Part 8

85 16 4
                                    

Pagi-pagi sekali Devan sudah rapih dengan seragam sekolah di balut dengan jaket bomber merah maroon yang menambah tingkat ketampannya berkali-kali lipat. Sesuai dengan janjinya kemarin, ia akan menjemput Ara pagi ini. Tak sabar rasanya bertemu sang pujaan hati.

Hanya Ara yang mampu membuat Devan bangun pagi-pagi sekali dan meneliti penampilannya hingga berkali-kali. Ia harus tampil sebaik mungkin di depan 'calon mertuanya'.

Ini baru jam 6 pagi, tetapi Devan sudah berdiri di depan pintu rumah Ara. Ada 'sedikit' rasa gugup kala ia menggerakkan kepalan tangannya untuk mengetuk pintu rumah Ara.

Tok
Tok
Tok

Terdengar suara pintu di buka dan muncul seorang wanita paruh baya dengan apron yang membalut tubuhnya.

"Kamu temennya Ara ya? Tapi ko seragamnya agak beda?" Suara Rahma terdengar lembut, cocok dengan wajahnya yang keibuan.

"Nama saya Devan Tante, saya pacarnya Ara. Saya siswa pindahan dari Bandung, jadi baju seragam saya agak beda dari yang lain."

Rahma terperangah, ternyata anaknya sudah beranjak dewasa. Sudah mengerti apa itu rasa suka, Rahma tersenyum mendapati hal seperti itu.

Jika di lihat-lihat, wajah Devan cukup tampan untuk anak seusianya. Dari wajahnya Rahma bisa melihat, Devan adalah anak yang baik, sopan, dan bertanggung jawab.

"Kamu mau jemput Ara ya? Mari masuk dulu, kita sarapan bareng. "

"Iya tante, terimakasih."

"Iya sama-sama. Oh iya, jangan panggil tante, panggil aja Bunda." Ujar Rahma dengan nada lembut dan seulas senyum tulus yang menghiasi wajahnya.

"Kamu duduk dulu ya, biar Bunda panggilkan Ara sebentar."

Devan mengangguk sebagai jawaban.

Tok
Tok
Tok

"Ara, ayo cepetan keluar sayang. Itu di depan udah ada pacar kamu."

Ara keluar dari kamarnya dengan wajah yang tampak dipoles make up tipis dan di sisi kiri rambutnya ia sematkan pita kecil berwarna merah.

"Tumben dandan, biasanya pake bedak bayi aja males." Tanya sang Bunda dengan nada menggoda.

"A-Ara ngga dandan ko Bun, kayanya tadi Ara ketempelan setan keraton deh, makanya jadi keliatan lebih cantik dari biasanya." Ara menyembunyikan kegugupannya dengan cengiran kaku dan jawaban absurd yang ia paparkan.

Rahma terkikik geli mendengar jawaban Ara. Sifat Ara begitu mirip dengan mendiang suaminya.

"Yaudah sekarang kita turun, kasihan pacar kamu udah nunggu dari tadi."

Wajah Ara bersemu merah kala sang Bunda menyebut Devan sebagai 'pacarnya'.

Setelah acara sarapan bersama mendadak dengan Ara dan Bundanya, kini Devan dan Ara berada di dalam mobil yang melaju meninggalkan pekarangan rumah Ara.

Flashback on

Baik Devan maupun Ara makan dengan keadaan hening. Mereka merasa canggung, Devan hanya memandang Ara dengan diam. Ia merasa pagi ini Ara terlihat lebih cantik dari biasanya, Ara yang merasa di perhatikan hanya mampu menyembunyikan kegugupannya dengan meminum air putih terus menerus hingga perutnya terasa penuh.

Devan hanya berbicara ketika Rahma mengajukan pertanyaan. Dan bersyukurnya Devan, pertanyaan yang diajukan Rahma hanya seputar tempat tinggal dan sekolah lamanya. Devan khawatir jika Rahma menanyakan soal keluarganya, ia tak menjamin Rahma akan membiarkan Ara menjalin hubungan dengannya.

Flashback off

Tak ada percakapan antara mereka, keduanya larut dalam pikirannya masing-masing.

Hingga pada saat lampu merah, Ara mencoba membuka percakapan dengan Devan.

"Devan itu selebgram ya?"

"Emangnya kenapa?" Tanya Devan dengan mata yang masih fokus ke depan.

"Tadi malem yang like sama comment postingannya Devan banyak banget tau, Ara aja ngga pernah sampe sebanyak itu. Mentok-mentok yang like 300, itu aja harus ngebajak akun temen-temen Ara biar bisa nge like postingannya." Devan terkekeh mendengar penuturan Ara.

"Aku ngga pernah ngerasa jadi selebgram." Ara mendengus mendengar jawaban Devan, pacarnya ini terlalu cuek untuk memperhatikan hal-hal di sekitarnya. Sebenarnya ada satu pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Devan, namun ia merasa hal itu tidak terlalu penting.

"Devan..."

"Iya, Kenapa Ra?"

"Sebenernya yang semalem ngatain Ara di Ig itu siapa sih? Ko Ara ngga pernah denger namanya di sekolah?"

"Mereka anak SMA pelita Bandung, sekolah lama aku. Bisa di bilang mereka fans aku, tapi aku ngga pernah ngakuin mereka."

"Ko kayanya mereka ngga suka sama Ara? Padahal Ara aja belum pernah ketemu sama mereka."

"Ngga usah dipikirin, ngga penting."

Setelah percakapan singkat itu, keadaan menjadi hening. Hingga tak terasa mereka telah sampai di parkiran sekolah.

Devan menggenggam erat tangan Ara, sepanjang koridor sekolah. Tak sedikit pasang mata yang melihat mereka, ada yang terkesan cuek atau biasa saja, ada juga yang berbisik-bisik dengan temannya. Devan tak perduli, ia hanya ingin menunjukkan bahwa sekarang Ara adalah miliknya. Berbeda dengan Ara, wajahnya merah padam bagai tersengat sinar matahari. Ia malu, bahkan sangat malu. Baru kali ini seorang Ara merasakan 'malu' dalam hidupnya.

"Devan, ngga usah pegangan tangan ya? Ara malu, banyak yang liatin kita dari tadi."

Tanpa berkata apapun, Devan memasukkan genggaman tangannya dan Ara ke dalam saku jaket yang ia kenakan.

"Ngga usah malu, sekarang udah ngga keliatan orang lagi kan?"

Ara tampak geram dengan sifat Devan yang sangat cuek. Tidakkah ia merasa malu sedikit saja saat diperhatikan oleh orang sebanyak itu.

Ketika sampai di depan kelas, Devan memberikan Ara sedikit wejangan dan mengacak halus rambutnya.

"Jangan tidur di kelas, jangan kebanyakan bengong, belajar yang bener biar anak-anak kita bisa pinter."

Kalimat terakhir yang Devan ucapkan mampu membuat Ara salah tingkah, tanpa sadar Ara mencengkeram jaket Devan sangat kuat hingga membuat resleting jaket Devan hampir rusak. Devan terkekeh melihat tingkah lucu Ara.

Gimana mau belajar yang bener kalo kata-kata terakhir Devan bikin Ara salah fokus, batin Ara.











Terimakasi buat kalian yang udah waktu baca cerita aku. Vote dan komen kalian sangat berarti buat aku.

09102018

CaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang