Bagian empat

15.7K 1.2K 105
                                    


.

.

Aku mengikuti langkahnya masuk ke dalam kamar kami yang berada di lantai dua. Dia membuang jas luarnya, melonggarkan dasinya dan ambruk begitu saja di ranjang. Dia terlihat lelah, memijit pelipisnya sendiri. Aku perlahan mendekatinya, duduk di sebelahnya dan meraih tangannya.

"Apa yang terjadi? Kau bisa menceritakan apapun padaku."

Layaknya seorang istri yang baik, aku mencoba untuk menenangkannya. Tapi tidak ku sangka dia menepis tanganku dengan kasar. Sebenarnya, apa salahku?

Jimin bangun dari tidurnya, duduk dan menatapku dengan tajam."Hari ini aku sangat kesal pada teman kantorku. Terlebih lagi dengan Namjoon. Kenapa dia harus membahas anak di depanku? Dia bahkan sudah menghinaku. Mereka terus saja menertawakan aku. Mereka mengira aku tidak bisa menghamilimu."

Dari nada bicaranya yang bervolume, aku tahu dia tengah kesal. Dia marah.

Aku kembali meraih tangannya, mencoba menenangkannya sekali lagi. Aku mengerti kemarahannya, sudah pasti dia tersinggung, hatinya pasti sakit.

"Sayang ,Tolong dengarkan aku. Jangan pernah kau hiraukan apa yang mereka katakan. Mereka tidak tahu apa-apa tentang keadaan kita yang sebenarnya. Mereka_"

Jimin memotong ucapanku dengan cepat,"Ini semua salahmu! Sudah berapa tahun kita menikah? Kenapa kau tidak hamil-hamil juga? Binatang saja bisa hamil dengan mudah, kau yang manusia ini kenapa kalah dengan mereka, hah!? Apa aku harus menikah lagi untuk mendapatkan seorang anak? Apa itu yang kau mau?!" bentaknya lagi-lagi menepiskan tanganku.

Deg!

Seketika air mataku berlinang namun segera ku hapus dengan terburu-buru. Hatiku perih, sakit bagaikan baru saja mendapatkan luka sayatan.

Selalu saja, selalu saja masalah ini yang menjadi bahan perdebatan kami. Aku lelah, Aku muak. Aku benci jika dia menyinggung tentang anak denganku. Memangnya aku ingin seperti ini? Aku juga tidak ingin kesepian setiap hari. Aku juga iri jika melihat wanita lain. Dia seakan yang paling menderita. Padahal aku jauh lebih menderita di banding dia.

Ku genggam kembali tangannya, menahan luka yang terlanjur lara. Iya, menahannya untuk kesekian kalinya.

"Sayang, jangan bicara seperti itu. Suatu saat kita pasti akan mendapatkannya. Jangan mendengarkan apa yang dikatakan temanmu. Bersabarlah sedikit lagi."

Tidak ada yang bisa aku lakukan selain kembali menenangkannya. Untuknya, aku bisa menahan air mataku. Aku bisa tersenyum walau terlihat getir. Semua untuk satu tujuan, jangan sampai dia melihat kelemahanku. Aku tidak mau dia melihat kesedihanku. Aku ingin dia melihat senyumanku saja, walau itu kupaksakan.

Semua penjelasanku sepertinya tidak membuatnya membaik. Dia malah semakin menatap tajam padaku.

"Sampai kapan aku harus bersabar?! Sampai kapan aku harus menunggu hal yang tidak pasti ada? Sampai umurku 50 tahun? Atau 70 tahun? Kenapa kau tidak seperti wanita lain pada umumnya? Menikah lalu memiliki anak. Kau memang wanita yang tidak berguna, Hyerim," tegasnya memalingkan wajahnya di akhir kalimat.

Deg!

Lagi-lagi dia menyakiti perasaanku dengan kata-katanya yang kasar. Air mataku bahkan sudah berlinang."Apa kau baru saja mengatakan kalau aku tidak berguna, Oppa? Apakah kau sadar kalau kau baru saja menyakiti hatiku?"

SAJANGNIM || BTS-Min Yoongi|| ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang