangan. Merasa yakin kalau ponselku pasti ketinggalan di meja kerja.

"Permisi. Sajangnim, ini saya," Aku mengetuk pintu yang terlihat estetik itu sebelum masuk, takut jika kedatanganku akan kembali mengganggunya.

"Sajangnim?" Panggilku berkali-kali, namun tidak ada jawaban yang aku dengar dari dalam.

Dengan ragu dan takut, aku membuka saja pintu itu setelah menengokkan kepalaku terlebih dulu. Seketika itu aku tau kalau pria itu kini menunduk meletakkan kepalanya di atas meja. Botol wine yang aku yakini mempunyai kadar lebih dari 40 % ku lihat tinggal separuh.

"Gila. Orang ini mau mati atau bagaimana? Perasaan aku pergi cuma sebentar, Dia sudah minum sebanyak ini?" 

Aku hanya berani membatin dan memberanikan kaki ini untuk melangkah perlahan mendekatinya."Sajangnim? Maaf, saya kembali. Ponsel saya ketinggalan."

Namun dia tidak bergeming sama sekali.

"Sajangnim?" panggilku lagi. Tubuhnya mulai bereaksi. Dia mulai bergerak gusar. Lalu kepalanya menengadah melihatku.

Aku membulat terkejut dengan penampilannya. Matanya merah, bengkak seperti orang yang baru saja menangis. Rambut pirangnya awut-awutan. Dia menatapku dalam diam, sedangkan aku hanya membeku takut.

"Kenapa kau kembali?" tanyanya berusaha mengembalikan kesadarannya. Dari nadanya, dia sungguh sedang mabuk.

"Sial! Dia mabuk. Apa aku kabur saja ya?" 

SAJANGNIM || BTS-Min Yoongi|| ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang