Part 4 (Playlist)

86 5 0
                                    

Sepanjang pelajaran, aku hanya bisa melamun. Tidak ada satupun materi yang bisa kucerna. Mataku terasa berat karena kebanyakan menangis kemarin malam, belum lagi jam tidurku yang kurang.

Baru kali ini aku tidak mendengarkan dosen favoritku mengajar hari ini. Biasanya aku sangat tertarik mendengar penejelasannya mengenai kehidupan manusia. Mengenai kenapa manusia mempercayai agama mereka. Kemana manusia setelah mereka meninggal. Dan masih banyak hal yang menarik yang sering dipertanyakan di kepala manusia.

Aku pun membuka handphoneku di bawah meja. Padahal aku duduk di depan, tapi ya sudah lah.

Bodohnya. Kemarin aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menghubungi Gavan lagi. Tapi sekarang jariku malah mulai mengetik sesuatu.

Aku mengajaknya ketemu hari ini karena kemarin dia tidak bisa. Aku seperti kehilangan akal sehatku. Pesan yang kukirim belum tercentang dua, tandanya pesanku belum sampai padanya. Aku pun ijin ke toilet untuk menelponnya, tapi tidak diangkat-angkat. Aku mulai gelisah kenapa dia tidak mengangkatnya. Apa dia benar-benar sudah tidak ingin bertemu denganku lagi. Pikiran negatif mulai memenuhi kepalaku.

Karena sudah terlanjur malu-maluin menghubungi dia duluan, jadi sekalian saja kulanjutkan.

Berkali-kali kutelpon tetap tidak diangkat, akhirnya aku menyerah dan kembali masuk ke dalam kelas.

Ketika aku melamun, pikiranku kembali memikirkan dia. Dan aku mulai merasa sedih lagi mengingat bagaimana dia memperlakukanku kemarin.

Dari pada melamun, aku pun memutuskan menceritakan pada Andi yang duduk di sebelahku. Kemarin aku sempat menelpon teman-temanku, salah satunya dia si Andi ini. Tapi dia belum kuberitahu kenapa aku putus dan kelanjutannya karena aku memang belum sempat cerita, kecuali pada Gio dan Hans kemarin.

"Masa sih dia kayak gitu?" tanya Andi tidak percaya.

Aku mengangguk dengan mata berkaca-kaca, tapi masih berusaha menahan air mataku. Ternyata menceritakan ulang kepada orang lain tidaklah mudah. Karena saat kita menceritakannya, kepala kita kembali mengingat hal-hal yang membuat kita sedih lagi, dan hati kita merasakan perasaan sakit itu lagi.

"Kayaknya habis gini aku mau ke tempat dia kalau dia masih nggak bisa dihubungi," kataku masih sambil menunggu balasan pesan darinya.

"Ya lebih baik kalian selesaikan biar beres deh. Aku juga nggak percaya kalau dia kayak gitu. Mungkin kalian masih bisa balikan lagi."

"Kalau itu sih aku nggak tahu."

Saat mataku masih berkaca-kaca dan merah, tau-tau kelas sudah selesai. Teman sekelasku semangat sekali menuju pintu kelas. Tapi ternyata ada beberapa yang melihatku habis menangis dan malah mengeremuni mejaku.

"Loh, kenapa El?" tanya Sasa. Aku dulu dekat dengannya, tapi sekarang tidak begitu dekat.

"Kamu kenapa, El?" tanya Fio.

Dan sekarang banyak dari mereka yang bertanya-tanya apa yang terjadi padaku.

"Kamu habis putus?" tebak Sasa.

Aku tidak menjawab. Apalagi dia menebak begitu di depan anak-anak lainnya. Kan malu. Aku tidak pernah kelihatan lemah begini di depan orang lain hanya karena cowok

Rasa panas yang masih tersisa di mataku, membuatku dengan mudah mengeluarkan air mataku lagi akibat ucapan Sasa. Aku memang lagi sensitif. Jadi dikit-dikit bawaannya pengen nangis. Tapi aku masih memaksakan bibirku untuk tersenyum.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 02, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Pergi Tuk Melepaskan (based on true story)Where stories live. Discover now