Perasaan seperti apa ini? Luna tersenyum sendiri tanpa bisa mengerti apa yang membuat sudut bibirnya terangkat ke atas. Senang tentu saja, lihat kaki-kaki kecilnya berlari tanpa henti berkejar-kejaran dengan riak air di tepi pantai. Tanpa lelah, berlari menjauh jika ombak kecil datang, berlari sedikit ke tengah jika ombak menjauh, tertawa sendiri ketika sang air berhasil menyenjebaknya dan sesekali membuat bocah itu terjengkang jatuh. Semakin sering dia jatuh semakin lantang dia tertawa, tak peduli badannya telah lengket oleh air garam, rambut panjangnya berlumuran pasir. Tak ada yang bisa menghentikannya, raganya seperti dipasangi baterai yang tak akan habis-habis sebelum matahari terbenam. Matahari terbenam? Benar, Luna suka warna itu, semburat jingga di langit tatkala matahari mulai menukik turun, bernama senja.
"Luna....!" Suara lembut itu memaksa Luna menoleh, menghentikan sekejap kegiatannya bermain air. Luna menemukan bocah sebayanya tengah berdiri tak jauh darinya. Luna tersenyum, lalu melambai-lambai girang ke arah bocah itu, mengajaknya bergabung bermain air.
" Luna sini aja!!, aku demam soalnya, dilarang ibu bermain air!" anak perempuan itu tak beranjak, terpaku , sesekali merapatkan jaket membungkus tubuh kurusnya yang kedinginan, lalu melanjutkan kalimatnya melihat ekspresi dahi Luna yang mengkerut bertanya. "Iya, seharusnya aku tidur di kamar, tapi aku sudah janji bertemu Luna disini, jadi aku kabur sebentar!!" anak itu meringis melihat ekspresi Luna yang galak tanda protes. "Iya-iya, aku salah tidak pamit ibu" katanya lagi tak pernah keliru menerjemahkan ekspresi wajah Luna, baik kesal,senang, bosan, protes atau marah sekalipun bocah perempuan itu bisa mengerti dengan baik. Dia dan Luna bahkan bisa tertawa atau tersenyum bersama walau tanpa berkata apapun, hanya saling memandang. Entahlah dia sendiri tak mengerti, seperti sama tak mengertinya ketika dia berlari mengendap- endap keluar kamar demi menemui Luna, padahal suhu tubuhnya meninggi. Dia hanya tahu, Luna menunggunya dan dia tak ingin Luna sendiri terlalu lama.
"Sebentar, Luna mau lihat senja dari tepi sini, sebentaaaaaar lagi..." Luna bersikukuh tak mau menepi ke pasir kering, kaki kecilnya perlahan berjalan ke tengah.
"Liat disini saja Luna, jangan ke terlalu ke tengah?" bocah itu berteriak khawatir, meminta Luna berhenti berjalan, karena tahu sahabatnya itu tidak bias berenang sepertinya. Tanpa sadar juga kakinya berlari kecil mendekati air, mendekati Luna.
Luna nyengir, menunjuk-nunjuk pelampung yang melingkar di tubuh kecilnya. Diangkat jempolnya ke atas sebagai tanda dia baik-baik saja . Luna berjalan sedikit menjauh dari bibir pantai menanti senja dalam balutan ombak yang akan mengguyur tubuhnya perlahan. Menikmati warna langit petang dalam keindahan laut yang seakan tak berbatas. Namun dugaan Luna ternyata keliru, kala sedang takzim menatap ke langit senja, ombak itu datang, menggulung cepat dan besar, melahap Luna dan menyeretnya begitu kuat. Luna meronta mencoba meraih sesuatu yang seperti uluran tangan bocah kecil tadi, tapi sia-sia, jebakan ombak kali ini tak bisa tak lagi membuat tawanya lantang, menyeretnya jauh ke dalam kegelapan dan sunyi, samar-samar suara bocah perempuan itu memudar berteriak histeris memanggilnya. Luna menggiggil dalam setitik sinar yang tersisa dia mengucap sebuah nama. "Senja, senja, senja", lalu sebuah tarikan melemparnya ke dunia nyata. Mata Luna terbuka, dan untuk kesekian kalinya mimpi itu kembali mengusiknya, laut itu, ombak, bocah perempuan kurus, dan senja.
Luna membasuh keringat di dahi, sempoyongan dia berdiri dari tempat tidur, terduduk di kursi sudut kamar. Terdiam ,berusaha mencerna mimpi tadi, semuanya tampak nyata. Latar tepi pantai, riak kecil di pasir putih, bocah cilik itu, dan senja. Luna tak mengerti, siapa senja? Dahinya mengkerut tak paham dengan pertanyaannya sendiri. Luna menggeleng, menghembuskan napas panjang, tatkala semburat jingga itu menghias langit kembali. Dibukanya jendela kamar lebar-lebar membiarkan udara segar manerpa wajahnya yang lembut. Wajah itu terlihat begitu tenang, begitu anggun dengan jilbab merah menutupi kepalanya , namun disana , dibalik wajah ayu itu, tersembunyi sebuah tanda tanya besar yang tidak dimengertinya. Siapa Senja?
***
"Baiklah, meeting kali ini kita cukupkan sekian, terimakasih atas perhatian, partisipasi dan konstribusi rekan-rekan demi berkembang dan meningkatnya perusahaan kita, terimakasih". Luna menutup rapat intern karyawan dan staf sore ini dengan mengucapkan salam.
Semua orang beranjak keluar ruangan sambil tersenyum sopan dan mengangguk kecil ke arah Luna sang jurnalis, manager, sekaligus putri pemilik perusahaan penerbitan ini. Luna terdiam di kursinya membereskan map dan file memasukkannya ke dalam tas kerja, wajahnya terlihat lelah, walau tak menutup sedikitpun raut lembut gadis ini. Ada yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang membuat pekerjaannya tak sebaik sebelumnya, membuat presentasinya hari ini tidak maksimal. Maksimal? Sejak kapan Luna memberi batasan kata itu dalam pekerjaannya. Selama ini bahkan semua yang dilakukannya demi kemajuan perusahaan lebih dari maksimal, Luna bekerja tanpa henti sebagian sisi untuk mengembangkan perusahaannya, dan di sisi lain demi sebuah pembuktian.
Luna mendesah, mendekat ke jendela kaca. Dari luar tampak pemandangan kemacetan ibu kota mulai menggema, membuat Luna semakin malas untuk menyusuri jalanan pulang. Apa ada yang salah? Hatinya tiba-tiba menyeruak bertanya terselip diantara tumpukan penat yang mengudara. Tuhan, apakah hamba salah? Jika hamba ingin semua orang melihat Luna Kirana sembagai pemimpin dan jurnalis yang berprestasi terlepas dari posisi sebagai putri pemilik perusahaan ini?. Semua orang dikantor memang sangat menghormati Luna, tapi lebih dari itu Luna merasa semua ini tidak lebih dari sebuah penghargaan semata. Luna yang sedari kecil selalu dilimpahi kasih sayang, dia bersyukur memiliki orang tua seperti Ayah dan Ibunya. Ayahnya yang sibuk tak pernah lupa mengucapkan selamat malam, tak henti menuruti semua keinginannya, selalu penuh cinta terhadap keluarga. Ibu Luna adalah wanita sangat baik, lembut dan ramah, dan jelas sudah dari siapa sifat Luna ini berasal. Bahkan beliau rela berhenti berkarir setelah Luna lahir. Selalu ada ibu, ketika Luna menoleh, saat Luna mengalami kesulitan, atau dia membutuhkan sesuatu. Semua itu terlihat wajar seharusnya, namun tidak untuk Luna, baginya semua ini berlebihan.
Untuk kesekian kalinya Luna tersadar dari lamunannya, dan kali ini oleh dering handphone miliknya. "Walaikum salam, iya mam...ini Luna masih di kantor, sebentar lagi Luna pulang. Iya, Luna tahu tidak boleh mampir ke pantai lagi, iya...assalamualaikum". Dan pembicaraan itu berakhir. Lagi, bayangan mimpinya melesat nyata di depan mata, pantai sore hari, ombak bergulung, anak kecil kurus itu, mama yang selalu melarangnya ke pantai. Ada apa dengan semua ini? Tuhan! jika Engkau ijinkan, beri hamba jawaban. Doa Luna berpilin ke langit, dan Tuhan berbaik hati untuk mengabulkannya kelak. Sebentar lagi
KAMU SEDANG MEMBACA
LUNA di LANGIT SENJA
Teen FictionEhm bagaimana kalau kita bertiga berjanji?" Luna memberi ide, membuat dahi Senja mengkerut bertanya, Langit diam berfikir tentang judul profesi yang lain. "Iya...minggu depan Luna berusia 10 tahun , nanti 16 tahun ke depan, disini, pada tanggal ya...