1

6.1K 337 10
                                    

Aku menunggu.

Masih menunggu.

Akan menunggu.

Selalu menunggu.

Di sisi tulisan itu ada beberapa tetes air mata yang tidak berhasil dicegahnya jatuh. Bukan sama sekali dirinya cengeng, tapi ia perlu air mata untuk bercerita. Jika tidak ada telinga yang bisa mendengar kalimat dari bibirnya, tulisan itu bisa membuat reda murka di dadanya. Air mata itu bisa mewakili umpatan yang hatinya teriakan.

Bagaimana mereka dikatakan menikah, tanpa hidup satu rumah?! Bagaimana dikatakan sebagai pasangan kalau tidak berada di satu tempat bersama?! Bagaimana, bagaimana bisa disebut cinta, kalau semuanya bukan karena kasih sayang?!

Neli lelah. Hidupnya membosankan. Perasaannya terpenjara dan raganya menua tanpa jiwa. Ia jatuh tertidur di samping tulisannya, di sisi kue pernikahan yang disiapkan percuma.

"""""""

Neli mengusap mata. Buram penglihatannya sesaat, lalu jelas kue itu terlihat dan bekas air matanya yang mengering. Tulisan itu menjadi bukti abadi, hari-hari hatinya berteriak untuk lari dari kebodohan menunggu yang tak berguna.

Ia bergegas meluruskan punggungnya di tempat tidur. Tidak ada yang bisa diperbuat, selain meredam marah dan tidur dengan damai. Neli tidak peduli waktu menjelang siang, perutnya yang lapar apalagi rumahnya yang sepi tanpa penghuni. Ia hanya akan melakukan keinginannya, namun hal yang benar-benar Neli inginkan sebenarnya sudah ia miliki, tapi ia sendiri bingung dengan semua kenyataan hidup yang dijalaninya. Neli ingin hati suaminya. Keinginan yang aneh.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Neli tersenyum, senyum pertamanya setelah mendapatkan kekecewaan dari setiap harapannya yang pupus berantakan. "Ada apa?"

"Kamu tidak ke pasar?"

"Aku sudah membeli banyak bahan makanan kemarin."

"Apa rencanamu hari ini?"

Neli tidak ingin merencanakan apapun, percuma, semua ide romantis dalam kepalanya tidak akan pernah terwujud. "Tidur panjang."

"Farhan?"

Neli ingin mendengus, tapi ia pikir itu tidak tepat. "Seperti biasa. Sibuk."

"Kupikir semalam dia pulang," gumam suara di ujung sambungan. "Ah, mungkin besok dia pulang."

Neli mengangguk. Mungkin benar. Besok, malam minggu. Suaminya akan pulang dan membuat rumah sepi mereka jadi semakin terasa aneh.

"Tunggulah, dia mungkin membawa hadiah untuk ulangtahun pernikahan kalian."

Neli ragu. Sungguh, kalau benar dia ingat, tentu Farhan akan menghubunginya dan mengucapkan permintaan maaf karena belum bisa pulang. Tapi tadi malam ponselnya tidak berdering satu kali pun. "Kamu belum berencana menikah?"

"Aku? Mungkin kalau kalian punya anak."

Neli merinding. "Kamu tidak mungkin menunggu putri kami sebagai calon pengantin, bukan?"

Tawa Raihan terdengar. "Aku akan menikah, kalau perempuan itu menarik sepertimu. Aku punya pekerjaan, sampai nanti."

Sambungan putus. Ada sesuatu, Neli pikir mungkin sebenarnya Raihan tadi salah bicara, makanya dia segera memutuskan panggilan. Harusnya Neli dulu berpikir lebih panjang sebelum menerima pinangan Farhan. Tapi seperti yang pernah Salwa katakan, penyesalan itu suatu tanda bahwa kita tidak mempercayai Allah. Neli masih mengakui Allah itu Esa dan Rasulullah itu utusan yang membawa kebenaran. Neli juga mengimani Alquran dengan baik, sesungguhnya setelah kesulitan akan ada kemudahan. Entahlah, apa setelah lima tahun akan ada cinta di dalam pernikahannya, sementara Farhan makin terasa asing baginya.

""""""""""""
05 September 2018

Assalamu'alaikum 😊
Seri ke dua dari SalFat ya...
Ne-Fa 😆
Baca kisah mereka musti banyak sabar.
Sabar nunggu update. Sabar kejelasan cerita. Sabar dengan karakter tokohnya. Sesabar author nunggu kalian komentar 😁

Menunggu Malam (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang