"DUN!" panggil Bintang, si cowok berambut keribo dari ujung koridor. Bintang kemudian berlari secepat yang dia bisa. Menuju sahabatnya yang entah sedang melakukan apa dipinggir koridor.
"Paan?" tanya Dunia, si cowok berkacamata yang ternyata sejak tadi sedang memperhatikan mading.
"Anu... Lo, disuru bu Tirex--eh bu Mega maksudnya, anu.... Disuru... Disuru..."
"Disuru apa?" tegas Dunia.
"Disuru bawain buku tulis latihan punya anak IPA 5! Katanya, buruan. Bentar lagi jam masuk, kan." kata Bintang sambil memberikan setumpuk buku kepada Dunia.
"Kenapa gue?" balas Dunia, cuek. Matanya masih belum teralihkan dari mading.
"Ya kan elu piket, begek!. Buruan gih, nanti dia meraung-raung." kata Bintang, cekikikan.
"Oke." kata Dunia lalu mengambil alih beberapa buku yang tadinya dipegang oleh sahabatnya itu.
Dunia kemudian berjalan enteng kelantai dasar. Ia harus ke kelas IPA 5, yang berada dilantai dasar, terdekat dengan kantin.
Kenapa harus IPA 5, sih?
Tak membutuhkan waktu lama, ia sampai didepan kelas yang ditujunya. Seorang gadis berponi dan berkacamata khas anak culun yang sedang menulis entah apa di bangkunya, sedikit menaikkan kepala melihat siapa yang datang. Dunia juga melihat ke arah gadis itu, namun, kemudian kedua pasang mata mereka saling menjauh.
"Arik!" panggil Dunia, kepada teman se-bangsanya yang kebetulan sedang berseliwueran disekitar sana.
"Woy Dun!, ngapa neh?" balas Arik sambil menghampiri Dunia yang masih menggenggam erat setumpuk buku tulis itu.
"Nih. Titipan bu Mega."
"Oh? Oke-oke. Sip." balas Arik sambil mengambil alih buku ditangan Dunia. Dunia tanpa sadar menoleh kearah gadis itu lagi saat Arik mengecek tumpukan buku tulis tadi.
Ya. Cewek itu masih sama. Cewek yang cukup pendiam, culun, namun tetap terlihat manis bagi Dunia. Dunia memperhatikan buku yang sedang ditulisi cewek itu. Bukan buku tugas. Berarti, Diary.
Setidaknya itu yang bisa diduga seorang Dunia.
"Oke. Lengkap, Dun! Thanks, ya." kata Arik sambil meletakkan buku itu diatas meja guru.
"Sip. Gue balik, ya." kata Dunia sambil menepuk pelan sohibnya saat sd dulu itu. Kemudian, ia melangkah keluar.
***
Teruntuk, Dunia.
Memendam perasaan itu, nggak enak, Dun. Bener-bener nggak enak. Memendam perasaan itu berat, ditambah sakit sekaligus.
Memendam perasaan itu, rasanya seperti...
Kamu hanya bisa diam, ketika melihat orang yang begitu kamu sayang sekian lamanya, tertawa keras dengan gadis-gadis lain, sembari memberikan sorot mata bahagia. Sakit.
Sedangkan padaku, menyapa saja, rasanya seperti bicara pada orang asing. Padahal aku yakin, aku bukan orang asing bagimu..
Tiba-tiba saja mata Alina teralihkan. Cowok itu, yang baru saja ia tulis di buku diarynya, tiba-tiba saja muncul di pintu kelasnya. Cowok itu juga memandang kearahnya,
Halah. Mana mungkin.
Alina kembali menulis. Berusaha bersikap bodo amat dengan cowok itu. Alina yakin, cowok itu sedang memberikan titipan Bu Mega, karena memang Bu Mega sempat berjanji akan menitipkannya pada anak kelas sebelah yang sedang piket ketika sudah selesai dikoreksi. Dan sekarang hari jumat, makanya, yang datang kesini Dunia, bukan Rere, ketua kelas IPA 4.
Setelah cowok itu pergi, Alina akhirnya bisa duduk tegak kembali. Entah mengapa, saat ada Dunia, ia menjadi sangat tidak percaya diri. Bahkan duduk tegak saja ia tak berani.
Kita lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia
Teen Fiction"Entah apa yang lo lakuin sekarang dan dimasa depan nanti, gue akhirnya milih nyerah. Nyerah perjuangin lo, kita, dan hubungan yang entah apa ini. Gue. Cuma. Mau. Nyerah." -Alina Semesti. "Lo cuma nggak tahu. Dan gue, cuma butuh waktu yang tepat...