Part 2 (Pelarian)

118 5 0
                                    

"Sumpah? Dia setega itu?"

Gio aja nggak percaya, apalagi aku. Aku pun sampai sekarang masih sangat nggak percaya. Seperti mimpi. Dalam sekejap dia berubah jadi seperti orang asing bagiku.

"Udah lah nggak usah lagi sama dia! Dia udah gituin kamu!" sahut Gio ikutan kesal.

"Memang mudah bilangnya. Tapi namanya orang yang udah kelewat sayang suka nggak mikir kayak aku."

"Oh ya, ini aku ajak Hans juga. Dia ke sini habis ini."

Tidak lama kemudian, cowok sipit berkacamata  dengan style seperti orang Korea muncul lalu duduk di depanku, di sebelah Gio.

"Jadi gimana ceritanya?"

"Duh masa harus ulang cerita lagi?" Aku malah menceritakan ulang karena capek menangis, tapi akhirnya aku menceritakannya juga pada Hans.

"Hmm... Ya kamu juga salah sih. Main mutusin aja! Cewek memang suka gampang bilang putus, ya!" komentar Hans jujur.

"Ya mangkanya itu aku mau minta maaf, tapi dia malah kayak gitu. Percuma deh. Dia sudah nggak peduli sama sekali sama aku."

"Ya udah, kalo gitu harus move on!" kata Hans.

"Gimana caranya?"

"Ya, nggak usah diinget-inget lagi!"

Gimana bisa nggak diinget-inget lagi? Setiap kali aku melamun, bayangan dia muncul lagi, terus tidak lama kemudian mataku memanas dan rasanya ingin menangis lagi.

Aku menghela nafas. "Iya deh..."

"Sampe kamu nyariin dia lagi, awas loh! Dia sudah tega gitu sama kamu! Lupain dia!" kata Gio dengan kesal.

"Iya. Nggak lagi kok. Udah nyerah aku."

Kini aku tahu yang orang lain katakan selama ini ternyata benar. Jangan terlalu sayang sama cowok, apalagi sampai cinta mati, nanti kamu bisa sakit hati dan merasa sangat kehilangan.

Aku berjalan di mall dengan agak menunduk, takut orang lain tahu aku habis menangis.

"Eh, gais. Itu mamaku! Kok dia bisa ke sini juga sih?  Aduh! Gawat! Mataku masih merah nggak? Nggak kelihatan habis nangis kan?" kataku panik sambil menghadap ke Gio dan Hans.

"Nggak kok."

"Ma!" Aku menyapa mamaku yang sedang berpapasan dengan kami. Mamaku sedang jalan dengan adiknya, alias tanteku.

"Loh, nggak jadi pergi sama Gavan?"

"Ehm. Nggak ma. Nggak jadi. Jadinya pergi sama mereka," kataku sambil menunjuk ke Gio dan Hans dengan daguku.

"Oh..."

"Ya udah, Elan jalan dulu, ma!"

"Duluan, tante!" sahut Gio dan Hans pada mamaku.

Aku menghela nafas lega.

Untung mamaku nggak curiga dan bertanya lebih lanjut kenapa aku tidak jadi pergi dengan Gavan.

"Karoke yuk!" ajakku.

"Yakin? Nanti tambah galau," kata Gio.

"Nggak kok."

"Kita nggak tanggung jawab loh!" kata Hans.

"Iya."

Kupikir aku bisa melampiaskan emosiku dengan menyanyi dan bisa merasa lega setelahnya. Tapi yang ada, aku malah nggak bisa nyanyi karena hampir sepanjang lagu aku menangis.

Aku yang memikirkan

Namun aku tak banyak berharap

Kau membuat waktuku

Tersita dengan angan tentangmu

Mencoba lupakan

Tapi 'ku tak bisa

Mengapa begini

Lagu Kekasih Sejati by Monita sukses bikin air mataku mengalir deras. Belum lagi lagu-lagu lainnya yang dulu sering aku nanyikan di mobil bersama Gavan sampai Gavan membuatkan playlist untukku. Hampir semua lagu jadi benar-benar ngena banget. Aku nggak bisa menghentikan otakku untuk terus menerus mem-flashback momen-momen yang pernah kami lalui bersama.

Kalau biasanya aku akan menyanyi sebagus mungkin atau kadang dengan melakukan gerakan aneh, sekarang aku hanya bisa menyanyi sambil menangis. Pokoknya hari ini aku cengeng banget. Aku nggak pernah secengeng ini cuma karena cowok.

Sudah lelah menangis seharian, Hans mengajak kami ke sebuah tempat sejenis café bar yang belum pernah aku datangi. Sebenarnya aku mau langsung pulang, tapi dari pada aku menangis di kamar, lebih baik aku pergi dengan mereka untuk melupakan kesedihanku sejenak.

Pilihan kami jatuh pada soju yakult. Aku pernah minum soju yakult sebelumnya di tempat lain dan rasanya nggak enak banget. Pahit. Kayak obat batuk puyer. Tapi ternyata ini rasanya jauh berbeda dengan yang pernah kuminum. Yang ini rasanya masih ada manis-manisnya dikit dan yakultnya masih terasa sedikit. Not bad lah.

"Eh, itu bukannya kakak kelas kita waktu SMA dulu ya?" kata Gio sambil menunjuk ke sudut ruangan. Di situ ada seorang cewek yang masih muda dan mukanya sangat familiar dan sepertinya dia memang kakak kelasku, tapi aku tidak ingat namanya. Dia duduk bersama seorang laki-laki sepertinya berusia empat puluh tahun ke atas. Mereka duduk dengan jarak yang sangat dekat. Om itu merangkul cewek itu dan sesekali menciumi pipinya.

"Iya deh kayaknya. Tapi aku nggak ingat namanya. Kok dia sama om-om sih? Jangan-jangan..."

"Kayaknya sih..."

"Nggak nyangka banget. Masalahnya mukanya alim begitu kok bisa..."

Aku masih tidak habis pikir dengan kakak kelasku yang terkesan alim itu. Dia tidak cantik. Wajahnya biasa-biasa saja. Bajunya juga tertutup. Tapi...

"Gais, kita pulang yuk! Udah malem!" kataku karena aku punya jam malam yaitu jam sepuluh sampai maksimal jam sebelas.

"Ya udah!"

"Hans! Mukamu merah banget! Kupingmu juga! Eh, itu tanganmu kenapa merah-merah semua?" tanyaku.

"Eh, iya!" timpal Gio yang tampak keheranan sepertiku.

Hans yang sepertinya tidak menyadarinya, langsung mengecek tangannya sendiri dan benar seluruh tubuhnya sudah mirip dengan kepiting rebus.

"Masa gara-gara soju sih?" Hans sendiri masih tidak percaya. "Biasanya aku nggak pernah kayak gini kalau minum alkohol. Berarti aku alergi soju?"

"Bisa jadi! Lagian ada-ada aja sih!"

"Hih!!! Kok bisa ya?" guman Hans heran masih melihat ke tangannya sendiri sambil berjalan ke parkiran.

"Eh, kok aku takut ya kalo kenapa-napa!" kataku ngeri melihat cara nyetir Hans yang tidak lurus. Aku takut dia mabuk. Tapi nggak mungkin sih kan cuma minum soju dan itupun nggak banyak kok.

"Tenang aja!" katanya kemudian tertawa.

Tuh kan! Dia malah tertawa yang menyeramkan kayak orang setengah sadar gitu. Dia memainkan setirnya ke kanan dan kiri padahal jalanan lurus dan tidak ada kendaraan yang menghalangi.

"Eh, yang bener dong! Aku masih mau selamat sampai rumah! Kalau aku udah sampai rumah, terserah kamu mau nyetir model apaan!"

"Aku cuma iseng kok! Tenang aja! Selamat kok sampai rumah!"

"Hmmm..."

***

Pergi Tuk Melepaskan (based on true story)Where stories live. Discover now