Part 10

87 8 1
                                    

Devan menyandarkan badannya pada dinding depan kelas Ara. Satu kakinya ia tempelkan pada tembok, satu lagi ia gunakan sebagai tumpuan penopang tubuhnya. Kedua tangannya menari di atas handphone.

Sudah hampir setengah jam Devan menunggu Ara yang kedapatan piket hari ini. Sebenarnya Ara tidak piket sendirian, tetapi teman-temannya yang lain meninggalkan Ara dengan berbagai alasan. Biasanya ada Lifia yang membantu Ara, tetapi Lifia izin pulang saat jam pelajaran olahraga selesai.

"Maaf ya Devan, nunggunya kelamaan." Devan tersentak dan menegakkan tubuhnya saat mendengar suara Ara.

"Iya ngga apa-apa. Mau langsung pulang atau jalan-jalan dulu?" Tanya Devan sambil memasukkan handphonenya ke dalam saku celana.

"Langsung pulang aja deh."

Devan hanya menganggukkan kepalanya tanda ia mengerti. Mereka berjalan berdampingan ke arah parkiran sekolah. Sepanjang koridor terlihat sepi, hanya ada beberapa siswa yang kedapatan piket seperti Ara tadi.

"Oh iya, besok Devan ngga usah nungguin Ara pulang, soalnya Ara mau latihan Memanah."

"Emang kenapa?"

"Takut Devan nungguinnya kelamaan. Lagian biasanya Ara pulang bareng Lifi kalo lagi ada jadwal latihan."

"Aku seneng nungguin kamu. Lagipula Lifi ngga mungkin masuk besok, kata kamu dia lagi ke Bali karena kakeknya meninggal?"

Ara baru ingat jika Lifi tidak mungkin hadir ke sekolah esok hari. Tetapi Ara tidak mungkin membiarkan Devan menunggunya lagi seperti tadi. Ara merasa tidak enak hati kepada Devan. Devan memang pacarnya, tetapi Devan bukan supir pribadinya yang harus siap menjemput dan mengantarkan Ara pulang kerumah dengan selamat.

"Ara bisa pesen ojek online, Ara ngga mau ngerepotin Devan. Lagipula rumah kita kan ngga searah."

"Kenapa harus naik ojek online kalo masih ada aku? Tukang ojeknya juga rumahnya belum tentu searah sama kamu, jadi sama aja kan?"

"Ya beda lah, kalo naik ojek kan Ara bayar jasa dia pake uang. Kalo sama Devan kan Ara gratis."

"Yaudah bayar akunya pake cinta kamu aja," Devan berujar sambil mengerlingkan matanya kepada Ara.

"Apasih Devan gombalin Ara mulu," ujar Ara sambil menutupi wajahnya. Devan menggenggam tangan Ara yang di gunakan untuk menutupi wajahnya.

"Jangan di tutupin, nanti cantiknya ngga keliatan."

"Untung hati Ara yang bikin Tuhan, jadi kalo meleleh masih bisa balik lagi kaya semula. Coba kalo bikinan China..." ucapan Ara menggantung saat ia sampai di parkiran dan melihat Devan mengeluarkan kunci mobilnya.

"Devan bawa mobil lagi? Kan sekarang ngga hujan."

"Emang ada larangan kalo ngga hujan ngga boleh pake mobil?"

"Ya ngga ada sih. Tapikan Devan masih pelajar, kenapa ngga bawa motor aja? Atau jangan-jangan Devan ngga bisa bawa motor?!"

"Aku bisa bawa motor, tapi males aja kalo lagi musim hujan gini, jalanannya becek."

"Oh, gitu."

"Ayo buruan masuk, jadi pulang ngga?" Devan membukakan pintu penumpang untuk Ara.

"Iya, jadi."

~~~~~~~~~~~♡♡♡♡♡♡~~~~~~~~~~~

"Devan mau mampir dulu?"

"Ngga usah, aku langsung pulang aja."

"Yaudah hati-hati di jalan ya."

"Iya. Yaudah sana kamu masuk dulu, nanti aku baru pergi."

Ara menghilang di balik gerbang rumahnya, barulah devan melaju bersama mobilnya.

Devan melajukan mobilnya dengan kecepatan standart. Ia melewati deretan gedung-gedung pencakar langit dan menikmati kemacetan yang terjadi di ibukota Jakarta. Mobilnya terus melaju hingga ia memasuki daerah yang lebih asri. Tak ada polusi, hanya ada pepohonan yang menjulang tinggi.

Sampailah ia di sebuah gedung yang masih terawat hingga sekarang. Gedung yang selama 3 tahun belakangan ini selalu ia kunjungi.

Devan menyusuri lorong-lorong dengan langkah santai. Satu tangannya menggenggam sebucket mawar putih. Beberapa pekerja yang menggunakan seragam putih menyapanya dengan ramah. Ya, Devan sedang berada di Rumah Sakit.

Devan masuk ke dalam ruangan khusus. Terlihat seorang wanita paruh baya tertidur dengan tenang. Banyak alat-alat penunjang kehidupan yang menempel di tubuhnya.

Wajahnya begitu pucat, tetapi tidak mengurangi kadar kecantikannya. Wanita itu masih sama seperti 3 tahun lalu, tak ada peubahan yang signifikan.

"Ma, Devan dateng lagi. Devan bawa bunga mawar kesukaan mama, soalnya bunga yang waktu itu Devan bawain udah layu."

"Mama kapan bangun? Apa mama ngga kangen liat Devan?"

"Apa Devan harus bandel lagi kaya dulu? Biar mama bisa bangun terus marah-marah sama Devan lagi?"

"Kata mama kalo anak yang nurut sama orang tuanya, nanti doanya bakal langsung di ijabah sama Allah. Devan udah nurut sama mama, Devan udah ngga suka bolos lagi, Devan udah ngga pernah ikut balapan liar lagi. Tapi kenapa mama belum bangun juga? Tiap malem Devan berdoa buat kesembuhan mama. Devan kangen di peluk sama mama..." Devan menangis di samping brankar, ia menggenggam telapak tangan mamanya dengan hati-hati. Devan tak ingin menyakiti wanita kesayangannya.

Devan pergi ke rumah sakit bukan hanya sekedar menjenguk mamanya, tetapi dia juga mengobati rindu di hatinya.

Semenjak kejadian 3 tahun lalu Devan menutup rapat dirinya. Hanya Ara yang dapat masuk dengan mudah.

Ara, gadis cantik yang begitu polos. Ara, wanita kedua yang dapat meluluhkan Devan setelah mamanya.

"Mama tau? Devan sekarang punya pacar, namanya Ara. Dia cantik, lucu, baik, dan dia sama kaya mama..." Devan menjeda kalimatnya.

"Sama-sama bikin Devan nyaman kalo lagi di deket kalian."

"Mama harus cepet bangun biar bisa ngobrol sama Ara, pasti mama langsung suka sama Ara."

"Devan pulang dulu ya ma? Kalo ada waktu Devan kesini lagi, nanti Devan ajak Ara juga. Cepet sembuh ya ma, Devan sayang mama."



















To be continue

Terimakasi buat kalian yang udah nyempetin waktu buat baca cerita aku. Vote dan komen kalian sangat berarti buat aku.

09122018

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 09, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang