Part 2

140 45 24
                                    

"Pagi Bunda." Ara menghampiri Rahma, sang Bunda kemudian mengecup kedua pipinya. Cengiran polos dan wajah sumringah Ara tak pernah absen menyambut pagi. Rahma tersenyum bahagia melihat wajah cantik nan polos anaknya.

"Pagi juga sayang. Ayo, sekarang kita sarapan." Rahma Ayudia adalah seorang single parent. Ia tak pernah memikirkan hal lain kecuali kebahagiaan anak semata wayangnya, Ara. Sejak kejadian kelam beberapa tahun silam, ia tak pernah membiarkan Ara sendirian. Tak masalah jika semua orang berkata ia terlalu memanjakan anaknya. Karena pada dasarnya, tak ada orang tua yang tega melihat sang anak hancur untuk kedua kalinya.

"Bunda, hari ini Ara latihan sampe sore. Bunda ngga usah jemput, nanti Ara pulang bareng Manda aja."

"Oke, hati-hati latihannya. Jangan lupa pake chest guard, Bunda ngga mau kamu cidera. Bunda bisa kena serangan jantung kalo itu benar-benar terjadi."

Ara menghela nafas tertahan, sembari memejamkan matanya. Seketika kejadian kelam itu merambat mencapai ingatannya, mengisi ruang kosong dan menghantam dinding hati Ara. Gadis itu kembali membuka mata perlahan, Ketika ia berhasil mengendalikan dirinya lagi. Seulas senyum tulus menghiasi wajahnya.

"Bunda tenang aja, Ara bisa jaga diri kok. Bunda percaya kan sama Ara? " Sorot mata teduh Ara begitu menenangkan, membuat Rahma menghela nafas perlahan.

"Bunda percaya sama kamu, jangan kecewain Bunda ya!" Ara menganggukkan kepalanya dengan semangat.

"Yaudah sekarang kita berangkat ke sekolah, biar Bunda anter. Ngga ada penolakan!"

"Oke Bunda, let's go"

~♡~

Ara berjalan sendirian di koridor sekolah, suasana terlihat sepi karena jam pelajaran sedang berlangsung. Bu Anike, guru Bahasa Indonesia dengan badan agak berisi memerintahkan Ara untuk mengambil buku absensinya yang tertinggal di kantor. Ia beralasan tak sanggup naik-turun tangga, dikarenakan kelas Ara yang terletak di lantai 3 gedung B, sedangkan kantor guru di lantai 1 gedung A.

Ara merasa ada yang mengikuti langkahnya dari belakang. Ia ingin berbalik untuk memastikan sesuatu di balik tubuhnya, namun ia terlalu takut untuk melakukan hal itu. Bahkan sedari tadipun Ara terus saja membaca surat-surat pendek Al-Qur'an yang ia hafal.

Dengan bermodalkan keberanian seadanya, ia memutar tubuhnya perlahan sembari memejamkan mata. Aroma parfum maskulin menyeruak, menggelitik rongga hidungnya. Ara membuka matanya perlahan ketika tubuhnya membentur sesuatu yang terasa asing, sesuatu yang bidang namun ketika di sentuh tidak keras.

"Sejak kapan tembok sekolah jadi lembek begini?" Ara berujar dengan wajah polos sembari menusuk-nusuk 'sesuatu' itu dengan jari telunjuknya.

"Ehmm." Deheman itu menyadarkan Ara jika sedari tadi yang ia sentuh bukanlah tembok sekolah. Ara mendongakkan kepala, matanya melebar ketika melihat sepasang manik berwarna coklat menatapnya dingin.

"Anterin gue ke ruang kepala sekolah." Ucapnya dengan nada yang terkesan dingin.

"Oh, oke." Ara menjawab dengan kikuk. Baru kali ini ia melihat ada orang yang wajahnya datar, persis seperti tembok sekolahnya.

"Ruang kepala sekolahnya ada di depan. Udah kan? Duluan ya." Ara ingin segera pergi, ia tak tahan dengan aura dingin yang menyergap tubuhnya. Namun, langkahnya terhenti ketika lengannya di cekal dari belakang.

Devan menghampiri Ara dan membaca name tag nya.

Caramel Aresya Shazein.

"Dasar cowo mesum, liatin apaan dari tadi? Matanya di jaga dong biar ngga nakal! Apa perlu Ara panggilin pak satpam buat jagain matanya?" Ara bersikap was-was sembari menutupi dadanya dengan tangan. Seulas senyum kecil terbit di wajah Devan.

"Gue cuma mau liat nama lo." Seketika wajah Ara memerah menahan malu.

"Btw thank you Caramel."

"Ara, panggil aja Ara."

"Oke, thank you Ara."

"Iya, sama-sama."














Ket :
Chest guard = Pelindung dada pada olahraga panahan
















Terimakasi buat kalian yang udah nyempetin waktu baca cerita aku. Vote dan komen kalian sangat berarti buat aku.

29082018

CaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang