"Aku mau kita putus," kataku pada cowok di sebelahku yang sedang fokus menyetir.
Cahaya matahari yang masuk menembus kaca mobil memperjelas warna matanya yang coklat, bulu matanya yang lentik.
Meski aku sangat menyayanginya, sepertinya ini jalan yang terbaik dari pada terus saling menyakiti.
Dia diam saja seperti biasanya. Aku memang sering mengatakan kata putus tapi dia tidak pernah merespon dan hanya diam. Jadi aku merasa kalau aku tidak memiliki kehendak bebas sendiri. Sedangkan hubungan itu tidak bisa dipaksakan.
Semakin kau genggam, semakin ia ingin bebas. Hubungan yang seharusnya bisa dipertahankan, tapi karena kau tidak memberikan ruang untuknya bernafas, maka ia jadi ingin lepas darimu.
"Pokoknya kali ini kita bener-bener putus."
Ya, sebenarnya kami pernah satu kali putus, tapi putus sepihak dan dia tidak mau putus.
Malam itu, aku sangat takut karena dia sampai menangis dan membenturkan kepalanya di tembok rumahku dengan keras. Sudah pasti itu sakit sekali. Aku sampai ngeri melihatnya. Kalau sampai gagar otak bagaimana? Pokoknya aku nggak mau dia seperti itu karena aku. Kali itu pertama kalinya aku melihat adegan langsung seperti itu di depan mataku, bukan lagi di film.
"Aku nggak tahan lagi bertengkar terus. Siklusnya selalu sama. Habis baikan terus ribut lagi. Sekali aja please kamu iyain. Kamu nggak bisa maksa aku untuk selamanya sama kamu."
Karena tidak berhasil membuatnya menjawab. Akhirnya aku berkata, "Please kamu putusin aku. Aku nggak tahan."
Jujur aku stress dengan hubungan kami. Bukannya seharusnya kami bahagia bersama? Tapi kok ini malah saling menyakiti. Semakin lama kami menjadi orang yang bertambah buruk. Pacaran yang sehat seharusnya membangun ke arah yang positif bukan semakin negatif. Bukan seperti ini.
Aku mulai menangis. Entah kenapa aku sangat emosional akhir-akhir ini. Apa karena PMS atau karena projek kuliahku yang membuatku menghabiskan waktu di kampus dari pagi sampai malam, bahkan tengah malam juga dan masih banyak masalah lainnya.
Selain itu, kami memang tidak cocok karena kami sama-sama orang yang keras.
"Kok diem aja? Jawab dong."
"Iya ya udah."
"Iya apa?"
"Iya kita putus."
Setelah itu hening.
Saat itu aku merasa lega telah putus dengannya. Aku merasa beban di dadaku terangkat.
Aku masuk ke dalam rumah. Ini hari sabtu dan siang-siang begini aku sudah pulang di rumah. Padahal biasanya kami bakal pergi sampai malam.
Aku memutuskan untuk tidur siang karena aku sudah lama tidak tidur siang. Tapi yang ada aku gelisah dan tidur dalam keadaan jantung yang berdebar-debar seperti habis minum kafein. Rasanya nggak enak banget.
Setelah bangun tidur, aku mengecek hpku dan tidak ada tanda-tanda dari dia.
Aku mulai merasa kesepian dan sendiri padahal baru beberapa jam, tapi aku tidak mau menceritakannya pada siapa pun dulu karena aku masih belum yakin dengan diriku sendiri. Perasaanku benar-benar kacau. Aku merasa jahat. Tapi kalau aku jahat, berarti bagus dong dia bisa dapat cewek yang lebih baik dari aku.
Malamnya, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Aku merasa gelisah. Akhirnya aku memutuskan untuk menelponnya berencana untuk meminta maaf dan ingin tahu apa kondisinya baik-baik saja setelah kami putus.
Dari suaranya terdengar biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa. Malah aku yang mulai merasa sedih karena saat mendengar suaranya, aku sadar perasaanku terhadapnya tidak berkurang sedikitpun sejak awal kami pacaran.
YOU ARE READING
Pergi Tuk Melepaskan (based on true story)
Teen FictionDulu kukira dia akan menjadi masa depanku. Tapi dalam sekejap semuanya berubah. Akibat terlalu sering bertemu, kami jadi malah sering bertengkar dan akhirnya kami putus meski masih saling mencintai. Terlalu banyak bayang-bayang tentang dia yang memb...