Aku sangat gugup. Tanganku berulang kali ku genggam erat. Menyatukan dua telapak tangan yang sudah basah oleh keringat. Kali pertama aku berada pada situasi yang sangat membuat aku merasa bercampur. Sedih dan bangga lebur menjadi satu rasa yang sangat sulit aku ungkapkan. Hari ini adalah hari dimana aku mengikuti lomba tartil Al-Quran tingkat kabupaten di kotaku. Impian yang aku tanamankan semenjak menginjakkan kaki di pondok pesantern, akhirnya terwujud. Hari ini adalah hari bersejarah dalah hidupku. Tidak pernah lelah rasa syukurku terpancar dalam bait-bait asama kebesaranNya. Ucapan itu tidak pernah berhenti berhembus dari bibir tipisku. Menggantungkan harapan agar apa yang menjadi tujuanku di malam ini berjalan sesuai yang aku harapkan.
Nafas asama yang terucap terus mengaliri aliran nadi yang membuat rasa gugup bisa aku kendalikan. Perlahan nafas itu menuntun raga. Menjadikan energi semangat dan penuh keberanian pada jiwaku. Berani untuk menunjukkan. Aku Muhamad Al Khadafy. Laki-laki kampung yang penuh dengan gunjingan bisa membuat bangga orang tua. Meski tidak seberapa, namun bagiku ini adalah hadiah terindah untuk kedua orang tuaku.
Dialah orang yang selalu tutup telinga dengan bulian halus orang-orang yang tidak pernah berada di pihak kami. Orang yang tidak pernah lelah memberikan kepercayaan padaku. Hari ini, apapun yang aku lakukan, niatku hanya satu. Apapun hasilnya, ibuku berada di depan, aku di tengah dan ayaku berada di belakang. Hasil itu aku gantungkan pada pencipta semesta yang mengatur segalanya di dunia ini.
"Bismillahirohmanirohim"
Langkah pertamaku menginjakkan kaki di atas panggung yang begitu megah. Hiasan indah bercahaya dengan terang. Lampu-lampu berwarna warni menyinari di setiap sudut panggung tersebut. Nuansa islami tidak luput dari dekorasi acara tersebut. Ratusan manusia terlihat bersesakan di depan panggung. Langkahku terus aku ayunkan. Mengingatkaku akan pertama kali aku masuk di sebuah pondok pesantren di kotaku.
****
Lantunan indah bacaan surat Al-baqaroh terus terdengar dari radio usang di samping ayah. Laki-laki setengah baya itu terlihat tenang menyimak detail demi detail bacaan yang terdengar dari radio tersebut. Aku sangat pamiliar dengan suara itu. Dialah Qor'i Muammar. Ketika berada di halaman rumah, suara nyaring dari radio tersebut sangat jelas terdengar. Aku baru saja pulang dari rumah Rohadi. Dialah teman sekolahku sekaligus teman sepermainaku dari sekolah dasar dan kini sudah lulus di Madrasah.
"Sudah kamu pikirkan mau melanjutkan kemana Fy?" Ayah menyambutku dengan pertanyaan yang masih aku cari jawabannya. Besok adalah hari di mana aku menerima pengumuman kelulusan dari Madrsah.
"Masih berunding sama Rohadi,"Jawabku.
"Jangan terlalu bergantung sama orang, coba tanya hati nuranimu. Bila perlu kamu tanya pada Allah." Ayah memberi saran.
"Iya,"Jawabku singkat. Aku bergegas meninggalkan ayah yang masih menikmati indahnya lantunan Al-quran dari radio usangnya. Malam itu adalah acara sekali setahun musabaqah tilawatil Qur'an yang diadaka oleh kabupaten tempatku tinggal.
Aku masuk kamar dan menghempasakan tubuh jangkungku di ranjang yang terbuat dari bambu. Anganku menerawang, memikirkan setelah aku lulus nanti, akan kemana aku melanjutkan sekolahku. Mataku terus mengarah pada langit-langit kamar yang langsung terlihat genteng yang sudah lapuk. Bambu-bambu yang menangkalanya terlihat sudah mulai di hinggapi rayap. Lantunan indah bacaan Qori dan Qoriah bergantian di radio usang itu terdengar samapi di kamarku. Sehingga membuatku larut dalam keindahan sang pencipta dan terbawa berselancar dalam dekapan indah lantunan nyanyian dari bacaan Al-quran.
****
"Aku sudah memutusakan untuk masuk pondok pesantren," Kataku pada kedua ornag tuaku. Hari itu mereka sedang berada di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
Teen FictionKUMPULAN CERPEN "Pesan Dari Surga" "Hiduplah seperti air yang bisa mengisi ruang, menghilangkan haus dan membuat orang bisa bertahan".Sebuah pesan chat yang datang begitu saja. Apa maksud dari pesan chat tersebut?. Pertanyaan itu terus memburu di ke...