3

3.6K 256 2
                                    

Tidak ada alasan lain, Neli punya banyak baju gamis dan gaun berwarna hitam. Suaminya sangat suka warna berlambang duka dan misterius tersebut. Meski Neli lebih suka yang cerah seperti hijau, tapi segala kain yang dimiliki lemarinya adalah hitam. Hanya beberapa yang benar-benar kesayangan Neli tanpa unsur hitam.

Neli mencoba menarik perhatian suaminya. Kalau Farhan tidak cukup tertarik pada tubuhnya, setidaknya Neli sudah menyenangkan mata suaminya dengan warna kesayangan lelaki itu. Juga makanan untuk mengenyangkan perutnya.

"Bagaimana pekerjaanmu?"

"Baik, aku sudah menyelesaikannya."

Neli melihat Farhan duduk di atas tempat tidur sedang melepaskan pakaiannya. "Em..."

Farhan menghentikan kegiatannya dan menatap Neli tanpa suara.

Neli menggeleng. "Aku siapakan meja makan untukmu," katanya lalu segera keluar kamar. Tadinya ia ingin menawarkan untuk membantu melepas pakaian suaminya, tapi Neli malu dan takut kalau Farhan menolaknya.

Neli menikahi lelaki yang lebih muda dua tahun darinya. Alasan yang sangat tepat kalau Mama Papa menentang pernikahan mereka. Neli saat lima tahun lalu begitu lugu. Ia jatuh cinta oleh rekan kerjanya yang baru. Lelaki muda yang begitu terampil dan bergerak cepat dalam pekerjaan. Postur Farhan yang tinggi, rupawan dan misterius membuatnya selalu tidak bisa menebak jalan pikiran Farhan. Apalagi isi hati dari lelaki yang jarang tersenyum kepadanya tersebut.

"Kamu selalu memasak ini, tapi rasanya selalu berbeda."

Neli tersentak. Ia tadi melamun, dan sekarang Farhan duduk di seberang mejanya, dengan nasi mengepul asap dan datang tanpa suara. "Baru saja, kamu mengatakan sesuatu?"

"Bukan apa-apa."

Neli diam. Farhan tidak pernah mengulang pembicaraan kecuali pertanyaan yang mendesak, juga sangat jarang memberi suatu alasan. Tidak pernah membicarakan banyak hal pekerjaan, dan tidak ada pembicaraan pribadi yang bisa mereka bahas setelah enam hari berpisah. Bahkan permintaan maaf karena melupakan hari pernikahan mereka.

"Kamu tidak ikut makan?"

Neli kenyang. Ia sudah lebih dulu makan, supaya bisa memandang wajah suaminya selama waktu yang ada. "Aku sudah."

Farhan melihat jam tangannya, "Kamu pasti kelaparan kalau menungguku."

Neli percaya, tapi bukan perutnya yang kelaparan melainkan hatinya. Mereka sangat dekat, tapi lelaki itu tidak bisa Neli jangkau.

"""""""""

Neli membersihkan dapur dan mencuci piring sementara Farhan, bisa dipastikan sedang bekerja dengan laptopnya. Kadang Neli pikir kalau suaminya menjadikan pekerjaan sebagai istri pertama, dan Neli hanya orang ke tiga yang mengganggu.

Suara bel pintu terdengar. Neli segera mengeringkan tangannya dan bergerak ke pintu depan, tapi di sana Farhan sedang membukanya.

"Aku datang, untuk menumpang makan," kata Raihan tersenyum lebar.

Suara tersenyum Farhan terdengar, "Masuklah."

Neli sedikit terpesona dari wajah tersenyum suaminya yang memukau. Tapi ia jadi salah tingkah saat tertangkap basah. "Aku akan menghidangkan kue."

"Kamu tunggu di sini sebentar," kata Farhan dingin kepada Raihan. Dengan langkah lebar, konstan dan pasti, kini dia berdiri di depan Neli. "Pakai jilbabmu."

Neli menciut segera berbalik tapi kepalanya menabrak kusen pintu. Ia malu setengah mati. Namun diluar prediksi Farhan menarik tubuhnya berbalik lalu memberi perhatian lebih kepada kening Neli yang memerah dan nyeri.

"Hati-hati," kata Farhan pelan, lalu meniup luka kecil itu. "Apa sakit?"

Neli tertegun. Sakit fisik kecil yang terlihat seperti itu bisa menarik perhatian Farhan daripada kerinduan bodohnya yang tiada akhir.

Farhan menangkup wajahnya, "Neli, apa itu sakit?"

Mata penuh kasih, wajah peduli dan sikap ingin tahu itu membuat Neli tersenyum. "Aku tidak apa-apa."

"Apa kue untukku belum akan datang? Aku sudah lapar," ucap Raihan sedikit berteriak.

Farhan canggung seketika. "Pakai jilbabmu."

Neli mengangguk manis, "Terima kasih."

"""""""""""

07 September 2018

Menunggu Malam (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang