Aku masuk ke dalam rumah, sebisa mungkin memasang wajah senormal biasanya supaya orang tuaku dan adikku tidak ada yang curiga denganku. Sebenarnya aku punya dua kakak perempuan, tapi mereka sudah tidak tinggal serumah denganku karena mereka sudah menikah.
Karena sudah malam, jadi aku langsung masuk ke kamarku. Aku bersandar di tempat tidurku.
Diam. Melamun. Dalam sekejap pikiranku mulai mengembara lagi.
Ternyata sulit untuk tidak memikirkan dia.
Yang kurasakan sekarang, ingatanku mendadak semakin tajam. Semua hal yang pernah kami lalui bersama terputar jelas di kepalaku seolah baru kemarin semua itu terjadi.
Aku membuka handphoneku, mulai meng-scroll foto-foto di galeriku yang ternyata sebagian dari ribuan foto itu ada wajah dia di dalamnya. Hatiku semakin sesak apalagi melihat senyum kami yang lebar hampir di setiap foto. Aku baru sadar ternyata selama aku pacaran dengannya, aku sebahagia itu.
Aku baru menyesal sekarang. Kami terlalu sering mengabadikan momen melalui foto, mulai dari screenshot snapchat waktu PDKT, hari kami jadian, dinner valentine pertama kami, surprise ulang tahun, saat jalan-jalan ke luar kota, dan masih banyak lagi. Terlalu banyak untuk disebutkan. Dan untuk menghapusnya, sepertinya aku membutuhkan waktu lama.
Menghapus foto kami tidak semudah itu karena mau tidak mau aku pasti teringat dia lagi. Tidak mungkin kan aku menghapus foto sambil merem?
Menghapus foto bersama mantan sama seperti sedang bernostalgia.
Karena itu, aku memutuskan untuk nanti-nanti saja menghapusnya. Aku belum kuat untuk bernostalgia sekarang.
Kini jariku beralih membuka history chat kami. Dan ini adalah kesalahan besar. Aku tidak sanggup menahan air mataku melihat bukti perhatian dia yang dulu. Berbeda jauh dengan dia yang sekarang yang sudah tidak peduli denganku.
Bahkan ketika membaca history chat kami, aku seperti bisa mendengar suaranya di telingaku.
Aku terus meng-scrollnya sampai menghabiskan banyak tissue untuk mengelap air mata dan ingusku. Aku sampai sulit bernafas karena hidungku mampet karena terlalu banyak menangis.
Aku tahu yang kulakukan sekarang salah. Seharusnya aku memencet tombol end chat. Tapi aku malah terus membacanya hingga lebih dari satu jam. Aku jadi semakin merindukannya.
Baru sehari, tapi rasanya seperti sudah seminggu. Kenapa patah hati rasanya seberat ini?
Mataku yang lelah mengeluarkan air mata, terasa semakin berat, dan lama-lama aku-pun tertidur dengan sendirinya dalam keadaan menangis bersama bantal, guling, dan selimutku yang basah.
Besok paginya, kelopak mataku rasanya berat sekali dan lengket, sulit untuk terbuka. Aku baru tidur kurang lebih tiga jam, sedangkan satu jam lagi, jam tujuh pagi aku ada kelas.
Aku beranjak dari kasurku lalu berdiri di depan cermin. Mataku bengkak sekali. Gawat! Cepat-cepat aku mengambil es batu di kulkas dan mengkompres kelopak mataku yang terlihat bengkak. Jangan sampai ada yang melihat mataku sebelum bengkaknya hilang!
***
YOU ARE READING
Pergi Tuk Melepaskan (based on true story)
Teen FictionDulu kukira dia akan menjadi masa depanku. Tapi dalam sekejap semuanya berubah. Akibat terlalu sering bertemu, kami jadi malah sering bertengkar dan akhirnya kami putus meski masih saling mencintai. Terlalu banyak bayang-bayang tentang dia yang memb...